Penerapan Metode Cooperative Learning Tipe STAD (Students Team Achievement Division) pada Perkuliahan Reading I untuk Meningkatkan Kemampuan Pemahaman Membaca Mahasiswa
OLEH
I.G.A . Lokita
Purnamika Utami, S.Pd.
Dibiayai oleh Daftar Isian
Pelaksanaan Anggaran (DIPA) Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, Departemen
Pendidikan Nasional, sesuai dengan Surat Perjanjian Pelaksanaan Hibah
Penelitian
Nomor : 043/SP2H/PP/DP2M/III/2008
Tanggal
: 6 Maret 2008
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA INGGRIS
FAKULTAS BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS PENDIDIKAN GANESHA
Desember, 2008
BAB I
PENDAHULUAN
Kegiatan membaca merupakan hal yang sangat
penting bagi kehidupan manusia, karena dengan membaca dapat memperkaya dan
memperluas wawasan kehidupan, sehingga pembaca semakin mampu untuk mendewasakan
diri. Proses pendewasaan diri melalui membaca merupakan pengejawantahan dari
konsep humaniora. Dengan demikian, sesungguhnya kegiatan membaca membawa misi
humaniora (Koendjono, 1987: 86)
Melihat
kenyataan diatas, maka keterampilan membaca perlu mendapat perhatian khusus.
Kalau dipandang dari sudut pendidikan ditingkat perguruan tinggi, membaca tidak
saja bermanfaat bagi mahasiswa dalam mempelajari satu mata kuliah saja
melainkan untuk semua mata kuliah.
Sehubungan dengan itu, mahasiswa
perlu memiliki keterampilan membaca yang baik, terutama bagi mahasiswa yang
mempelajari bahasa asing, seperti
mahasiswa jurusan Pendidikan Bahasa Inggris. Hal ini juga ditekankan
oleh Tarigan (1986) bahwa mambaca merupakan salah satu keterampilan bahasa yang
harus dikuasai. Ratminingasih d.kk (1999) juga mengatakan bahwa dalam
pembelajaran bahasa Inggris terdapat 4 macam keterampilan bahasa yang harus
dikuasai yaitu; reading, writing, speaking, dan listening. Keempat
ketrampilan bahasa (language skills)`tersebut sangatlah perlu untuk
dikuasai untuk memungkinkan siswa menggunakaan bahasa Inggris baik secara aktif
maupun pasif.
Memiliki
kemampuan memahami bacaan sangat penting mengingat mahasiswa jurusan Pendidikan
Bahasa Inggris diwajibkan untuk mengikuti perkuliahan yang menggunakan berbagai
literatur berbahasa Inggris. Hal ini tentunya mengharuskan mahasiswa-mahasiswa
tersebut untuk mampu memahami teks bacaan berbahasa Inggris dengan baik, karena
tanpa kemampuan tersebut maka mereka akan menemui kesulitan memahami mata
kuliah yang mereka pelajari.
Agar
mahasiswa memiliki keterampilan membaca yang baik, mereka hendaknya dilatih
menangkap ide secara tepat di dalam bacaan. Apabila seseorang mampu menangkap
ide secara tepat di dalam bacaan maka ia dikatakan telah memahami isi bacaan.
Untuk memahami isi bacaan diperlukan kemampuan penguasaan kosakata (Tarigan,
1986:14). Berkaitan dengan itu, Aswandi (1991: 42) mengatakan bahwa
bagaimanapun baiknya penguasaan kosakata dan cara membaca tidak ada artinya,
kecuali pembaca tahu maknanya. Jika tidak demikian, mereka akan mengalami
kesuliatan dalam memahami isi bacaan. Senada dengan itu, Tarigan (1986: 9)
mengemukakan bahwa tujuan utama membaca adalah untuk mencari informasi
menyangkut isi dan memahami makna bacaan. Tujuan membaca ini diperoleh salah
satunya melalui mata kuliah membaca atau reading di kelas
Rasional diatas, memberikan
gambaran tentang pentingnya mata kuliah Reading bagi mahasiswa jurusan
Pendidikan Bahasa Inggris. Salah satu mata kuliah Reading yang diberikan
adalah Reading I, yang diberikan sebagai tahap awal pembelajaran membaca
bagi mahasiswa semester I jurusan Pendidikan Bahasa Inggris.
