Monday, June 4, 2012

TEKNIK PANAURICON


TEKNIK PANAURICON UNTUK MENUMBUHKAN KEMAMPUAN PRAGMATIK

2.1 Kajian Teoritis
2.1.1 Konsep Kompetensi Pragmatik
Kompetensi Pragmatik dapat diartikan sebagai kemampuan untuk mengartikan maksud pembicara. Dessalles (1998) menyatakan bahwa Kompetensi Pragmatik adalah kompetensi yang memungkinkan kita untuk menggunakan bahasa dalam situasi konkrit, untuk menyampaikan argumen yang relevan, untuk menjadi pembicara yang kompeten. Untuk dapat menguasai Kompetensi Pragmatik dengan baik, speaking merupakan kemampuan yang paling menjanjikan bagi guru untuk diajarkan pada murid. Tarrigan (1981: 8) mendefinisikan speaking sebagai kemampuan mengucapkan kata-kata atau mengartikulasikan suara untuk mengekspresikan atau menyatakan pemikiran, ide, atau perasaan. Definisi yang lebih luas tentang speaking diberikan oleh. Florez (1999). Seperti yang dikutip oleh Bailey (2005), Florez (1999) menyebut speaking sebagai sebuah proses interaktif dalam membentuk suatu arti yang meliputi cara memproduksi, menerima, dan memproes informasi.  Sejalan dengan itu, Chaney (1998) seperti yang dikutip oleh Kayi (2006) mendefinisikan speaking sebagai proses membentuk dan membagi arti melalui penggunaan symbol verbal dan non-verbal dalam konteks yang bervariasi.
Penggunaan speaking lebih sering digunakan oleh guru ketika mereka terfokus pada kompetensi pragmatik siswa dalam hal pronounciation, grammar, vocabulary, fluency, dan comprehension. Hal ini sejalan dengan lima aspek dari oral proficiency yang diperkenalkan oleh Harris (1984 dalam Ratminingsih, 2004: 26) yang juga meliputi pronounciation, grammar, vocabulary, fluency, dan comprehension. Harris juga membuat skala untuk mengukur oral proficiency dari pembelajar bahasa dimana kebanyakan kriterianya berdasarkan pada perbandingan dengan kemampuan berbicara para penutur bahasa asli.
Sebagai alat komunikasi, speaking merupakan kemampuan yang penting untuk dikuasai. Hal ini sesuai dengan tujuan dari pembelajaran bahasa yaitu menghasilkan kompetensi dari pembicara untuk berkomunikasi dalam bahasa target. Dalam hal ini, kompetensi speaking mempengaruhi kompetensi komunikatif dari pembelajar bahasa. Oleh karenanya, pengajaran speaking harus komunikatif karena siswa tamatan sekolah menengah atas diarahkan untuk memiliki kemampuan berkomnikasi untuk memenuhi tuntutan kerja. Selain itu, mereka dapat melanjutkan studinya ke level yang lebih tinggi. Hal ini dikarenakan melalui speaking siswa dapat mengekspresikan diri mereka dan belajar mematuhi peraturan sosial budaya dalam setiap situasi komunikatif.
Berkomunikasi adalah sebuah prosess jadi tidaklah cukup bagi siswa hanya dengan memiliki pengetahuan tentang bentuk, arti, dan fungsi dari bahasa target. Hal ini dikarenakan ketika siswa meninggalkan kelas, mereka akan melakukan aktivitas yang memerlukan pengaplikasian dari pengetahuan bahasa itu sendiri seperti menyampaikan berita pada orang lain atau ambil bagian dalam sebuah interview. Dalam kehidupan nyata, siswa hanya mendengarkan sesuatu sekali dan mereka tidak bisa selalu meminta seseorang untuk mengulangi apa yang mereka katakan. Ketika seseorang menanyakan sesuatu, pendengar harus mengerti apa yang dkatakan, memikirkan jawabannya dan mengatakannya dalam bahasa Inggris dalam waktu singkat.
Melalui speaking, siswa mempelajari konsep, memperbanyak perbendaharaan kata, dan menyerap struktur bahasa Inggris yang merupakan komponen esensial dalam pembelajaran. Oleh karena itu, speaking merupakan kemampuan yang penting yang harus dikuasai untuk dapat menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi dalam kehidupan nyata.
           
2.1.2
Teknik Panauricon
Kelen (2006) menyatakan bahwa Teknik Panauricon (PT) adalah sebuah metode belajar yang mengatur siswa di kelas berbicara dalam lingkaran, memberikan mereka kesempatan untuk melatih drill atau percakapan dengan sebanyak mungkin partner yang berbeda. Yang ditekankan dalam teknik ini adalah dalam memposisikan guru dalam kelas berbicara pada posisi sentral dimana dia dapat mengubah alur percakapan setiap saat hanya dengan memalingkan kepalanya. Jadi, guru tidak perlu lagi berjalan-jalan dalam kelas tp siswalah yang bergerak. Dengan cara ini mereka akan merasa bahwa guru akan selalu ada untuk mereka. Berbeda dengan kelas tradisional dimana guru berdiri di depan kelas, dalam PT guru berada di tengah-tengah kelas. Walaupun begitu, PT tetap dinyatakan sebagai student-centered classroom karena, setelah diberikan instruksi atau dengan pendahuluan drill, siswalah yang diberikan kesempatan berbicara. Peran guru adalah membatasi waktu di kelas dan mengatur jumlah maksimum dari latihan oral siswa.
               Teknik Panauricon dapat membantu siswa untuk bicara sebanyak mungkin serta untuk memonitor kegiatan speaking sehingga siswa dapat memperbaiki kemampuan speaking mereka. Tujuan dari teknik ini adalah untuk memberanikan siswa untuk bergerak di kelas, memastikan bahwa seluruh anggota kelas berbicara dengan anggota kelas lainnya, untuk mengontrol dan mengatur pergerakan yang dilakukan siswa melalui cara-cara tertentu bahwa siswa diyakinkan jika guru akan tetap bersama mereka dan siap menyediakan keperluan individual mereka (Kelen, 2006).

2.1.3 PENGATURAN TEKNIK PANAURICON
Ada beberapa langkah yang harus ditempuh dalam pengaturan teknik Panauricon, yaitu:
1.      Pre-Panauricon.
Sesuai dengan pernyataan Kelen (2006), pergerakan atau kegiatan memotivasi diri merupakan bagian yang penting dalam pembelajaran bahasa. Total Physical Response (TPR) dapat digunakan sebagai salah satu cara dalam mengatur teknik ini daripada siswa hanya diam secara pasif ditempat duduk mereka masing-masing. Kegiatan pemanasan yang dilakukan lewat beberapa instruksi TPR terbukti efektif dapat memudahkan menyuruh siswa bergerak sebagai bagian dari proses pembelajaran bahasa (Kelen, 2006). Pada TPR, guru berada di tengah-tengah kelas sehingga guru dapat mengubah alur percakapan di kelas tanpa harus bergerak.
2.      Bekerja berpasangan.
Disini, siswa dapat berlatih percakapan bebas yang telah mereka pelajari sebelumnya dengan guru. Tetapi, bagaimanapun canggihnya metode yang digunakan dalam kelas, setiap kegiatan yang diulang secara terus menerus tanpa adanya variasi dapat membuat siswa menjadi bosan. Kelen menyatakan bahwa sangatlah baik memberikan siswa intruksi yang baru dalam menvariasikan drill atau dialog. Membuat perputaran intruksi kelas merupakan bagian yang penting dalam Teknik Panauricon. Kapan dan bagaimanapun (dalam kondisi apapun), melakukan perputaran instruksi di kelas benar-benar merupakan kunci sukses teknik ini. Ketika tidak ada variasi dari putaran pertama ke putaran berikutnya, tepukan tangan atau suara musik dapat menjadi sinyal. Di lain hal, akan sangat sulit memecah perhatian siswa jika mereka masih sangat antusias berdiskusi. Sinyal-sinyal mekanis seperti suara jam atau musik dapat meredam rasa tidak adil siswa dalam menentukan batas waktu jika ada dari mereka yang lebih dulu selesai mengerjakan tugasnya dengan mereka yang selesai belakangan. Meminta siswa untuk menukar tempat duduk dengan partner mereka memberikan mereka kesempatan untuk melakukan beberapa pergerakan.
3.      Bekerja bersama-sama dalam kelompok yang lebih besar.
Dalam Teknik Panauricon, tahap bekerja berpasangan dapat diubah menjadi bekerja sama dalam kelompok yang lebih besar dimana siswa berlatih dialog sesuai dengan topik yang diberikan. Disini, latihan secara jigsaw dapat digunakan dimana siswa perlu bergerak di dalam kelas untuk mendapatkan informasi dari topik tertentu. Di bagian akhir teknik, setiap kelompok harus membacakan laporan yang sudah mereka buat di tengah kelas.

