TEKNIK PANAURICON UNTUK MENUMBUHKAN KEMAMPUAN
PRAGMATIK
2.1 Kajian Teoritis
2.1.1 Konsep Kompetensi Pragmatik
Kompetensi Pragmatik dapat
diartikan sebagai kemampuan untuk mengartikan maksud pembicara. Dessalles
(1998) menyatakan bahwa Kompetensi Pragmatik adalah kompetensi yang memungkinkan
kita untuk menggunakan bahasa dalam situasi konkrit, untuk menyampaikan argumen
yang relevan, untuk menjadi pembicara yang kompeten. Untuk dapat menguasai
Kompetensi Pragmatik dengan baik, speaking merupakan kemampuan yang paling
menjanjikan bagi guru untuk diajarkan pada murid. Tarrigan (1981: 8)
mendefinisikan speaking sebagai kemampuan mengucapkan kata-kata atau
mengartikulasikan suara untuk mengekspresikan atau menyatakan pemikiran, ide,
atau perasaan. Definisi yang lebih luas tentang speaking diberikan oleh. Florez
(1999). Seperti yang dikutip oleh Bailey (2005), Florez (1999) menyebut
speaking sebagai sebuah proses interaktif dalam membentuk suatu arti yang
meliputi cara memproduksi, menerima, dan memproes informasi. Sejalan dengan itu, Chaney (1998) seperti
yang dikutip oleh Kayi (2006) mendefinisikan speaking sebagai proses membentuk
dan membagi arti melalui penggunaan symbol verbal dan non-verbal dalam konteks
yang bervariasi.
Penggunaan speaking lebih
sering digunakan oleh guru ketika mereka terfokus pada kompetensi pragmatik
siswa dalam hal pronounciation, grammar, vocabulary, fluency, dan
comprehension. Hal ini sejalan dengan lima aspek dari oral proficiency yang
diperkenalkan oleh Harris (1984 dalam Ratminingsih, 2004: 26) yang juga
meliputi pronounciation, grammar, vocabulary, fluency, dan comprehension.
Harris juga membuat skala untuk mengukur oral proficiency dari pembelajar
bahasa dimana kebanyakan kriterianya berdasarkan pada perbandingan dengan
kemampuan berbicara para penutur bahasa asli.
Sebagai alat komunikasi,
speaking merupakan kemampuan yang penting untuk dikuasai. Hal ini sesuai dengan
tujuan dari pembelajaran bahasa yaitu menghasilkan kompetensi dari pembicara
untuk berkomunikasi dalam bahasa target. Dalam hal ini, kompetensi speaking
mempengaruhi kompetensi komunikatif dari pembelajar bahasa. Oleh karenanya,
pengajaran speaking harus komunikatif karena siswa tamatan sekolah menengah
atas diarahkan untuk memiliki kemampuan berkomnikasi untuk memenuhi tuntutan
kerja. Selain itu, mereka dapat melanjutkan studinya ke level yang lebih
tinggi. Hal ini dikarenakan melalui speaking siswa dapat mengekspresikan diri
mereka dan belajar mematuhi peraturan sosial budaya dalam setiap situasi
komunikatif.
Berkomunikasi adalah sebuah
prosess jadi tidaklah cukup bagi siswa hanya dengan memiliki pengetahuan
tentang bentuk, arti, dan fungsi dari bahasa target. Hal ini dikarenakan ketika
siswa meninggalkan kelas, mereka akan melakukan aktivitas yang memerlukan
pengaplikasian dari pengetahuan bahasa itu sendiri seperti menyampaikan berita
pada orang lain atau ambil bagian dalam sebuah interview. Dalam kehidupan
nyata, siswa hanya mendengarkan sesuatu sekali dan mereka tidak bisa selalu
meminta seseorang untuk mengulangi apa yang mereka katakan. Ketika seseorang
menanyakan sesuatu, pendengar harus mengerti apa yang dkatakan, memikirkan
jawabannya dan mengatakannya dalam bahasa Inggris dalam waktu singkat.
Melalui speaking, siswa
mempelajari konsep, memperbanyak perbendaharaan kata, dan menyerap struktur bahasa
Inggris yang merupakan komponen esensial dalam pembelajaran. Oleh karena itu,
speaking merupakan kemampuan yang penting yang harus dikuasai untuk dapat
menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi dalam kehidupan nyata.