Dalam silabus mata kuliah Reading
I dinyatakan bahwa mahasiswa diharapkan mampu memahami teks bacaan, dengan
menguasai 6 keterampilan pemahaman membaca (reading comprehension skills)
yaitu: scanning, previewing and predicting, vocabulary knowledge for
effective reading, skimming, making inference, dan summarizing.
Dengan menguasai keenam ketrampilan ini diharapkan mahasiswa mampu memahami
teks bacaan dengan baik.
Setiap
mahasiswa, sayangnya, memiliki tingkat kemampuan bahasa (level language),
yang berbeda. Dalam satu kelas, selalu ada beberapa mahasiswa yang memiliki
tingkat kemampuan bahasa yang lebih tinggi dibandingkan yang lainnya. Begitu
pula yang terjadi pada kelas membaca, ada beberapa mahasiswa yang memiliki
keterampilan membaca yang sangat baik, melebihi mahasiswa-mahasiswa yang
lainnya. Hal ini menimbulkan masalah, karena perbedaan kemampuan membaca para
mahasiswa membawa dampak bagi dinamika pengajaran membaca. Mahasiswa yang
memiliki kemampuan yang lebih tinggi dalam pemahaman bacaan akan meninggalkan
mahasiswa yang berkemampuan lebih rendah. Sehingga, ketika para mahasiswa
berkemampuan lebih tinggi telah berhasil memahami suatu bacaan, mereka harus
dengan sabar menunggu dan mengikuti alur pengajaran yang tergantung dari
dinamika pemahaman mahasiswa berkemampuan lebih rendah.
Adanya perbedaan kemampuan
antara siswa menurut Subarna and Sunarti (2001) sebenarnya dapat digunakan
sebagai media yang membantu siswa untuk mencapai prestasi yang lebih baik
dengan menugaskan mereka dalam suatu kelompok belajar. Arends (1997) juga
menyatakan hal yang bernada sama, ia juga menambahkan bahwa kelompok belajar
selain meningkatkan prestasi juga membantu siswa untuk melihat suatu hal dari
berbagai perspektif. Terlebih lagi, belajar dalam satu group sangat penting
dalam membentuk sikap dan kepribadian siswa.
Arends
(1997) believes that the difference ability in classroom can be used as a media
to help the students attain their best achievement by assigning them to work in
groups. Furthermore, working in groups allows the students to see one thing
from different point of views. Moreover, they also believe that group work
learning is really important in forming the students’ personality, since the
students learn to respect others and communicate their ideas, which form a
circle interaction among them.
Berdasarkan
pendapat Arends diatas, siswa memerlukan suatu kerjasama dalam berbagi pendapat
dan ide tentang sesuatu yang mereka pelajari bersama. Kegiatan kerjasama ini
hanya akan bisa berjalan secara efektif jika mereka bekerja dalam suatu
kelompok yang memiliki satu tujuan. Dan tujuan yang dimaksud disini adalah
untuk mendapatkan skor kelompok yang terbaik yang bisa mereka peroleh. Untuk
mendapatkan penghargaan, siswa saling memotivasi untuk membantu satu sama lain
sehingga mereka mengerti bersama-sama. Metode pembelajaran yang sesuai dengan
pengembangan prinsip belajar berkelompok dengan suatu motivasi untuk mencapai
penghargaan (reward) tersebut dikenal dengan Cooperative Learning.
Arends (1997)
mengemukakan bahwa cooperative learning memiliki beberapa hal positif yaitu (1)
metode ini meningkatkan prestasi siswa dalam suatu pelajaran, (2) Metode ini
membutuhkan suatu kerjasama antar siswa, yang mana dengan demikian maka siswa
akan saling berbagi pengetahuan yang dimiliki, (3) siswa yang memiliki
kemampuan kurang akan termotivasi oleh siswa yang berkemampuan lebih tinggi
untuk menguasai pelajarannya dengan lebih baik, karena metode ini dirancang
untuk bekerjasama yang saling kebergantungan.
According to Arends (1997) Cooperative Learning has some strength.
First, it can improve the students’ achievements in the subject being taught.
Second, this method requires the students to work together to maximize their
learning. They tell each other things they have not already known. This means
that the low ability students are encouraged by the students with high ability
to master the lesson well since the activities are designed to have the students
work interdependently.