2.1.4 Kelebihan Teknik Panauricon
                        Teknik Panauricon memberikan kesempatan sebanyak mungkin kepada siswa untuk berbicara menggunakan bahasa target. Guru dapat mengubah alur percakapan sesukanya hanya dengan menggelengkan kepalanya. Di dalam kelas, guru tidak perlu mendatangi siswa jika mereka mengalami masalah tetapi siswalah yang mendatangi guru jika mereka mengalami permasalahan. Dalam teknik ini, penggunaan bahasa diaplikasikan secara nyata dimana siswa dapat mengekspresikan ide-ide mereka dengan bebas bersama teman-temannya. Disini, guru dapat mengatur kelompok yang ada dengan mudah karena mengganti kerja berpasangan menjadi kerja berkelompok menjadi sangat mudah karena dalam teknik ini dari awal siswa sudah berpasangan dalam formasi yang sesuai.
Teknik Panauricon memberikan kesempatan kepada setiap siswa untuk berbicara dengan orang lain, memaksimalkan kesempatan bagi siswa untuk mengembangkan diri secara personal dalam menggunakan bahasa target. Proses pengembangan diri ini dapat memperbaiki bahasa siswa karena hal tersebut dapat memudahkan siswa mengutarakan sesuatu yang dapat dengan mudah diartikan (Kelen, 2006). Pada teknik ini, siswa benar-benar berkomunikasi satu sama lain dan guru ada untuk membantu mereka. Teknik Panauricon merupakan cara yang baik untuk mendorong siswa dalam melihat aspek-aspek yang berbeda dari sebuah topik, untuk memperkaya perbendaharaan kata dan struktur kalimat yang berhubungan atau berguna untuk tema-tema tertentu. Mengulang diskusi-diskusi yang masih ada hubungannya di dalam kelompok dapat membantu siswa untuk berpikir lebih luas dan lebih dalam tentang permasalahan yang ada dan hubungan-hubungan yang terdapat didalamnya.
            Teknik Panauricon juga memberikan solusi yang tepat untuk masalah kesinambungan yang terjadi dalam kelompok di kelas. Guru perlu mendorong siswa dalam membentuk kelompok yang terdiri dari empat orang dengan sesedikit mungkin adanya pergantian tempat duduk. Sangatlah mudah dalam mengatur siswa untuk kembali bersama pasangannya setelah belajar dalam kelompok yang lebih besar dengan cara ini. Kelas yang dapat digunakan dalam mengaplikasikan Teknik Panauricon adalah kelas yang besar sehingga siswa dapat bergerak dengan bebas di dalamnya yang dapat memudahkan mereka untuk kembali bekerja dengan pasangannya ataupun kembali pada kelompoknya.
            Teknik ini juga bagus untuk daya ingat. Untuk mempertajam daya ingat, sangat diperlukan pengulangan-pengulangan bentuk leksikal dari srtuktur tata bahasa itu sendiri. Teknik yang menjadikan memorisasi sebagai proses secara tidak sadar haruslah membuat siswa nyaman dalam penerapannya. Setiap perlengkapan yang dapat membuat latihan pengulangan menjadi lebih menarik atau terlihat lebih bervariasi haruslah digunakan. Setiap metode yang membawakan materi untuk diingat dalam kehidupan sehari-hari melalui simulasi dalam penggunaanya di kehidupan nyata ataupun tidak nyata harus dihargai.

2.1.5 Beberapa Contoh Teknik Diskusi dalam Kelompok Berdasarkan Model Teknik Panauricon
                        Kelen (2006) menyatakan bahwa ada banyak sekali contoh diskusi kelompok berdasarkan model Teknik Panauricon, diantaranya:
1)      Setiap kelompok membuat topik mereka sendiri sesuai dengan tema yang diberikan kemudian mendiskusikannya.
Setiap kelompok mengumpulkan topik yang kemudian dikemukakan oleh perwakilan masing-masing kelompok tersebut di depan kelas. Guru lalu mengumpulkan (yang dalam prosesnya mengoreksi), mengkopi, lalu mendistribusikanya ke kelompok lain. Setelah diskusi selama lima menit atau lebih, kelompok-kelompok yang ada memberikan topik mereka pada kelompok lain dalam lingkaran yang dibentuk. Hal ini terus dilakukan sampai semua kelompok mendiskusikan topik-topik yang ada.
2)      Memata-matai.
Dalam kegiatan ini, kelompok yang satu berdebat melawan kelompok yang lain ”secara diam-diam”. Kelompok-kelompok tersebut dapat mengirimkan auditor atau mata-mata untuk mengumpulkan informasi dan membuat catatan kecil tentang argumen dan pendapat dari kelompok lain. Kelompok yang merasa dimata-matai dapat melakukan pencegahan yang dipandang perlu agar pendapat mereka tidak dipakai atau diambil oleh kelompok lain.
3)      Latihan secara Jigsaw.
Setingan teknik Panauricon sangat berguna untuk latihan sejenis jigsaw dimana siswa perlu melakukan pergerakan di dalam kelas untuk mendapatkan informasi. Sangatlah memungkinkan untuk membagi warga kelas ke dalam kelompok penerima informasi dan kelompok pemberi informasi dimana secara alternatif siswa bisa saja memerankan keduanya. Hal ini dapat digunakan sebagai struktur kegiatan pembentukan kelompok.
4)      Scribers dan Whisperers.
Seperti dalam permainan Chinese Whispers, pesan dapat disampaikan dari kelompok yang satu dengan kelompok yang lain. Untuk memberikan peranan pada setiap siswa dan juga untuk memaksimalkan kemungkinan kemungkinan menyimpangnya pesan (sehingga diperlukan pengutaraan yang tepat dan pendengaran yang baik), setiap kelompok dapat secara berkelanjutan memberikan bisikan dari dua arah. Setiap kelompok harus memiliki dua whisperers dan dua scribers (perannya dapat berubah dari putaran pertama ke putaran berikutnya untuk memberikan semua siswa latihan yang sama pada kedua peran). Setiap kelompok dapat memulai dengan satu pesan lisan dan menyampaikannya sekali ke dua arah. Yang berperan sebagai sctibers harus menjaga jalannya pesan tetapi tidak menunjukkan versi tertulis dari pesan tersebut pada siapapun. Mereka harus menyampaikan pesan tersebut pada whisperernya dengan bahasa lisan sebelum pesan tersebut sampai pada kelompok berikutnya.

2.1.6 Teknik Storytelling
                        Budaya di seluruh dunia hampir selalu menggunakan cerita sebagai salah satu cara untuk menyampaikan keyakinan, tradisi, dan sejarah mereka pada generasi mudanya. Cerita tidak hanya membantu dalam menstimulasi imajinasi anak dan memberikan pemahaman kepada mereka tentang dunia tetapi juga dapat membantu dalam mengembangkan kemampuan berbahasa anak serta mengapresiasikan karya sastra. Cerita biasanya sangat menarik dan memotivasi, dapat menarik perhatian pendengar serta mendorong adanya komunikasi. Cerita juga merupakan sumber bahasa yang besar. Selama ratusan tahun, ribuan cerita telah dibuat dan disampaikan pada masyarakat luas. Banyak cerita lama yang dipandang sebagai model bahasa dan sumber budaya dimana pembelajar pada berbagai kelompok umur dan level bahasa dapat menemukan cerita yang cocok untuk dibaca dan diceritakan kembali. Sebagai tambahan, cerita-cerita sekarang ini sangat mudah diakses, misalnya buku cerita dapat ditemukan di toko-toko buku atau dapat dipinjam dari perpustakaan atau dari teman. Sekarang ini, cara yang paling memadai dan paling cepat untuk mendapatkan cerita adalah dari internet.
                        Sebagai alat pembelajaran bahasa, Storytelling merupakan alat mengajar yang praktis dan berguna. Storytelling juga dipandang sebagai metode komunikasi yang sangat sesuai untuk mengembangkan komunitas karena teknik ini didasarkan pada penggunaan dasar dan yang sering dilakukan dalam pembelajaran speaking dan listening. Tidak ada alat khusus dalam penggunaan metode ini selain imajinasi dan kekuatan dari listening dan speaking yang diperlukan untuk menciptakan gambar yang artistik. Isi dari cerita itu sendiri sering menceritakan tentang pengalaman, ilmu pengetahuan, kebijaksanaan, dan harga diri yang disampaikan dari generasi ke generasi. Cerita dapat dengan mudah diadaptasikan atau diperbaharui untuk memasukkan permasalahan-permasalahan atau isu-isu yang sedang berkembang.