2.1.2
Teknik Panauricon
Kelen
(2006) menyatakan bahwa Teknik Panauricon (PT) adalah sebuah metode belajar
yang mengatur siswa di kelas berbicara dalam lingkaran, memberikan mereka
kesempatan untuk melatih drill atau percakapan dengan sebanyak mungkin partner
yang berbeda. Yang ditekankan dalam teknik ini adalah dalam memposisikan guru
dalam kelas berbicara pada posisi sentral dimana dia dapat mengubah alur
percakapan setiap saat hanya dengan memalingkan kepalanya. Jadi, guru tidak
perlu lagi berjalan-jalan dalam kelas tp siswalah yang bergerak. Dengan cara
ini mereka akan merasa bahwa guru akan selalu ada untuk mereka. Berbeda dengan
kelas tradisional dimana guru berdiri di depan kelas, dalam PT guru berada di
tengah-tengah kelas. Walaupun begitu, PT tetap dinyatakan sebagai student-centered
classroom karena, setelah diberikan instruksi atau dengan pendahuluan drill,
siswalah yang diberikan kesempatan berbicara. Peran guru adalah membatasi waktu
di kelas dan mengatur jumlah maksimum dari latihan oral siswa.
Teknik Panauricon
dapat membantu siswa untuk bicara sebanyak mungkin serta untuk memonitor
kegiatan speaking sehingga siswa dapat memperbaiki kemampuan speaking mereka.
Tujuan dari teknik ini adalah untuk memberanikan siswa untuk bergerak di kelas,
memastikan bahwa seluruh anggota kelas berbicara dengan anggota kelas lainnya,
untuk mengontrol dan mengatur pergerakan yang dilakukan siswa melalui cara-cara
tertentu bahwa siswa diyakinkan jika guru akan tetap bersama mereka dan siap
menyediakan keperluan individual mereka (Kelen, 2006).
2.1.3 PENGATURAN TEKNIK PANAURICON
Ada
beberapa langkah yang harus ditempuh dalam pengaturan teknik Panauricon, yaitu:
1.
Pre-Panauricon.
Sesuai dengan pernyataan Kelen (2006), pergerakan atau
kegiatan memotivasi diri merupakan bagian yang penting dalam pembelajaran
bahasa. Total Physical Response (TPR) dapat digunakan sebagai salah satu cara
dalam mengatur teknik ini daripada siswa hanya diam secara pasif ditempat duduk
mereka masing-masing. Kegiatan pemanasan yang dilakukan lewat beberapa
instruksi TPR terbukti efektif dapat memudahkan menyuruh siswa bergerak sebagai
bagian dari proses pembelajaran bahasa (Kelen, 2006). Pada TPR, guru berada di
tengah-tengah kelas sehingga guru dapat mengubah alur percakapan di kelas tanpa
harus bergerak.
2.
Bekerja berpasangan.
Disini, siswa dapat berlatih percakapan bebas yang
telah mereka pelajari sebelumnya dengan guru. Tetapi, bagaimanapun canggihnya
metode yang digunakan dalam kelas, setiap kegiatan yang diulang secara terus
menerus tanpa adanya variasi dapat membuat siswa menjadi bosan. Kelen
menyatakan bahwa sangatlah baik memberikan siswa intruksi yang baru dalam
menvariasikan drill atau dialog. Membuat
perputaran intruksi kelas merupakan bagian yang penting dalam Teknik
Panauricon. Kapan dan bagaimanapun (dalam kondisi apapun), melakukan perputaran
instruksi di kelas benar-benar merupakan kunci sukses teknik ini. Ketika tidak
ada variasi dari putaran pertama ke putaran berikutnya, tepukan tangan atau
suara musik dapat menjadi sinyal. Di lain hal, akan sangat sulit memecah
perhatian siswa jika mereka masih sangat antusias berdiskusi. Sinyal-sinyal
mekanis seperti suara jam atau musik dapat meredam rasa tidak adil siswa dalam
menentukan batas waktu jika ada dari mereka yang lebih dulu selesai mengerjakan
tugasnya dengan mereka yang selesai belakangan. Meminta siswa untuk menukar
tempat duduk dengan partner mereka memberikan mereka kesempatan untuk melakukan
beberapa pergerakan.
3. Bekerja bersama-sama dalam kelompok yang
lebih besar.