Fenomena tentang adanya perbedaan
kemampuan pemahaman membaca ditemukan peneliti pada kelas reading I,
terutama pada kelas IB, jurusan Pendidikan Bahasa Inggris, UNDIKSHA. Para
mahasiswa memiliki perbedaan tingkat
kemampuan membaca yang sangat jelas. Diantara mahasiswa, terdapat mahasiswa
yang memiliki kemampuan yang lebih tinggi dan yang lebih rendah. Siswa yang
berkemampuan lebih rendah cenderung ketinggalan dalam memahami bacaan dibanding
mahasiswa dengan kemampuan yang lebih tinggi. Seperti yang telah disampaikan
sebelumnya, hal ini sangat berdampak pada dinamika pembelajaran, karena
kecepatan proses pembelajaran yang berbeda antara mahasiswa berkemampuan rendah
dan tinggi. Perbedaan kemampuan membaca ini, sangat jelas terlihat dari hasil
tes membaca yang diberikan. Berikut adalah tabel hasil tes membaca mahasiswa
kelas IB tersebut.
Nilai
|
Jumlah
Mahasiswa
|
Persentase
|
85 – keatas
|
1 orang
|
2, 38 %
|
70 – 84
|
10 orang
|
23,80 %
|
55 – 69
|
22 orang
|
52,38 %
|
40 – 54
|
9 orang
|
21,42 %
|
TOTAL
|
42 orang
|
Table
1: Hasil Tes Membaca Mahasiswa kelas IB
Dari table diatas jelaslah
adanya perbedaan kemampuan membaca antar mahasiswa. Terlebih lagi setelah
dihitung nilai rata-rata mahasiswa tersebut adalah 56,07 yang berada pada
kiteria “kurang,” jika dilihat melalui kriteria nilai yang di ajukan oleh
Masidjo (1995) sebagai berikut:
Persentase
|
Kategori
|
90%-100%
|
Istimewa
|
80%-89%
|
Bagus
|
65%-79%
|
Cukup
|
55%-64%
|
Kurang
|
Dibawah 55%
|
Rendah
|
Tabel
2: Kriteria Nilai
Berdasarkan
kriteria diatas, maka target penelitian ini adalah pencapaian rata-rata kelas
diatas 8,0 sehingga nilai rata-rata tersebut terletak pada kriteria bagus atau
bahkan istimewa.
Untuk mencapai target tersebut
peneliti ingin menerapkan metode Cooperative Learning di kelas IB, jurusan
Pendidikan Bahasa Inggris, UNDIKSHA. Metode Cooperative Learning terpilih
karena metode ini menekankan pada pelaksanaan pembelajaran secara berkelompok
dengan memberikan materi pelajaran yang cocok untuk tipe pembelajaran
berkelompok. Satu tujuan utama dari metode Cooperative Learning adalah membuat
siswa bertanggung jawab atas prestasi kelompoknya. Dengan demikian
masing-masing siswa akan berusaha memotivasi dan saling membantu dalam memahami
suatu hal. Prilaku siswa yang saling tergantung secara positif ini diharapkan
mampu meningkatkan kemampuan pemahaman membaca mereka.
Model pembejaran Cooperative Learning sebenarnya memiliki
beberapa tipe seperti, Jigsaw, STAD, TAI (Team Accelerated Instruction),
work-pair, dan lain sebagainya. Akan
tetapi dari sekian banyak teknik dalam metode Cooperative Learning, teknik STAD
terpilih menjadi teknik yang akan diterapkan di kelas. Teknik pengajaran STAD
ini memiliki kelebihan dibandingkan teknik yang lain yaitu: (1) teknik ini
cocok diterapkan dikalas membaca, (2) teknik ini membutuhkan 5-6 siswa untuk
bekerja bersama-sama dalam satu kelompok. Dan hal ini sangat tepat untuk
diterapkan pada kelas besar, seperti kelas IB ini yang terdiri dari 42
mahasiswa. Hal ini disebabkan karena memiliki jumlah kelompok yang tidak
terlalu banyak di dalam kelas tentunya lebih efisien dibandingkan memiliki
banyak kelompok, karena pengajar bisa membagi perhatiannya dengan lebih mudah.