                        Storytelling dapat menraik perhatian masyarakat luas. Dalam situasi formal sekarang ini, pendongeng biasanya menyiapkan cerita yang akan disampaikan. Beberapa pendongeng menyampaikan cerita dari imajinasi mereka sendiri. Cerita-cerita lain didapat dengan cara dikumpulkan, kadang-kadang diadaptasikan dari buku-buku dan pendongeng lain. Selain itu, Celce-Murcia (2001: 144, seperti yang dikutip oleh Dewi, 2008) menyatakan bahwa cerita merupakan alat menyampaikan bahasa yang sangat luar biasa. Guru yang berpengalaman dapat menggunakan cerita untuk mengembangkan listening yang efektif, speaking yang lebih fasih, serta kemampuan untuk membaca dan menulis yang mudah dan berkompeten.
                        Madylus (2004) seperti yang dikutip dalam Ratminingsih (2004: 13) mengatakan bahwa Storytelling merupakan salah satu bentuk seni kreatif yang menghibur dan memberikan informasi selama bertahun-tahun. Teknik ini dapat digunakan oleh guru dalam proses belajar mengajar. Melalui Storytelling, kita dapat menjelaskan tentang misteri kehidupan dan dunia untuk memberikan pemahaman pada diri sendiri bagaimana caranya menghargai sesuatu.
                        Sejalan dengan kenyataan di atas, Storytelling dapat mendorong siswa untuk mengeksplorasi keunukan ekspresi mereka dan dapat mempertajam kemampuan mereka untuk menyampaikan pemikiran dan perasaannya. Storytelling juga dapat memperbaiki kemampuan berbahasa siswa seperti perbendaharaan kata, cara memprediksi, merangkai cerita, pemahaman, struktur cerita, dan mengingat kembali. Anak yang terlibat dalam kegiatan mempelajari sejarah dan budaya, dapat mengendalikan emosi mereka dengan lebih baik dan memiliki tingkat kesadaran diri yang tinggi. Kegiatan ini juga dapat menstimulasi daya imajinasi. Kegiatan Storytelling juga selalu aktif dan inventif. Anak-anak perlu menyatukan semua jenis kemampuan kognitif dengan kemampuan motorik dan interpretasi emosi untuk membentuk sebuah pertunjukan, dan karena adanya penyatuan ini, setiap pertunjukan menjadi unik di tangan pendongeng.
Lings (2005) membuat deretan daftar desempatan yang bisa didapat siswa dalam proces penyampaian cerita, diantaranya:
a.          Ingatan yang tajam dan menyatu.
b.      Mengembangkan kemampuan untuk berdiri di hadapan teman ataupun orang lain untuk berbicara dengan percaya diri.
c.          Pengalaman dan pengaturan diri, menggunakan bahasa lisan, menggunakan narasi dan mengeksplorasi ritme, rima, serta bermain dengan kata-kata.
d.      Belajar bagaimana bahasa bisa berubah berdasarkan tujuannya, seperti dalam persuasi, konflik dan resolusinya, serta dalam pembuatan keputusan.
e.         Mengembangkan rasa percaya dalam berbicara dan melakukan kegiatan secara fisik.
f.         Bereksperimen dengan penggunaan dialog, suara, nada, ekspresi, penguasaan karakter, dan efek suara lainnya yang dikombinasikan dengan gerakan, ekspresi wajah, dan bahasa tubuh.
g.      Mengembangkan kepedulian terhadap lingkungan dalam hal letak geografis secara imajinatif dan dalam menciptakan hubungan dengan penonton.
Mengingat pentingnya Storytelling seperti yang disebutkan di atas, tampaknya sangatlah bermanfaat untuk mengimplementasikan Storyteling di kelas. Bagaimanapun juga, siswa dalam hal ini perlu memahami cerita terlabih dulu dan setelah itu mereka diberikan desempatan untuk berbagi persepsi dan respon terhadap cerita yang diberikan. Berdasarkan Deacon dan Murphey (2001) seperti yang dikutip dalam Ratminingsih (2004: 17-18), ada lima tahapan dalam teknik Storytelling, diantaranya:
1.      Latihan repetisi.
Kegiatan ini merupakan kegiatan repetisi dimana secara diam-diam ataupun secara bebas pada saat ini siswa sudah siap menggunakan bahasa.


2.      Meringkas.
Guru mengiformasikan siswa bahwa mereka harus menceritakan kembali cerita yang telah diberikan kepada partnernya dengan membuat ringkasan dari cerita tersebut menggunakan kata-kata sendiri.
3.      Menceritakan kembali.
Guru meminta siswa untuk menceritakan kembali cerita yang telah dipelajari dengan menggunakan bahasa target atau bahasa ibu mereka, terutama jika tidak memungkinkan untuk menggunakan bahasa target.
4.      Evaluasi.
Ini adalah tahap dimana siswa diminta untuk mengevaluasi kegiatan kelas dan pekerjaan rumah mereka.
5.      Pemberian komentar.
Tahap ini merupakan tahap akhir yang meliputi penyeleksian komentar siswa yang diambil dari hasil evaluasi. Komentar ini dibuat dalam bentuk handout dimana kadang-kadang diisi tanpa mencantumkan nama orang yang memberi komentar. Komentar ini kemudian diberikan pada semua siswa di kelas untuk dibaca, dipikirkan, ataupun diberikan komentar pada eveluasi berikutnya.
Mendapatkan perhatian dari penonton bukanlah hal yang mudah. Pendongeng harus bisa memutuskan karakter yang akan dimunculkan serta settingnya, bagaimana bau dan suara mereka, serta apa yang mereka rasakan. Pendongeng harus menggunakan suara, gerakan, dan ekspresi mereka untuk membawakan elemen-elemen ini untuk hidup dalam hati dan pikiran pendengarnya. Pendongeng adalah ”direktur teater pikiran”, pencipta gambaran cerita dan emosi penonton. Itulah mengapa berbagi cerita dapat membangun hubungan komunitas antara pendongeng dengan penontonnya.

2.1.7 Series of Pictures
Penggunaan gambar oleh guru dalam pengajaran bahasa asing menciptakan situasi dan kondisi yang bervariasi. Gambar dapat membimbing siswa pada tingkat ketertarikan dan motivasi yang tinggi. Lebih jauh, gambar dapat membantu siswa memasuki sebuah pengalaman imajinatif dari masa lalu ataupun gambaran masa depan. Sesuai dengan Gerlach dan Ely (1980) pada Suseni (2006: 20), batasan gambar mengacu pada lukisan, gambaran, atau foto sebagai hasil seni. Gambar dapat mewakili situasi nyata dan menghubungkan pembelajaran dengan kehidupan nyata. Selebihnya, penggunaan gambar dapat dengan mudah mewakili konsep atau arti dari kata atau kalimat.
Gerlach dan Ely (1980) pada Suseni (2006: 21) juga menyatakan bahwa ada beberapa keuntungan dari penggunaan gambar sebagai media instruksional:
a.       Gambar tersedia dimana-mana.
b.      Gambar bisa mewakili alur cerita secara jelas.
c.       Gambar dapat menghindarkan siswa dari kesalahpahaman.
d.      Gambar dapat menarik perhatian siswa.
e.       Gambar dapat membantu siswa dalam mengingat kembali apa yang telah mereka pelajari.
f.       Gambar bisa disiapkan dengan mudah.
g.      Gambar dapat mewakili penampilan pencerita dan tingkah lakunya dapat mewakili situasi serta setting.
Sementara itu, Series of Pictures berarti satu set gambar yang terdiri dari dua gambar atau lebih dalam setiap serinya yang mengindikasikan jalannya cerita. Littlewood (1981) seperti yang dikutip oleh Sofia (2002: 15) menyarankan penggunaan rangkaian gambar dan menitikberatkan pada persamaan dan perbedaan kegiatan berkomunikasi. Gambar dapat mewakili kenyataan serta dapat menghubungkan pembelajaran dengan kehidupan nyata. Gambar juga dapat mewakili situasi nyata dan menghubungkan pembelajaran dengan kehidupan nyata. Melalui gambar, konsep dari kata atau kalimat dapat dengan mudah direpresentasikan. Series of Pictures berarti rangkaian gambar yang terdiri dari dua gambar atau lebih dalam setiap serrinilla yang mengindikasikan jalannya cerita.

2.2 Kajian Empiris
Penelitian terhadap penggunaan Teknik Panauricon dilakukan oleh Kelen (2006). Kelen menemukan bahwa PT sangat efektif untuk diterapkan pada sekolah yang siswanya memiliki latar belakang budaya yang majemuk seperti siswa-siswa di Asia Tenggara, SKH Lam Woo Memorial Secondary School, dan Chinese University of Hongkong karena siswa-siswa disini tidak mengasosiasikan kegiatan yang melibatkan gerakan dengan kelas sebagai konteks belajar. PT merupakan teknik yang sangat berguna untuk mengatasi masalah speaking yang sering dihadapi oleh para siswa dan juga untuk mengatur kelas yang besar.
Kedua, Gilfert dan Crocker (1999) seperti yang dikutip oleh Mila (20008) juga melakukan penelitian terhadap penggunaan PT dalam bentuk mempertunjukkan dialog terhadap pelajaran berbahasa non-Inggris di sekolah-sekolah menengah atas di Jepang. Hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa teknik ini memecahkan masalah tentang bagaimana bekerja dalam kelas yang sangat besar yang memungkinkan guru untuk berinteraksi dengan siswa secara individu.