Dalam
Teknik Panauricon, tahap bekerja berpasangan dapat diubah menjadi bekerja sama
dalam kelompok yang lebih besar dimana siswa berlatih dialog sesuai dengan
topik yang diberikan. Disini, latihan secara jigsaw dapat digunakan dimana
siswa perlu bergerak di dalam kelas untuk mendapatkan informasi dari topik
tertentu. Di bagian akhir teknik, setiap kelompok harus membacakan laporan yang
sudah mereka buat di tengah kelas.
2.1.4 Kelebihan Teknik Panauricon
Teknik Panauricon memberikan kesempatan
sebanyak mungkin kepada siswa untuk berbicara menggunakan bahasa target. Guru
dapat mengubah alur percakapan sesukanya hanya dengan menggelengkan kepalanya.
Di dalam kelas, guru tidak perlu mendatangi siswa jika mereka mengalami masalah
tetapi siswalah yang mendatangi guru jika mereka mengalami permasalahan. Dalam
teknik ini, penggunaan bahasa diaplikasikan secara nyata dimana siswa dapat
mengekspresikan ide-ide mereka dengan bebas bersama teman-temannya. Disini,
guru dapat mengatur kelompok yang ada dengan mudah karena mengganti kerja
berpasangan menjadi kerja berkelompok menjadi sangat mudah karena dalam teknik
ini dari awal siswa sudah berpasangan dalam formasi yang sesuai.
Teknik Panauricon
memberikan kesempatan kepada setiap siswa untuk berbicara dengan orang lain,
memaksimalkan kesempatan bagi siswa untuk mengembangkan diri secara personal
dalam menggunakan bahasa target. Proses pengembangan diri ini dapat memperbaiki bahasa siswa karena hal
tersebut dapat memudahkan siswa mengutarakan sesuatu yang dapat dengan mudah
diartikan (Kelen, 2006). Pada teknik ini, siswa benar-benar berkomunikasi satu
sama lain dan guru ada untuk membantu mereka. Teknik Panauricon merupakan cara
yang baik untuk mendorong siswa dalam melihat aspek-aspek yang berbeda dari
sebuah topik, untuk memperkaya perbendaharaan kata dan struktur kalimat yang
berhubungan atau berguna untuk tema-tema tertentu. Mengulang diskusi-diskusi
yang masih ada hubungannya di dalam kelompok dapat membantu siswa untuk
berpikir lebih luas dan lebih dalam tentang permasalahan yang ada dan
hubungan-hubungan yang terdapat didalamnya.
Teknik Panauricon juga memberikan
solusi yang tepat untuk masalah kesinambungan yang terjadi dalam kelompok di
kelas. Guru perlu mendorong siswa dalam membentuk kelompok yang terdiri dari
empat orang dengan sesedikit mungkin adanya pergantian tempat duduk. Sangatlah
mudah dalam mengatur siswa untuk kembali bersama pasangannya setelah belajar
dalam kelompok yang lebih besar dengan cara ini. Kelas yang dapat digunakan
dalam mengaplikasikan Teknik Panauricon adalah kelas yang besar sehingga siswa
dapat bergerak dengan bebas di dalamnya yang dapat memudahkan mereka untuk
kembali bekerja dengan pasangannya ataupun kembali pada kelompoknya.
Teknik ini juga bagus untuk daya
ingat. Untuk mempertajam daya ingat, sangat diperlukan pengulangan-pengulangan
bentuk leksikal dari srtuktur tata bahasa itu sendiri. Teknik yang menjadikan
memorisasi sebagai proses secara tidak sadar haruslah membuat siswa nyaman
dalam penerapannya. Setiap perlengkapan yang dapat membuat latihan pengulangan
menjadi lebih menarik atau terlihat lebih bervariasi haruslah digunakan. Setiap
metode yang membawakan materi untuk diingat dalam kehidupan sehari-hari melalui
simulasi dalam penggunaanya di kehidupan nyata ataupun tidak nyata harus
dihargai.
2.1.5
Beberapa Contoh Teknik Diskusi dalam Kelompok Berdasarkan Model Teknik
Panauricon
Kelen (2006) menyatakan bahwa ada banyak
sekali contoh diskusi kelompok berdasarkan model Teknik Panauricon,
diantaranya:
1) Setiap kelompok membuat topik mereka
sendiri sesuai dengan tema yang diberikan kemudian mendiskusikannya.