Berdasarkan uraian diatas, maka peneliti
ingin meneliti lebih jauh tentang penerapan metode Cooperative Learning,
terutama teknik STAD pada kelas Reading I. Penelitian ini akan terfokus
pada poin rumusan masalah berikut ini: (1) apakah metode STAD mampu
meningkatkan kemampuan membaca mahasiswa kelas IB jurusan Pendidikan Bahasa
Inggris, UNDIKSHA; (2) adakah dampak positif lain yang terlihat dari pengajaran
dengan teknik STAD.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pemahaman Teks Bacaan (reading Comprehension)
Nuttal
(1982) mengartikan reading comprehension sebagai interpretasi
symbol verbal yang bermakna. Ini berarti bahwa membaca merupakan suatu hasil
interaksi antara persepsi simbul graphic yang merepresentasikan ketrampilan
bahasa. Dalam proses ini penulis suatu teks bacaan mengharapkan pembacanya
untuk mampu memahami ide yang tersirat dan tersurat didalamnya.
Comprehension atau pemahaman dalam membaca memegang suatu
peranan penting. Menurut Wirama Jaya
(2002: 6) inti dari aktivitas membaca adalah kemampuan untuk mendapatkan suatu
makna yang tepat dari informasi tertulis yang dibaca, maka dari itu pembaca
memerlukan pengetahuan sebagai elemen dasar dari comprehension. Berkaitan
dengan hal ini, Carnine, et.al (1984) menyatakan bahwa reading comprehension
adalah suatu proses berpikir melalui membaca. Suatu proses yang berdasar pada
ketrampilan intelektual kognitif, pengalaman, dan ketrampilan bahasa si
pembaca.
Greenwood (1985) juga menyatakan bahwa
ketrampilan yang diperlukan oleh siswa untuk memahami teks bacaan adalah
(1) mereka mampu mengidentifikasi ide
pokok, yaitu siswa mampu menemukan informasi umum dari suatu teks, (2) mereka
mampu mengetahui dan mengungkapkan kembali informasi spesifik yang mereka dapat
pada teks bacaan, (3) mereka mengetahui hubungan antara ide-ide pokok beserta
dengan pengembangannya, (4) mereka mampu memahami apa yang tersirat didalam
teks bacaan, atau reading between the line dan terakhir mereka dapat
menarik kesimpulan.
Sehubungan dengan hal tersebut, Carnine, d.k.k
(1984:145) menyatakan bahwa pemahaman membaca adalah suatu aktivitas untuk
mengerti dan mendapatkan ide dibalik sebuah kalimat atau paragraph, tidak hanya
sekedar merangkai makna setiap kata yang tersusun. Pemahaman membaca memerlukan
beberapa keterampilan, yaitu: membaca sepintas kilas (scanning), menafsirkan
(previewing and predicting), pengetahuan kosakata untuk membaca efektif
(vocabulary knowledge for effective reading), membaca sepintas dengan
tujuan (skimming), membuat kesimpulan tentang informasi yang implisit
(making inference), dan meringkas (summarizing).
Lebih jauh, Dubin (1982) menyatakan bahwa
dalam memahami teks tertulis, para siswa diharapkan mampu menyerap informasi
dengan menggunakan keterampilan pemahaman membaca. Mereka membutuhkan kemampuan
untuk menguhungkan informasi yang mereka dapatkan dengan pengalaman dan
pengetahuan yang telah mereka miliki sebelumnya.
Shepherd (1979) juga meyakini bahwa
pemahaman membaca merupakan kemampuan siswa memahami informasi yang disampaikan
oleh penulis. Ia juga mengemukakan bahwa pemahaman membaca ditandai dengan
kemampuan siswa menjawab pertanyaan tentang bacaan tersebut. Dengan demikian,
dalam kelas membaca guru bahasa Inggris harus memiliki kemampuan mengajar.
Memiliki kemampuan mengajar sangatlah penting, sebagaimana yang dinyatakan oleh
Dubin (1982) sorang guru hanya bisa membantu siswa memahami bacaan apabila dia
mampu mengajar siswa dengan baik.