Peneliti ketiga yang melakukan penelitian dengan menerapkan teknik yang sama adalah Mila (2008). Penelitian yang dilakukan adalah penelitian tindakan kelas pada siswa kelas VIIIB SMPN 1 Gerokgak. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa aplikasi teknik PT sangat berguna untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam speaking serta meningkatkan motivasi mereka dalam pelajaran speaking. Hal ini dapat dilihat dari hasil analisis data yang menunjukkan bahwa nilai rata-rata siswa meningkat dari 7.05 di atas 25 (kategory rendah) menjadi 14.68 di atas 25 (kategory rendah) pada siklus 1. Selanjutnya, nilai rata-rata mereka juga meningkat menjadi 18.78 di atas 25 (kategory baik) pada siklus 2. Perbaikan nilai rata-rata siswa juga didukung oleh respon yang positif siswa terhadap implementasi PT dalam kelas speaking mereka. Siswa merasa termotivasi dalam belajar speaking dengan menggunakan PT yang juga membuat mereka termotivasi dalam kelas speaking. PT sangat membantu siswa dalam pembelajaran speaking terutama dalam hal pronounciation, grammar, vocabulary, fluency, dan comprehension karena PT memberikan kesempatan pada siswa untuk berbicara sebanyak mungkin dengan menggunakan bahasa Inggris.
Di lain pihak, beberapa peneliti juga mengatakan bahwa Teknik Storytelling juga sangat membantu dalam kelas speaking. Jianing (2007) telah mengaplikasikan teknik ini dalam kelas speakingnya. Jianing menyatakan bahwa alasan utama ia merekomendasikan Teknik Storytelling dalam kelas speaking EFLnya yaitu karena cerita dapat memotivasi dan menarik, dapat menarik perhatian pendengar, serta mendorong terjadinya komunikasi.
Beberapa penelitian tindakan kelas menunjukkan bahwa pengaplikasian Storytelling juga dapat meningkatkan kemampuan siswa terutama speaking. Angelianawati (2006) melakukan penelitian tindakan kelas dengan menggunakan Teknik Storytelling yang dikombinasikan dengan Total Physical Response (TPR). Dalam teknik ini, tugas utama siswa adalah menceritakan kembali cerita yang diberikan. Penelitian yang dilakukan Angelianawati (2006) ini bertujuan meningkatkan kemampuan oral siswa kelas VIII.1 SMP Laboratorium IKIP Negeri Singaraja tahun ajaran 2005/2006. Sesuai dengan penelitiannya, tingkat kemampuan oral siswa dapat ditingkatkan dengan menggunakan teknik Storytelling dengan kombinasi TPR yaitu dari 3.12 (62%) pada pretest menjadi 3.52 (73%) pada posttest I dan pada akhirnya meningkat lagi menjadi 3.98 (80%) pada posttest II. Teknik ini juga dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam setiap aspek kemampuan oral yang meliputi pronounciation, grammar, vocabulary, fluency, dan comprehension.
Sementara itu, Ratminingsih (2006) juga melakukan penelitian tindakan kelas dengan menggunakan Teknik Storytelling yang dibantu dengan Foto Personal. Tujuan dari penelitiannya adalah untuk meningkatkan kemampuan speaking siswa dalam pelajaran bahasa Inggris yang diintegrasikan dengan kemampuan-kemampuan lain seperti listening, reading, dan writing. Obyek penelitiannya adalah siswa SMP Negeri 1 Sukasada. Dari hasil penelitian yang dilakukan didapat bahwa kemampuan speaking siswa meningkat dari 1.18 (23.6%) pada pre-test menjadi 3.07 (61.4%) pada posttest I, menjadi 3.15 (63%) pada posttest II serta meningkat lagi pada posttest III menjadi 3.37 (67.4%).
Beberapa penelitian juga mengindikasikan bahwa rangkaian gambar-gambar juga merupakan alat yang bermanfaat dalam proses belajar mengajar. Salah satunya adalah yang dilakukan oleh Siswantari (2007). Siswantari melakukan penelitian dengan menggunakan Teknik Inkuiri melalui Rangkaian Gambar di SMP Negeri 3 Sukasada. Melalui teknik ini, prestasi siswa dapat ditingkatkan dari pretest ke posttest I meningkat sebanyak 31.6% sementara dari posttest I ke posttest II meningkat sebanyak 14.3%. Data kuantitatif dari hasil pretest, posttest I, dan posttest II diantaranya 32.5, 64.1, dan 78.4. Hasil dari siklus II telah memenuhi persyaratan nilai ketuntasan yaitu 70%.
Terakhir, penelitian tentang Teknik Storytelling yang dibantu dengan Rangkaian Gambar dilakukan oleh Ratna (2008). Ratna melakukan penelitian tindakan kelas pada siswa kelas VIII.B5 SMP Negeri 6 Singaraja tahun ajaran 2008/2009 yang bertujuan untuk meningkatkan kompetensi oral siswa. Penemuan yang dihasilkan menunjukkan bahwa kompetensi oral siswa kelas VIII.B5 SMP Negeri 6 Singaraja dapat ditingkatkan dengan menggunakan Teknik Storytelling yang dibantu dengan Rangkaian Gambar. Hal ini terlihat dari peningkatan nilai rata-rata siswa dari 3.07 (62% dari nilai maksimum) dalam Pre Action Test menjadi 3.39 (68% dari nilai maksimum) dalam tes di siklus I yang pada akhirnya mencapai 3.79 (76% dari nilai maksimum) pada tes di siklus II. Selanjutnya, peningkatan siswa dalam setiap aspek kompetensi oral dapat dilihat dari peningkatan nilai rata-rata mereka seperti pada pronounciation dari Pre Action Test sampai tes pada siklus II yaitu: 2.89, 3.28, dan 3.49. Dalam hal grammar kompetensi siswa meningkat dari 2.64 pada Pre Action Test menjadi 3.51 pada tes di siklus II. Pada aspek vocabulary, nilai yang didapat siswa meningkat dari 3.13 pada Pre Action Test menjadi 3.51 pada tes di siklus I dan 3.90  pada test siklus II. Sementara itu, dalam hal fluency siswa, nilai rata-rata mereka meningkat dari 3.00 pada Pre Action Test menjadi 3.77 pada tes di siklus II. Untuk kompetensi siswa dalam hal pemahaman cerita, nilai rata-ratanya meningkat dari 3.72 pada Pre Action Test menjadi 4.28 pada tes di siklus II. Hasil dari data kuantitatif mengindikasikan bahwa penguasaan siswa terhadap kompetensi oral melalui pengaplikasian teknik ini juga meningkat. Hasil kuisioner juga membuktikan bahwa Teknik Storytelling yang dikombinasikan dengan Rangkaian Gambar dapat membantu siswa dalam menguasai kompetensi oral.