Setiap
kelompok mengumpulkan topik yang kemudian dikemukakan oleh perwakilan
masing-masing kelompok tersebut di depan kelas. Guru lalu mengumpulkan (yang
dalam prosesnya mengoreksi), mengkopi, lalu mendistribusikanya ke kelompok
lain. Setelah diskusi selama lima menit atau lebih, kelompok-kelompok yang ada
memberikan topik mereka pada kelompok lain dalam lingkaran yang dibentuk. Hal
ini terus dilakukan sampai semua kelompok mendiskusikan topik-topik yang ada.
2) Memata-matai.
Dalam
kegiatan ini, kelompok yang satu berdebat melawan kelompok yang lain ”secara
diam-diam”. Kelompok-kelompok tersebut dapat mengirimkan auditor atau mata-mata
untuk mengumpulkan informasi dan membuat catatan kecil tentang argumen dan
pendapat dari kelompok lain. Kelompok yang merasa dimata-matai dapat melakukan
pencegahan yang dipandang perlu agar pendapat mereka tidak dipakai atau diambil
oleh kelompok lain.
3) Latihan secara Jigsaw.
Setingan
teknik Panauricon sangat berguna untuk latihan sejenis jigsaw dimana siswa
perlu melakukan pergerakan di dalam kelas untuk mendapatkan informasi.
Sangatlah memungkinkan untuk membagi warga kelas ke dalam kelompok penerima
informasi dan kelompok pemberi informasi dimana secara alternatif siswa bisa
saja memerankan keduanya. Hal ini dapat digunakan sebagai struktur kegiatan
pembentukan kelompok.
4) Scribers dan Whisperers.
Seperti
dalam permainan Chinese Whispers, pesan dapat disampaikan dari kelompok yang
satu dengan kelompok yang lain. Untuk memberikan peranan pada setiap siswa dan
juga untuk memaksimalkan kemungkinan kemungkinan menyimpangnya pesan (sehingga
diperlukan pengutaraan yang tepat dan pendengaran yang baik), setiap kelompok
dapat secara berkelanjutan memberikan bisikan dari dua arah. Setiap kelompok
harus memiliki dua whisperers dan dua scribers (perannya dapat berubah dari
putaran pertama ke putaran berikutnya untuk memberikan semua siswa latihan yang
sama pada kedua peran). Setiap kelompok dapat memulai dengan satu pesan lisan
dan menyampaikannya sekali ke dua arah. Yang berperan sebagai sctibers harus
menjaga jalannya pesan tetapi tidak menunjukkan versi tertulis dari pesan
tersebut pada siapapun. Mereka harus menyampaikan pesan tersebut pada
whisperernya dengan bahasa lisan sebelum pesan tersebut sampai pada kelompok
berikutnya.
2.1.6
Teknik Storytelling
Budaya di seluruh dunia hampir selalu
menggunakan cerita sebagai salah satu cara untuk menyampaikan keyakinan,
tradisi, dan sejarah mereka pada generasi mudanya. Cerita tidak hanya membantu
dalam menstimulasi imajinasi anak dan memberikan pemahaman kepada mereka
tentang dunia tetapi juga dapat membantu dalam mengembangkan kemampuan
berbahasa anak serta mengapresiasikan karya sastra. Cerita biasanya sangat
menarik dan memotivasi, dapat menarik perhatian pendengar serta mendorong
adanya komunikasi. Cerita juga merupakan sumber bahasa yang besar. Selama ratusan tahun, ribuan cerita telah
dibuat dan disampaikan pada masyarakat luas. Banyak cerita lama yang dipandang
sebagai model bahasa dan sumber budaya dimana pembelajar pada berbagai kelompok
umur dan level bahasa dapat menemukan cerita yang cocok untuk dibaca dan
diceritakan kembali. Sebagai tambahan, cerita-cerita sekarang ini sangat mudah
diakses, misalnya buku cerita dapat ditemukan di toko-toko buku atau dapat
dipinjam dari perpustakaan atau dari teman. Sekarang ini, cara yang paling
memadai dan paling cepat untuk mendapatkan cerita adalah dari internet.
Sebagai alat
pembelajaran bahasa, Storytelling merupakan alat mengajar yang praktis dan
berguna. Storytelling juga dipandang sebagai metode komunikasi yang sangat
sesuai untuk mengembangkan komunitas karena teknik ini didasarkan pada
penggunaan dasar dan yang sering dilakukan dalam pembelajaran speaking dan
listening. Tidak ada alat khusus dalam penggunaan metode ini selain imajinasi
dan kekuatan dari listening dan speaking yang diperlukan untuk menciptakan
gambar yang artistik. Isi dari cerita itu sendiri sering menceritakan tentang
pengalaman, ilmu pengetahuan, kebijaksanaan, dan harga diri yang disampaikan
dari generasi ke generasi. Cerita dapat dengan mudah diadaptasikan atau
diperbaharui untuk memasukkan permasalahan-permasalahan atau isu-isu yang
sedang berkembang.
Storytelling dapat
menraik perhatian masyarakat luas. Dalam situasi formal sekarang ini,
pendongeng biasanya menyiapkan cerita yang akan disampaikan. Beberapa
pendongeng menyampaikan cerita dari imajinasi mereka sendiri. Cerita-cerita
lain didapat dengan cara dikumpulkan, kadang-kadang diadaptasikan dari
buku-buku dan pendongeng lain. Selain itu, Celce-Murcia (2001: 144, seperti
yang dikutip oleh Dewi, 2008) menyatakan bahwa cerita merupakan alat
menyampaikan bahasa yang sangat luar biasa. Guru yang berpengalaman dapat
menggunakan cerita untuk mengembangkan listening yang efektif, speaking yang
lebih fasih, serta kemampuan untuk membaca dan menulis yang mudah dan
berkompeten.
Madylus (2004) seperti
yang dikutip dalam Ratminingsih (2004: 13) mengatakan bahwa Storytelling
merupakan salah satu bentuk seni kreatif yang menghibur dan memberikan
informasi selama bertahun-tahun. Teknik ini dapat digunakan oleh guru dalam
proses belajar mengajar. Melalui Storytelling, kita dapat menjelaskan tentang
misteri kehidupan dan dunia untuk memberikan pemahaman pada diri sendiri
bagaimana caranya menghargai sesuatu.
Sejalan dengan kenyataan
di atas, Storytelling dapat mendorong siswa untuk mengeksplorasi keunukan
ekspresi mereka dan dapat mempertajam kemampuan mereka untuk menyampaikan
pemikiran dan perasaannya. Storytelling juga dapat memperbaiki kemampuan
berbahasa siswa seperti perbendaharaan kata, cara memprediksi, merangkai
cerita, pemahaman, struktur cerita, dan mengingat kembali. Anak yang terlibat
dalam kegiatan mempelajari sejarah dan budaya, dapat mengendalikan emosi mereka
dengan lebih baik dan memiliki tingkat kesadaran diri yang tinggi. Kegiatan ini juga dapat menstimulasi
daya imajinasi. Kegiatan Storytelling juga selalu aktif dan inventif. Anak-anak
perlu menyatukan semua jenis kemampuan kognitif dengan kemampuan motorik dan
interpretasi emosi untuk membentuk sebuah pertunjukan, dan karena adanya
penyatuan ini, setiap pertunjukan menjadi unik di tangan pendongeng.
Lings
(2005) membuat deretan daftar desempatan yang bisa didapat siswa dalam proces
penyampaian cerita, diantaranya:
a. Ingatan yang tajam dan menyatu.
b. Mengembangkan kemampuan untuk
berdiri di hadapan teman ataupun orang lain untuk berbicara dengan percaya
diri.
c. Pengalaman dan pengaturan diri, menggunakan
bahasa lisan, menggunakan narasi dan mengeksplorasi ritme, rima, serta bermain
dengan kata-kata.
d. Belajar bagaimana bahasa bisa
berubah berdasarkan tujuannya, seperti dalam persuasi, konflik dan resolusinya,
serta dalam pembuatan keputusan.
e. Mengembangkan rasa percaya dalam berbicara
dan melakukan kegiatan secara fisik.
f. Bereksperimen dengan penggunaan dialog,
suara, nada, ekspresi, penguasaan karakter, dan efek suara lainnya yang
dikombinasikan dengan gerakan, ekspresi wajah, dan bahasa tubuh.
g. Mengembangkan kepedulian terhadap
lingkungan dalam hal letak geografis secara imajinatif dan dalam menciptakan
hubungan dengan penonton.