           
                       

TEKNIK ROLE PLAY

TEKNIK ROLE PLAY UNTUK MENUMBUHKAN KEMAMPUAN PRAGMATIK 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Konsep Kompetensi Pragmatik Pada bab sebelumnya, sudah didefinisikan dengan jelas bahwa menurut Brown (2007) kompetensi pragmatik adalah kemampuan untuk memproduksi dan memahami aspek fungsional and sosiolingustik dari sebuah bahasa: kompetensi Illocutionary. Kompetensi pragmatik lebih menekankan pada kemampuan untuk menyampaikan dan menerima sesuatu yang dimaksud dengan cara yang lebih bersifat praktis daripada teori. Sejalan dengan hal tersebut, Dessaless (1998) mengungkapkan bahwa kompetensi pragmatik memberikan kesempatan untuk menggunakan bahasa dalam situasi nyata, untuk menyampaikan argumen yang relevan, untuk bisa diakui sebagai conversant yang kompeten. Kompetensi pragmatik adalah elemen penting dalam pembelajaran bahasa karena kompetensi ini memungkinkan siswa untuk menggunakan dan mengaplikasikan bahasa yang mereka pelajari. Kompetensi pragmatik merupakan sesuatu yang tidak bisa abaikan dalam interaksi tatap muka dalam bahasa asing (Hasbun: 2004). Dalam hal ini, interaksi di kelas menjadi sangat penting dan merupakan satu-satunya sumber pengembangan kompetensi pragmatik siswa. Kasper dan Schmidt dalam HasbĂșn (2004) mengclaim bahwa pelajar dewasa membutuhkan instruksi yang eksplisit. Apabila hal tersebut tidak dipenuhi, mereka akan mengalami kesulitan dalam mempelajari pola penggunaan bahasa yang sesuai, terutama bahasa asing atau seting kelas dimana kesempatan untuk berinteraksi secara leluasa terbatas. Dengan demikian, guru bahasa inggris harus memberikan kesempatan yang cukup untuk mengembangkan kompetensi pragmatik siswa. Istilah “kompetensi pragmatik” sangat jarang digunakan dalam proses pembelajaran di kelas. Sedangkan istilah “Berbicara” lebih umum digunakan oleh guru ketika mereka ingin menekankan pada kemampuan siswa dalam hal Pelafalan, Struktur Bahasa, Kosakata, Kelancaran, dan Pemahaman. Oleh karena istilah kompetensi pragmatik dan berbicara memiliki spesifikasi yang sama dalam kelima hal tersebut, maka dirasa perlu untuk menjelaskan juga pentingnya berbicara dan masalah-masalah yang muncul dalam berbicara seperti yang diungkapkan oleh para ahli dan peneliti dibawah ini. Berbicara adalah kemampuan produktif yang dilakukan secara oral. Sama seperti kemampuan lainnya, berbicara merupakan sesuatu yang jauh lebih kompleks dari keliatannya dan mencakup lebih dari hanya melafalkan kata-kata. Raphael dalam Martha (2004) mendefinisikan berbicara sebagai sebuah komunikasi untuk menginformasikan sesuatu kepada orang lain. Berbicara adalah proses dua arah antara pembicara dengan pendengar yang mencakup kemampuan produktif atau berbicara dan kemampuan reseptif untuk pemahaman (Byrne dalam Martha: 2004). Seseorang ingin berbicara dengan orang lain untuk bertukar ide atau perasaan. Menguasai kemampuan berbicara adalah hal yang penting untuk menghubungkan siswa dengan guru atau siswa dengan teman-temannya dalam kegiatan di kelas. Berbicara berfungsi sebagai kemampuan produktif dan interaktif. Sasmedi (2008) menyatakan bahwa salah satu cara termudah dan terbaik untuk memberikan kesempatan siswa berbicara bahasa inggris di kelas adalah dengan memberikan pairwork atau bekerja berpasangan. Kegiatan berpasangan terdiri dari dialog, interview, dan tanya-jawab. Widdowson dalam Noni (2003) seperti dikutip oleh Sasmedi (2008) mendekripsikan bahwa kegiatan komunikasi melalui berbicara umumnya dilakukan dengan interaksi tatap muka dan muncul sebagai bagian dari dialog atau bentuk pertukaran informasi lainnya. Kemampuan berbicara berkembang sejalan dengan umur seseorang, namun bukan berarti bahwa perkembangan tersebut bisa langsung sempurna. Untuk berbicara secara lebih efektif dibutuhkan perhatian khusus dan latian terus menerus. Berbicara menuntut siswa untuk tidak hanya tahu bagaimana memproduksi poin-poin bahasa tertentu seperti struktur bahasa, pelafalan, atau kosakata, tetapi juga mengerti kapan, kenapa, dan dengan cara apa mereka bisa menghasilkan bahasa. Perkembangan kemampuan berbicara bisa dilihat dari penggunaan bahasa dalam penampilan individu atau berkelompok. Richards dkk. seperti dikutip oleh Samedi (2008) mengatakan bahwa kegiatan berbicara jarang dilakukan dalam komunikasi satu arah atau dalam penampilan individu. Kegiatan ini mencakup partisipasi dari pendengar. Dalam sebuah komunikasi interaktif, seorang pembicara bisa menjadi seorang pendengar dan sebaliknya. Paultson dan Brunder dalam Sasmedi (2008) menyatakan bahwa tujuan dari pengajaran bahasa adalah produksi kompetensi pembicara untuk berkomunikasi dengan menggunakan bahasa target. Rivers dalam Sasmedi (2008) menyatakan bahwa guru seharusnya memberikan kesempatan kepada siswa untuk berlatih berbicara. Beliau kemudian mengungkapkan bahwa apabila siswa bisa berlatih berbicara sama seperti yang dilakukan anak kecil dalam bahasa aslinya itu berarti bahwa masalah siswa untuk berbicara dengan lancar dalam bahasa asing bisa berkurang. Kayi (2006) memberikan beberapa saran kepada para guru dalam mengajarkan keterampilan berbicara agar siswa mampu berinteraksi secara efektif di kelas: 1) Siapkan waktu sebanyak-banyaknya kepada siswa untuk berbicara dalam bahasa target dengan memberikan situasi atau lingkungan yang bisa memacu kerja collaborative, materi otentik dan tugas-tugas, serta pengalaman yang bisa diketoktularkan. Dalam hal ini, siswa seharusnya diberikan kesempatan yang cukup untuk menggunakan bahasa yang bisa dilakukan dengan baik dengan cara menempatkan mereka ke dalam kelompok. 2) Mengurangi kecenderungan guru untuk berbicara di dalam kelas ketika sedang mengoptimalkan waktu berbicara siswa. Tujuan utama dalam hal ini adalah untuk mengaplikasikan teknik kengajaran student-centered dimana kegiatan dipusatkan pada siswa. Hal ini penting untuk meningkatkan kemampuan berbicara siswa. 3) Memberikan respon yang positif ketika mengomentari respon siswa. Ini berarti bahwa guru harus memberikan situasi senyaman dan seaman mungkin kepada siswa dengan memberikan apresiasi pada mereka yang mau berbicara. 4) Jangan terlalu sering mengoreksi kesalahan siswa ketika mereka sedang berbicara. Koreksi seharusnya tidak menggangu penampilan siswa. Mengoreksi secara langsung saat siswa berbicara membuat mereka tegang dan takut untuk mengucapkan kata-kata lain. Akan lebih baik apabila koreksi dilakukan dengan cara menuliskannya di atas papan dan menjelaskannya pada semau siswa setelah performance mereka selesai. 5) Yakinkan bahwa seluruh siswa mengikuti dengan baik dan lihat apakah mereka membutuhkan bantuan ketika bekerja dengan temannya atau tidak. Kadang-kadang siswa malu untuk bertanya atau meminta bantuan kapada guru ketika mereka tidak paham akan sesuatu. Itulah sebabnya, guru sendiri harus melakukan pendekatan kepada siswa agar mereka dapat menyelesaikan tugasnya dengan baik. 6) Sebelum memulai kegiatan, siapkanlah kosakata yang diperlukan oleh siswa dalam penyampaian speech mereka. Kekurangan kosakata merupakan masalah yang sering dihadapi siswa. Dengan memberikan mereka bekal kosakata yang cukup sebelum mereka mulai berbicara, siswa bisa mengurangi masalah mereka dalam berbicara. 7) Diagnosa masalah yang mungkin dihadapi oleh siswa yang memiliki kesulitan dalam mengekspresikan sesuatu dalam bahasa target dan berikan kesempatan yang lebih banyak untuk berlatih berbicara. Seorang guru diharapkan bisa menjadi seorang dokter bagi siswanya. Dia harus tahu masalah dan penyebab masalah yang dihadapi siswanya. Kemudian, dia juga harus mampu membantu menemukan solusi dari permasalahan tersebut sehingga siswa dapat belajar secara optimal. Sesuai dengan penjelasan di atas, sudah sangat jelas bahwa kompetensi pragmatik dan kemampuan berbicara lebih terfokus pada kemampuan siswa untuk bisa mengekspresikan, memahami ide, opini, dan perasaan dengan lancar dan pelafalan, struktur bahasa serta kosakata yang akurat. 2.1.2 Role Play Role Play adalah sebuah metodologi yang berasal dari istilah Sociodrama yang bisa digunakan untuk membantu siswa memahami aspek-aspek kebahasaan, aspek social, ataupun aspek science atau matematika (Blatner: 1995). Role Play telah diketahui sebagai salah satu metode pengajaran sejar akhir 1940an. Bell (2001) menyatakan bahwa Role Play sudah sangat lama diketahui oleh guru dan para trainer sebagai sebuah teknik yang diguanakan untuk pengajaran keterampilan dan pengemabangan sikap dalam situasi tatap muka. Role Play sudah sangat banyak digunakan dan sudah sikenal sebagai suatu teknik yang efektif dalam pengajaran ESL/EFL. Dangerfield (1986) dalam Martha (2004) menyatakan bahwa Role Play adalah salah satu metode yang digunakan untuk memaksimalkan waktu berbicara siswa, memastikan bahwa siswa mendapat tingkat latihan yang optimal selama waktu belajar di kelas yang cukup terbatas. Ladousse (1987) dalam Sugihartnini (2005) kemudian juga menjelaskan bahwa Role Play adalah sebuah kegiatan di dalam kelas yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk menggunakan bahasa, aspek aturan tingkah laku, dan peran-peran yang memang dibutuhkan dalam kehidupan di luar kelas. Siswa tidak akan merasa canggung untuk menciptakan situasi nyata tersebut dan dengan melakukan hal itu mereka bisa bereksperimen dengan pengetahuan yang mereka dapat di kehidupan nyata dan mengembangkan kemampuan mereka untuk berinteraksi dengan orang lain. Kemampuan siswa untuk menggunakan bahasa inggris secara tidak disadari meningkat dengan melakukan Role Play. Kayi (2006) juga memiliki pendapat yang sama tentang Role Play. Beliau menyatakan bahwa cara lain untuk membuat siswa berbicara adalah dengan Role Play. Siswa berpura-pura bahwa mereka berada dalam berbagai macam konteks sosial dan memiliki beragam peran. Dalam Role Play, guru memberikan informasi berupa siapa mereka dan apa yang mereka pikirkan atau rasakan. Teknik ini bisa digunakan siswa untuk mempelajari infromasi penting dalam kehidupan nyata dimana teknik ini memberikan kesempatan kepada siswa untuk berpikir lebih dalam tentang bagaimana mereka akan bertingkah laku dalam kehidupan nyata. Pada sebagian besar Role Play, masing-masing siswa berperan sebagai seseorang yang memiliki permasalahan tertentu dan memahami kondisi tersebut berdasarkan perspektif dari orang tersebut. Sejalan dengan hal ini, Kitao (1996) juga menyatakan bahwa siswa dalam Role Play diberikan situasi untuk bermain peran dengan orang lain. Mereka diberikan informasi lebih rinci mengenai apa peran mereka, fungsi specifik apa yang akan mereka bawakan dan lain sebagainya. Role Play melibatkan dua sampai tiga orang. Sebagian besar dari siswa hanya akan mengamati dan menganalisis interaksi yang dilakukan oleh kedua pemain tersebut (Killen: 1996). Role Play adalah metode yang sangat bermanfaat dalam proses pembelajaran bahasa asing. Teknik ini sangat menarik dan berguna bagi siswa karena menekankan pada pengetahuan tentang kehidupan nyata. Teknik ini juga memberikan kesempatan berharga pada siswa untuk tidak hanya belajar tentang suatu teori tetapi juga sudut pandang-sudut pandang tertentu tentang hal itu. Tompkins (1998) menyatakan bahwa keberadaan Role Play bisa memacu siswa untuk berpikir kreatif, membantu siswa mengembangkan dan berlatih bahasa baru dan keterampilan bertingkah laku dalam situasi yang relatif nyaman dan aman, dan bisa memotivasi siswa untuk belajar. Larsen-Freeman (1986) menjelaskan bahwa Role Play baik terstruktur atau tidak sangat penting dalam pendekatan komunikaif karena teknik ini memberikan kesempatan kepada siswa untuk berlatih berkomunikasi dalam konteks sosial yang berbeda-beda dan peran yang beragam juga. Role Play bisa meningkatkan kemampuan berbicara siswa dalam berbagai situasi dan membantu mereka untuk berinteraksi. Sedangkan bagi siswa yang pemalu, Role Play mampu membantu mereka dengan memberikan topeng dimana siswa yang memiliki kesulitan untuk bercakap-cakap ini bisa dibebaskan dari rasa malu atau tidak nyaman. Terlebih lagi, Role Play sangat menyenangkan dan banyak orang percaya bahwa perasaan senang dan nyaman bisa mengarahkan mereka pada proses belajar yang lebih baik (Krish: 2001). Banyak guru merasa bahwa Role Play memiliki banyak kelebihan karena siswa tidak harus menanggung resiko untuk tingkah laku ataupun kata-kata yang mereka keluarkan saat bermain peran. Dengan kata lain, karakter merekalah yang berbicara, bukan mereka. Sudah dibuktikan pula bahwa beberapa anak pemalu bisa lebih banyak bicara ketika mereka bermain peran (Harmer: 1991). O’Donnell dan Shaver dalam Killen (1996) menyatakan bahwa Role Play digunakan untuk mengembangkan keterampilan siswa dalam berkomunikasi. Ada banyak keuntungan dalam pengguanaan Role Play. Furness (1976) dalam Huang (2008) selanjutnya menyatakan bahwa seorang siswa bisa menikmati dan mendapatkan keuntungan dari pengalaman Role Play untuk meningkatkan keterampilan berkomunikasi, berkreatifitas, meningkatkan kepekaan sosial, berpikir independent, mengutarakan pendapat, mengembangkan nilai dan apresiasi terhadap seni drama. Akan ada banyak keuntungan apabila Role Play diaplikasikan di dalam kelas secara tepat. Ladousse (1987) dalam Sugihartini (2005) kemudian merekomendasikan beberapa alasan penggunaan Role Play dalam pembelajaran bahasa yang membuat teknik ini penting untuk peningkatan kompetensi pragmatik siswa. Alasan-alasan tersebut adalah sebagai berikut: 1) Ada banyak pengalaman yang dibawa ke dalam kelas melalui Role Play. Fungsi dan struktur bahasa serta lingkup kosakata yang bisa dikenalkan kepada siswa diberikan melalui aktifitas berkelompok seperti percakapan, permainan komunikasi, atau latihan-latihan lainnya. Melalui Role Play, kita bisa melatih siswa untuk berbicara dalam berbagai kondisi dan situasi. 2) Role Play menempatkan siswa pada situasi dimana mereka dituntut untuk menggunakan dan mengembangkan pengetahuan dalam bentuk bahasa yang sangat penting terkait dengan hubungan sosial, akan tetapi sering diabaikan dalam silabus pembelajaran bahasa yang biasa digunakan. Banyak siswa beranggapan bahwa bahasa merupakan sesuatu yang berhubungan dengan pentransferan informasi tertentu dari satu orang ke orang lain. Mereka hanya sedikit berbicara dan sebagai akibatnya proses ini berlangsung dengan sangat singkat dan terkesan tidak beraturan. Keterampilan sosial ini bisa dibangun sejak dini melalui Role Play. 3) Beberapa orang mempelajari Bahasa Inggris untuk mempersiapkan peran-peran tertentu dalam hidup mereka: orang yang ingin berkerja di luar negeri atau dalam konteks internasional. Merupakan hal yang penting bagi siswa dalam hal ini untuk mencobakan atau bereksprimen dengan bahasa yang akan mereka butuhkan dalam lingkungan kelas yang aman dan bersahabat. Bagi siswa-siswa ini, Role Play merupakan salah satu teknik latihan yang sangat membantu dalam berlatih tentang kehidupan nyata. Mereka tidak hanya belajar bagaimana cara membuat atau mengungkapkan sebuah prase tertentu tapi juga belajar cara berinteraksi yang mungkin terjadi dalam berbagai situasi. 4) Role Play membantu siswa pemalu dengan seakan-akan memberikan mereka topeng. Beberapa anggota kelompok yang cenderung pendiam mungkin memiliki kesulitan yang tinggi untuk berpartisipasi dalam percakapan tentang diri mereka sendiri atau dalam kegiatan lain yang didasarkan pada pengalaman langsung. Siswa-siswa ini dibantu oleh Role Play karena mereka tidak lagi merasa bahwa personality mereka akan dijadikan sorotan teman-temannya. 5) Role Play merupakan teknik yang menarik. Ketika siswa mengerti tentang apa yang sebenarnya diharapkan dari mereka, siswa akan membiarkan imajinasi mereka mengalir begitu saja. Meskipun hal tersebut bukanlah hal yang besifat scientific, kebanyakan guru sependapat bahwa perasaan senang dan nyaman ini akan secara otomatis mengarahkan siswa untuk belajar dengan lebih baik lagi. 6) Role Play merupakan salah satu teknik komunikasi yang mengembangkan kelancaran berbicara siswa dalam bahasa yang mereka pelajari, membantu terjadinya interaksi dalam kelas, dan meningkatkan motivasi siswa. Role Play adalah teknik yang paling fleksibel dan guru yang mengaplikasikan teknik ini dapat mencapai berbagai kebutuhan dan latihan efektif. 