Mengingat
pentingnya Storytelling seperti yang disebutkan di atas, tampaknya sangatlah
bermanfaat untuk mengimplementasikan Storyteling di kelas. Bagaimanapun juga,
siswa dalam hal ini perlu memahami cerita terlabih dulu dan setelah itu mereka
diberikan desempatan untuk berbagi persepsi dan respon terhadap cerita yang
diberikan. Berdasarkan Deacon dan Murphey (2001) seperti yang dikutip dalam
Ratminingsih (2004: 17-18), ada lima tahapan dalam teknik Storytelling,
diantaranya:
1. Latihan repetisi.
Kegiatan
ini merupakan kegiatan repetisi dimana secara diam-diam ataupun secara bebas pada
saat ini siswa sudah siap menggunakan bahasa.
2. Meringkas.
Guru
mengiformasikan siswa bahwa mereka harus menceritakan kembali cerita yang telah
diberikan kepada partnernya dengan membuat ringkasan dari cerita tersebut
menggunakan kata-kata sendiri.
3. Menceritakan kembali.
Guru
meminta siswa untuk menceritakan kembali cerita yang telah dipelajari dengan
menggunakan bahasa target atau bahasa ibu mereka, terutama jika tidak
memungkinkan untuk menggunakan bahasa target.
4. Evaluasi.
Ini adalah
tahap dimana siswa diminta untuk mengevaluasi kegiatan kelas dan pekerjaan
rumah mereka.
5. Pemberian komentar.
Tahap ini
merupakan tahap akhir yang meliputi penyeleksian komentar siswa yang diambil
dari hasil evaluasi. Komentar ini dibuat dalam bentuk handout dimana
kadang-kadang diisi tanpa mencantumkan nama orang yang memberi komentar.
Komentar ini kemudian diberikan pada semua siswa di kelas untuk dibaca,
dipikirkan, ataupun diberikan komentar pada eveluasi berikutnya.
Mendapatkan
perhatian dari penonton bukanlah hal yang mudah. Pendongeng harus bisa
memutuskan karakter yang akan dimunculkan serta settingnya, bagaimana bau dan
suara mereka, serta apa yang mereka rasakan. Pendongeng harus menggunakan
suara, gerakan, dan ekspresi mereka untuk membawakan elemen-elemen ini untuk
hidup dalam hati dan pikiran pendengarnya. Pendongeng adalah ”direktur teater pikiran”,
pencipta gambaran cerita dan emosi penonton. Itulah mengapa berbagi cerita
dapat membangun hubungan komunitas antara pendongeng dengan penontonnya.
2.1.7 Series of Pictures
Penggunaan
gambar oleh guru dalam pengajaran bahasa asing menciptakan situasi dan kondisi
yang bervariasi. Gambar dapat membimbing siswa pada tingkat ketertarikan dan
motivasi yang tinggi. Lebih jauh, gambar dapat membantu siswa memasuki sebuah
pengalaman imajinatif dari masa lalu ataupun gambaran masa depan. Sesuai dengan
Gerlach dan Ely (1980) pada Suseni (2006: 20), batasan gambar mengacu pada
lukisan, gambaran, atau foto sebagai hasil seni. Gambar dapat mewakili situasi
nyata dan menghubungkan pembelajaran dengan kehidupan nyata. Selebihnya,
penggunaan gambar dapat dengan mudah mewakili konsep atau arti dari kata atau
kalimat.
Gerlach
dan Ely (1980) pada Suseni (2006: 21) juga menyatakan bahwa ada beberapa
keuntungan dari penggunaan gambar sebagai media instruksional:
a. Gambar tersedia dimana-mana.
b. Gambar bisa mewakili alur cerita
secara jelas.
c. Gambar dapat menghindarkan siswa dari
kesalahpahaman.
d. Gambar dapat menarik perhatian siswa.
e. Gambar dapat membantu siswa dalam
mengingat kembali apa yang telah mereka pelajari.
f. Gambar bisa disiapkan dengan mudah.
g. Gambar dapat mewakili penampilan
pencerita dan tingkah lakunya dapat mewakili situasi serta setting.
Sementara
itu, Series of Pictures berarti satu set gambar yang terdiri dari dua gambar
atau lebih dalam setiap serinya yang mengindikasikan jalannya cerita. Littlewood
(1981) seperti yang dikutip oleh Sofia (2002: 15) menyarankan penggunaan
rangkaian gambar dan menitikberatkan pada persamaan dan perbedaan kegiatan
berkomunikasi. Gambar dapat mewakili kenyataan serta dapat menghubungkan
pembelajaran dengan kehidupan nyata. Gambar juga dapat mewakili situasi nyata
dan menghubungkan pembelajaran dengan kehidupan nyata. Melalui gambar, konsep
dari kata atau kalimat dapat dengan mudah direpresentasikan. Series of Pictures
berarti rangkaian gambar yang terdiri dari dua gambar atau lebih dalam setiap
serrinilla yang mengindikasikan jalannya cerita.