2.1.3 Prosedur Role Play Prosedur meliputi langkah-langkah kegiatan selama aplikasi teknik tertentu. Role Play adalah sebuah teknik yang sangat fleksibel dalam kegiatan pembelajaran yang memiliki variasi dan imajinasi yang sangat luas. Menurut Ladousse dalam Krish (2001), Role Play menggunakan teknik komunikasi yang berbeda dan digunakan untuk mengembangkan kelancaran berbahasa, menciptakan interaksi dalam kelas, dan meningkatkan motivasi. Melalui Role Play, proses pembelajaran dan pertukaran informasi antara siswa dan guru menjadi lebih intensif. Bailey (2005) juga mengatakan bahwa Role Play bisa menjadi prosedur yang sangat bagus untuk membantu siswa belajar dan berlatih ungkapan-ungkapan penting, kosakata, dan struktur bahasa. Di bawah ini adalah langkah-langkah kegiatan dalam Role Play yang disarankan oleh Ladousse (1987) dalam Martha (2004:8): 1) Siswa mengikuti kegiatan awal dimana topik dan situasi akan diperkenalkan. Hal tersebut akan muncul kemudian dalam tugas Role Play. Kegiatan-kegiatan ini bisa dilakukan dengan berbagai cara seperti brainstorming, kegiatan perengkingan, dan tugas problem solving. 2) Siswa kemudian membaca sebuah dialog sehubungan dengan topik. Hal ini dilakukan untuk memberikan model interaksi yang akan ditampilkan siswa dalam Role Play dan untuk memberikan contoh bahasa yang bisa digunakan dalam interaksi tersebut. 3) Siswa pada tahap ini menampilkan Role Play. Format yang terbukti efektif dalam pelaksanaan Role Play adalah format dimana hanya sedikit kata kunci yang diberikan dalam kartu peran. Apabila kartu peran atau role card yang diberikan memuat informasi yang terlalu banyak, siswa akan cenderung melakukan tugasnya dengan cara membaca dan mereka hanya akan mengucapkan kembali kalimat-kalimat yang sudah ada dalam role card daripada harus membuat kalimat dengan bahasa mereka sendiri. 4) Siswa kemudian memperdengarkan rekaman dari pembicara asli yang melakukan adegan yang sama dalam Role Play tersebut. Ini merupakan variasi yang penting dalam penggunaan Role Play. Dengan meminta siswa untuk mendengarkan rekaman dari pembicara asli, mereka akan dapat berlatih secara tidak langsung, mereka bisa membandingkan perbedaan antara cara mereka mengekspresikan suatu makna dan fungsi bahasa tertentu dengan cara seorang pembicara asli menyampaikan hal yang sama. 2.1.4 Teknik Storytelling Ketertarikan dan partisipasi siswa diakui sebagai kunci kesuksesan siswa dalam belajar. Seni bisa berkontribusi positif pada kesuksesan akademik dan kestabilan emosi siswa. Seni bercerita atau storytelling terutama merupakan seni yang sangat cocok untuk mengeksplorasi kemampuan siswa. Cerita membantu siswa untuk mampu mengartikan dan peka terhadap dunia, budaya, dan diri mereka sendiri. Larkin (1997) mengungkapkan bahwa Storytelling adalah sebuah seni oral untuk bertukar pengalaman atau cerita kepada audience. Storytelling secara umum merupakan kegiatan berbicara, sesuatu yang hampir selalu diinginkan dan dibutuhkan oleh siswa EFL. Hal ini merupakan sesuatu yang bersifat praktis. Ini bukan hanya masalah bertanya dan menjawab seperti dalam sebuah percakapan. Siswa bisa bertukar informasi, pengalaman pribadi, menceritakan kembali cerita seseorang, menceritakan hal-hal lucu, dan lain sebagainya. Celce-Murcia dalam Ratna Dewi (2008) menyatakan bahwa cerita adalah alat yang ampuh dalam pengajaran bahasa. Cerita bisa digunakan untuk mengembangkan keterampilan mendengarkan yang lebih efisien, kelancaran berbicara, dan kemampuan membaca dan menulis secara mudah dan berkompeten. Sebagai alat pembelajaran, teknik bercerita bisa membantu siswa untuk mengeksplor keunikan cara berekspresi mereka dan bisa meningkatkan kemampuan siswa untuk berkomunikasi secara lancar dan mengekspresikan pemikiran atau perasaan mereka. Hal ini juga didukung oleh Jianing (2007) yang menyatakan bahwa alasan utama menggunakan Storytelling dalam kelas berbicara EFL adalah karena cerita merupakan hal yang bisa memotivasi siswa, menarik perhatian pendengar, dan membantu menciptakan komunikasi. Decon dan Murphey dalam Ratminingsih (2004: 17-18) menyebutkan lima fase yang harus diaplikasikan dalam Storytelling yaitu: 1) Shadowing Ini adalah aktivitas dimana siswa melakukan pengulangan dengan menggunakan bahasa dalam hati ataupun keras-keras. 2) Summarizing Guru menginformasikan kepada siswa bahwa mereka akan menceritakan kembali cerita yag sudah diberikan kepada teman-teman mereka dengan cara membuat kesimpulan dengan menggunakan bahasa mereka sendiri. 3) Retelling stories outside the class Guru meminta siswa untuk bercerita diluar kelas dengan menggunakan bahasa target ataupun dengan bahasa ibu yang biasa mereka gunakan sehari-hari terutama ketika tidak memungkinkan bagi mereka untuk menggunakan bahasa target. Kemudian siswa memberikan komentar kepada guru apakah teknik tersebut berguna atau tidak. 4) Action Logging Ini adalah saat dimana siswa diminta untuk mengevaluasi tugas dan aktivitas kelas mereka. 5) News Lettering Langkah terakhir adalah seleksi komentar siswa yang diambil dari hasil evaluasi pada tahap sebelumnya. Newsletter ini ditulis dalam bentuk handout yang kadang-kadang tanpa nama. Kemudian newsletter ini di sampaikan ke seluruh siswa untuk dibaca, dipikirkan, dan diberikan komentar pada kategorisasi selanjutnya. Selanjutnya, Forest (2000) menyebutkan beberapa konsep penggunaan Storytelling di kelas yang menjadi keunggulan dari penggunaan Storytelling. Berikut adalah beberapa dari konsep tersebut: 1) Storytelling membantu siswa untuk mengekspresikan pemikiran dan perasaan mereka dalam bahasa oral 2) Seni bercerita bisa merupakan alat belajar yang menyenangkan baik untuk keterampilan mendengarkan maupun berbicara 3) Guru bisa secara efektif memberikan contoh atau model yang menarik, bahasa-bahasa ekspresive untuk diikuti oleh siswa 4) Kosakata baru bisa dikenalkan dan mudah dipahami dalam konteks cerita 5) Storytelling adalah suatu cara untuk menekankan keunikan dari daya imajinasi setiap orang 6) Imajinasi bisa menghasilkan bahasa 7) Pemahaman atau kamampuan untuk mengartikan alur sebuah cerita juga difasilitasi dengan kamampuan untuk membuat kerangka berpikir tentang inti-inti kejadian di dalam cerita. 2.1.5 Series of Pictures Gambar berseri atau series of pictures bisa diartikan sebagai media visual yang bisa diklasifikasikan sebagai alat bantu dalam pengajaran (Irianto dalam Francis, 2004:5). Gambar memberikan informasi yang tidak perlu dialihbahasakan oleh siswa. Gambar bisa mengurangi penjelasan panjang dalam bentuk verbal yang tidak akan dimengerti oleh siswa. Selain itu, gambar juga bisa mengkomunikasikan informasi yang tidak lengkap dan dengan demikian gambar akan menyisakan ruang imajinasi dan kreatifitas bagi siswa. Ernestova dalam Francis (2004:13) juga melihat bahwa gambar dan sesuatu yang ada di dalamnya lebih jelas dibandingkan dengan kata-kata. Gambar bisa membantu siswa untuk memahami makna kata secara jelas. Curtis dan Bailey (2001) seperti dikutip oleh Bailey (2005) menyebutkan sepuluh alasan penggunaan gambar dalam pengajaran bahasa: 1) Gambar memiliki sesuatu untuk diceritakan. Gambar bisa mengalihkan perhatian siswa pada gambar yang sedang didiskusikan. 2) Gambar bisa memperkenalkan dan mengilustrasikan topik-topik menarik ke dalam kelas yang tidak berhubungan dengan buku pelajaran mereka demikian juga topik-topik diluar keahlian guru. 3) Gambar akan didukung oleh aspek visual dalam pembelajaran ketika gambar-gambar tersebut mengaktifkan image mental yang bisa membantu siswa untuk mengingat struktur kosakata tertentu. 4) Gambar bisa lebih mudah digunakan di dalam kelas dibandingkan dengan media nyata lainnya. 5) Gambar menambah warna dan kesan menarik dalam sebuah diskusi atau latihan menulis tanpa harus mengeluarkan biaya yang mahal. 6) Gambar bisa digunakan melalui berbagai cara oleh guru yang berbeda untuk berbagai bidang studi yang berbeda pula. Gambar tidak terpatok pada teknik tertentu, ukuran kelas, ataupun level siswa tertentu. 7) Gambar adalah alat bantu yang praktis dibawa ke kelas, tidak berat, dan tahan lama. 8) Gambar sangat sesuai dengan teknologi dalam mengajarkan tentang lingkungan. 9) Gambar dapat menciptakan kreatifitas dan pemikiran yang kritis. 