2.2 Kajian Empiris
Penelitian
terhadap penggunaan Teknik Panauricon dilakukan oleh Kelen (2006). Kelen
menemukan bahwa PT sangat efektif untuk diterapkan pada sekolah yang siswanya
memiliki latar belakang budaya yang majemuk seperti siswa-siswa di Asia
Tenggara, SKH Lam Woo Memorial Secondary School, dan Chinese University of
Hongkong karena siswa-siswa disini tidak mengasosiasikan kegiatan yang
melibatkan gerakan dengan kelas sebagai konteks belajar. PT merupakan teknik
yang sangat berguna untuk mengatasi masalah speaking yang sering dihadapi oleh
para siswa dan juga untuk mengatur kelas yang besar.
Kedua,
Gilfert dan Crocker (1999) seperti yang dikutip oleh Mila (20008) juga
melakukan penelitian terhadap penggunaan PT dalam bentuk mempertunjukkan dialog
terhadap pelajaran berbahasa non-Inggris di sekolah-sekolah menengah atas di
Jepang. Hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa teknik ini memecahkan masalah
tentang bagaimana bekerja dalam kelas yang sangat besar yang memungkinkan guru
untuk berinteraksi dengan siswa secara individu.
Peneliti
ketiga yang melakukan penelitian dengan menerapkan teknik yang sama adalah Mila
(2008). Penelitian yang dilakukan adalah penelitian tindakan kelas pada siswa
kelas VIIIB SMPN 1 Gerokgak. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa aplikasi
teknik PT sangat berguna untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam speaking
serta meningkatkan motivasi mereka dalam pelajaran speaking. Hal ini dapat
dilihat dari hasil analisis data yang menunjukkan bahwa nilai rata-rata siswa
meningkat dari 7.05 di atas 25 (kategory rendah) menjadi 14.68 di atas 25
(kategory rendah) pada siklus 1. Selanjutnya, nilai rata-rata mereka juga
meningkat menjadi 18.78 di atas 25 (kategory baik) pada siklus 2. Perbaikan
nilai rata-rata siswa juga didukung oleh respon yang positif siswa terhadap
implementasi PT dalam kelas speaking mereka. Siswa merasa termotivasi dalam
belajar speaking dengan menggunakan PT yang juga membuat mereka termotivasi
dalam kelas speaking. PT sangat membantu siswa dalam pembelajaran speaking
terutama dalam hal pronounciation, grammar, vocabulary, fluency, dan
comprehension karena PT memberikan kesempatan pada siswa untuk berbicara
sebanyak mungkin dengan menggunakan bahasa Inggris.
Di lain
pihak, beberapa peneliti juga mengatakan bahwa Teknik Storytelling juga sangat
membantu dalam kelas speaking. Jianing (2007) telah mengaplikasikan teknik ini
dalam kelas speakingnya. Jianing menyatakan bahwa alasan utama ia
merekomendasikan Teknik Storytelling dalam kelas speaking EFLnya yaitu karena
cerita dapat memotivasi dan menarik, dapat menarik perhatian pendengar, serta
mendorong terjadinya komunikasi.
Beberapa
penelitian tindakan kelas menunjukkan bahwa pengaplikasian Storytelling juga
dapat meningkatkan kemampuan siswa terutama speaking. Angelianawati (2006)
melakukan penelitian tindakan kelas dengan menggunakan Teknik Storytelling yang
dikombinasikan dengan Total Physical Response (TPR). Dalam teknik ini, tugas
utama siswa adalah menceritakan kembali cerita yang diberikan. Penelitian yang
dilakukan Angelianawati (2006) ini bertujuan meningkatkan kemampuan oral siswa
kelas VIII.1 SMP Laboratorium IKIP Negeri Singaraja tahun ajaran 2005/2006.