10) Gambar tidak membatasi siswa untuk menggunakan bahasa tertentu saja. Oleh karena Series of Pictures atau gambar berseri disadari sebagai alat bantu pembelajaran yang sangat bermanfaat, maka penggunaannya dalam implementasi teknik Storytelling juga akan sangat bermanfaat. Gambar berseri digunakan untuk membantu siswa dalam menampilkan cerita mereka. Series of Pictures dalam hal ini ditujukan pada gambar berseri ynag terdiri dari dua gambar atau lebih yang mengindikasikan jalan cerita. Sebuah gambar berseri berperan sebagai urutan kejadian yang akan mendeskripsikan sesuatu dan menimbulkan interpretasi pada siswa. Dengan menggunakan gambar berseri, siswa menjadi lebih terarah dalam menyampaikan cerita mereka. Gambar tersebut mengarahkan mereka pada setiap kejadian dalam cerita. 2.1.6 Prosedur Storytelling Technique Assisted with Series of Pictures Sebagaimana telah dideskripsikan oleh Ratna Dewi (2008), aplikasi teknik Storytelling yang dihadirkan dengan didukung oleh adanya gambar berseri dapat dilakukan dengan prosedur sebagai berikut: 1. Guru memberikan rangkaian gambar yang mengilustrasikan sebuah cerita 2. Kemudian siswa diminta untuk mempelajari rangkaian gambar tersebut 3. Setelah itu guru meminta siswa untuk mengungkapkan rangkaian gambar yang telah mereka pelajari. 4. Guru meminta siswa untuk mencari kata-kata yang mungkin akan membantu mereka menceritakan gambar tersebut dengan lebih baik. 5. Guru memberitahukan kepada siswa bahwa mereka akan menceritakan kembali cerita tersebut di depan kelas. 6. Guru kemudian memberi contoh bagaimana cara bercerita atau menceritakan sebuah karangan naratif. Selama narasi berlangsung, guru boleh menggunakan strategi tertentu untuk mengekspose lagi cerita yang ada yaitu dengan: pausing di dalam cerita, menarasikan kesalahan dan membiarkan siswa yang mengoreksinya, ataupun melontarkan pertanyaan singkat. 7. Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk berlatih 8. Guru meminta beberapa orang siswa untuk menceritakan kembali cerita yang ada di depan kelas. 9. Selama aktivitas ini, guru melontarkan beberapa pertanyaan untuk mengukur pemahaman siswa pada cerita 10. Selama proses ini, guru juga meminta kepada siswa lainnya untuk berkonsentrasi dan menyimak penampilan temannya, kemudian setelah itu mereka harus mengomentari penampilan temannya tersebut. 11. Guru juga bisa mengajarkan bagaimana cara melafalkan kata tertentu dan memaknainya sehingga siswa tahu bagaimana pelafalan dan makna yang sebenarnya. 2.2 Landasan Empiris Ada banyak peneliti yang telah melakukan penelitian tentang Role Play (RP) maupun Storytelling Technique Assisted with Series of Pictures (STSP) yang tidak bisa disebutkan satu per satu dalam penelitian ini. Akan tetapi peneliti menyebutkan beberapa penelitian dalam beberapa tahu belakangan ini tentang RP dan STSP yang cukup bisa membuktikan bahwa kedua teknik ini memang efektif untuk mengembangkan kompetensi pragmatik siswa. RP sudah pernah digunakan di Malaysia oleh Krish (2001) pada pelajar jarak jauh dari Kuching, Sarawak Center yang hanya memiliki waktu yang sangat terbatas untuk bertemu dengan instruktur mereka. RP dalam kelas ini memungkinkan tujuan dari materi yang disampaikan bisa tercapai dalam waktu yang singkat. Hasilnya menunjukkan bahwa pelajar jarak jauh ini menikmati diri mereka selama berperan sebagai orang lain. Mereka merasa lebih dekat dengan anggota kelompok mereka dan menyadari bahwa dengan bekerja dalam kelompok mereka bisa belajar dengan lebih baik. Dengan aktivitas ini mereka juga merasa lebih percaya diri. Dan akhirnya mereka bisa berlatih secara optimal baik tentang bahasa itu sendiri maupun tentang keterampilan berinteraksi meskipun dalam waktu yang sangat singkat. Penelitian tentang Role Play juga pernah dilakukan pada siswa di Singaraja oleh Martha (2004). Martha mengaplikasikan Role Play untuk meningkatkan kemampuan berbicara siswa SMU Laboratorium IKIP Negeri Singarja. Dia menyatakan bahwa implementasi Role Play mampu meningkatkan kemampuan berbicara siswa terutama dalam hal Pelafalan, Struktur Bahasa, Kosakata, Kelancaran, dan Pemahaman. Prihatin (2008) juga pernah melakukan penelitian tentang Role Play pada siswa kelas 2 SMA Negeri 1 Karangnongko, Klaten. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan implementasi dari pengajaran berbicara dengan menggunakan Role Play. Hasilnya menunjukkan bahwa rata-rata pada Pre-test adalah 52.63, rata-rata pada Cycle pertama adalah 59.3, rata-rata pada cycle kedua adalah 60.3 dan 65.3 pada cycle ketiga, sehingga rata-rata posttest dari penelitian ini adalah 70.3. hasil rata-rata pre-test sampai posttest menjelaskan bahwa implementasi pengajaran berbicara melalui Role Play bisa meningkatkan prestasi siswa dalam berbicara bahasa inggris. Huang (2008) juga pernah menggunakan Role Play untuk mengajar siswa EFL di SD Jing Shan, Taiwan. Siswa di sekolah ini baru saja belajar bahasa inggris sebagai bahasa asing dan jumlah kosakata yang mereka kuasai masih sangat terbatas. Huang mengajak siswanya untuk berlatih dalam kelompok kecil atau berpasangan untuk bergabung di dalam Role Play dan merasakan keuntungan dari Role Play. Setelah menggunakan Role Play sebagai teknik pembelajaran, Huang menyimpulkan bahwa Role Play merupakan pengalaman belajar yang sangat bermanfaat baik untuk guru maupun untuk siswa. Dengan Role Play kemampuan siswa dalam berbicara, mendengarkan, dan memahami bahasa bisa lebih ditingkatkan. Role Play menciptakan suasana belajar yang hidup dan menyenangkan di dalam kelas. Siswa belajar menggunakan bahasa secara lebih realistis dengan cara yang lebih praktis. Dengan demikian mereka akan lebih mengenal penggunaan bahasa inggris dalam praktek kehidupan sehari-hari. Role Play adalah teknik yang sangat berguna yang harus lebih sering diimplementasikan oleh guru-guru ESL/EFL di dalam kelas. Di lain pihak, teknik Storytelling juga pernah diaplikasikan dengan sukses oleh Jianing (2007) pada siswa EFL di Cina dalam kelas berbicara mereka. Jianing menyarankan untuk menggunakan cerita sebagai bagian dari pengajaran berbicara di kelas. Dalam penelitian ini, Jianing menyatakan bahwa alasan utama penggunaan Storytelling dalam kelas adalah karena cerita merupakan hal yang bisa memotivasi dan menarik perhatian siswa dan dapat menciptakan komunikasi. Menurut Jianing, gambar juga berperan penting dalam bercerita. Hasil dari studi ini menunjukkan bahwa setelah beberapa bulan kemampuan siswa dalam berbicara memang diakui meningkat pesat. Francis (2004) juga pernah menggunakan gambar berseri atau Series of Pictures dalam penelitian tindakan kelas yang dia lakukan untuk meningkatkan kemampuan menulis paragraf naratif pada siswa SMA Negeri 2 Singaraja. Hasil penelitian menunjukkan peningkatan pada kemampuan menulis siswa. Hal ini terbukti dari hasil rata-rata pada pre-test yang hanya 50.42 meningkat pada posttest I menjadi 72.0 dan meningkat lagi pada posttest II menjadi 80.15. Ratminingsih and Namiasih (2004) juga pernah melakukan studi dalam pengaplikasian Storytelling untuk meningkatkan prestasi siswa dalam berbicara. Penelitian ini dilakukan di SMU Negeri 4 Singaraja dan hasilnya menunjukkan bahwa Storytelling bisa meningkatkan kemampuan berbicara siswa dan juga aspek-aspek bahasa yang diaplikasikan dalam kegiatan berbicara seperti kosakata, struktur bahasa, dan pelafalan. Kemampuan berbicara siswa meningkat dari pre-test yang hanya 2.56 menjadi 2.99 pada posttest I, 3.71 pada posttest II, dan akhirnya sampai pada rata-rata dengan kategori cukup pada posttest III yaitu 4.01. Penelitian tindakan kelas lainnya dilakukan oleh Ratna Dewi (2008). Dia melakukan penelitian pada siswa SMP Negeri 6 Singaraja untuk meningkatkan kompetensi oral siswa dengan menggunakan STSP. Peningkatannya ditunjukkan oleh siswa dalam hal palafalan, struktur bahasa, kosakata, kelancaran dan juga pemahaman. Hasil penemuan di atas menunjukkan bahwa kedua teknik tersebut memang terbukti efektif untuk meningkatkan kemampuan berbicara siswa dan dengan demikian kedua teknik ini juga bisa berpengaruh pada perkembangan kompetensi pragmatik siswa. Oleh karena itu, penelitian ini akan mencoba membandingkan perkembangan kompetensi pragmatik siswa yang diajarkan melalui RP dan STSP.