Sesuai dengan penelitiannya, tingkat kemampuan oral siswa dapat ditingkatkan
dengan menggunakan teknik Storytelling dengan kombinasi TPR yaitu dari 3.12
(62%) pada pretest menjadi 3.52 (73%) pada posttest I dan pada akhirnya
meningkat lagi menjadi 3.98 (80%) pada posttest II. Teknik ini juga dapat
meningkatkan kemampuan siswa dalam setiap aspek kemampuan oral yang meliputi
pronounciation, grammar, vocabulary, fluency, dan comprehension.
Sementara
itu, Ratminingsih (2006) juga melakukan penelitian tindakan kelas dengan
menggunakan Teknik Storytelling yang dibantu dengan Foto Personal. Tujuan dari
penelitiannya adalah untuk meningkatkan kemampuan speaking siswa dalam
pelajaran bahasa Inggris yang diintegrasikan dengan kemampuan-kemampuan lain
seperti listening, reading, dan writing. Obyek penelitiannya adalah siswa SMP
Negeri 1 Sukasada. Dari hasil penelitian yang dilakukan didapat bahwa kemampuan
speaking siswa meningkat dari 1.18 (23.6%) pada pre-test menjadi 3.07 (61.4%)
pada posttest I, menjadi 3.15 (63%) pada posttest II serta meningkat lagi pada
posttest III menjadi 3.37 (67.4%).
Beberapa
penelitian juga mengindikasikan bahwa rangkaian gambar-gambar juga merupakan
alat yang bermanfaat dalam proses belajar mengajar. Salah satunya adalah yang
dilakukan oleh Siswantari (2007). Siswantari melakukan penelitian dengan
menggunakan Teknik Inkuiri melalui Rangkaian Gambar di SMP Negeri 3 Sukasada.
Melalui teknik ini, prestasi siswa dapat ditingkatkan dari pretest ke posttest
I meningkat sebanyak 31.6% sementara dari posttest I ke posttest II meningkat
sebanyak 14.3%. Data kuantitatif dari hasil pretest, posttest I, dan posttest
II diantaranya 32.5, 64.1, dan 78.4. Hasil dari siklus II telah memenuhi
persyaratan nilai ketuntasan yaitu 70%.
Terakhir,
penelitian tentang Teknik Storytelling yang dibantu dengan Rangkaian Gambar
dilakukan oleh Ratna (2008). Ratna melakukan penelitian tindakan kelas pada
siswa kelas VIII.B5 SMP Negeri 6 Singaraja tahun ajaran 2008/2009 yang
bertujuan untuk meningkatkan kompetensi oral siswa. Penemuan yang dihasilkan
menunjukkan bahwa kompetensi oral siswa kelas VIII.B5 SMP Negeri 6 Singaraja
dapat ditingkatkan dengan menggunakan Teknik Storytelling yang dibantu dengan
Rangkaian Gambar. Hal ini terlihat dari peningkatan nilai rata-rata siswa dari
3.07 (62% dari nilai maksimum) dalam Pre Action Test menjadi 3.39 (68% dari
nilai maksimum) dalam tes di siklus I yang pada akhirnya mencapai 3.79 (76%
dari nilai maksimum) pada tes di siklus II. Selanjutnya, peningkatan siswa
dalam setiap aspek kompetensi oral dapat dilihat dari peningkatan nilai
rata-rata mereka seperti pada pronounciation dari Pre Action Test sampai tes
pada siklus II yaitu: 2.89, 3.28, dan 3.49. Dalam hal grammar kompetensi siswa
meningkat dari 2.64 pada Pre Action Test menjadi 3.51 pada tes di siklus II.
Pada aspek vocabulary, nilai yang didapat siswa meningkat dari 3.13 pada Pre
Action Test menjadi 3.51 pada tes di siklus I dan 3.90 pada test siklus II. Sementara itu, dalam hal
fluency siswa, nilai rata-rata mereka meningkat dari 3.00 pada Pre Action Test
menjadi 3.77 pada tes di siklus II. Untuk kompetensi siswa dalam hal pemahaman
cerita, nilai rata-ratanya meningkat dari 3.72 pada Pre Action Test menjadi
4.28 pada tes di siklus II. Hasil dari data kuantitatif mengindikasikan bahwa
penguasaan siswa terhadap kompetensi oral melalui pengaplikasian teknik ini
juga meningkat. Hasil kuisioner juga membuktikan bahwa Teknik Storytelling yang
dikombinasikan dengan Rangkaian Gambar dapat membantu siswa dalam menguasai
kompetensi oral.