Keberhasilan memahami suatu bacaan sangat
bergantung pada tingkat kemampuan bahasa siswa dan tingkat kesulitan bahasa
yang digunakan penulis. Dengan demikian, materi atau bahan bacaan haruslah dipilih
sehingga sesuai dengan tingkat kemampuan bahasa siswa. Hal ini sangat penting,
mengingat siswa akan lebih termotivasi untuk membaca teks yang bisa mereka
pahami. (Dubin, 1982:127)
2.2.Metode Cooperative Learning
2.2.1.
Definisi Metode Cooperative Learning
Cooperative
learning adalah suatu istilah generic untuk menyebutkan berbagai
kelompok-kelompok kecil yang berinteraksi berdasarkan prosedur instruksional.
Siswa bekerja bersama-sama dalam mengerjakan tugas-tugas akademik dalam suatu
kelompok kecil yang bertujuan tidak saja untuk membantu diri mereka sendiri
tetapi juga teman kelompoknya dalam memahami pelajaran tersebut (Davidson,
1992, in Arend, 1997).
Lebih
jauh lagi Balkcom (2002) mendeskripsikan Cooperative Learning sebagai suatu
metode pengajaran yang berhasil dimana setiap kelompok terdiri dari berbagai
siswa dengan tingkat kemampuan bahasa yang berbeda, bekerja sama dalam berbagai
aktivitas pembelajaran untuk meningkatkan pemahaman mereka pada pelajaran
tertentu. Secara umum Cooperati Learning memiliki lima teristik umum sebagai
berikut:
v
Siswa bekerja sama dalam mengerjakan suatu tugas
yang paling baik diselesaikan dengan kerja kelompok
v
Siswa bekerja bersama pada satu kelompok kecil
yang terdiri dari 2-5 orang
v Siswa bekerja sama secara kooperative
dengan menjalankan pro-social behavior dalam aktivitas pembelajaran.
v Siswa bergantung secara positif dengan
teman kelompoknya. Hal ini dikarenakan, aktivitas pembelajarannya memang di
desain untuk bisa diselesaikan dengan cara bekerja sama yang ketergantungan
atau work interdependently..
v Siswa bertanggung jawab secara
individu pada pencapaian pembelajarannya
Berlawanan dengan metode
pembelajaran yang tertumpu pada kompetisi individu dengan yang lainnya, belajar
kooperatif merupakan suatu strategi pembelajaran di mana mahasiswa dalam
kelompok kecil yang heterogen saling mempertukarkan tanggung-jawab belajarnya.
Sebagai suatu hasil, mahasiswa belajar dari seseorang ke yang lainnya. Mereka
belajar untuk menghargai perbedaan pada masing-masing yang lainnya dan
membangun kekuatan individu dalam urutan untuk menemukan tujuan kelompok.
Mereka belajar keterampilan sosial dan juga materi pelajaran.
Beberapa peneliti telah
menemukan bahwa strategi belajar kooperatif men-dorong harga-diri individu dan
menganjurkan mahasiswa untuk mengambil kendali dari belajarnya sendiri.
Tuntutan ini melengkapi suatu ringkasan dan strategi belajar kooperatif dan
menunjukkan bagaimana dosen-dosen dapat mengintegrasikan strategi-strategi
tersebut dalam rencana pembelajaran mereka (Hilke, 1998: 3).
Lebih lanjut Hilke mengemukakan
tujuan utama dari belajar kooperatif adalah: (1) untuk membantu perkembangan
kerjasama akademik di antara mahasiswa, (2) untuk menganjurkan hubungan
kelompok yang positif, (3) untuk mengembangkan harga-diri mahasiswa, dan (4)
untuk meningkatkan pencapaian akademik.
Mahasiswa dapat mengejar tujuan
pembelajaran melalui tiga cara: secara kompetitif, secara individu, dan secara
kerjasama. Pada tahun 1940, Morton Deutsch (1949) menyusun suatu teori tentang
bagaimana orang-orang berhubungan dan berinteraksi pada masing-masing susunan
tersebut. Pada susunan kompetitif, seorang mahasiswa bekerja melawan
masing-masing yang lainnya dan tampilan mereka dibandingkan. Beberapa mahasiswa
mengalami kekeliruan dalam susunan ini, hasilnya kehilangan harga-diri dan
kadang-kadang berperasaan negatif terhadap teman sebaya mereka secara bebas
pada langkah mereka sendiri untuk mencapai tujuan yang ditetapkan oleh dosen.
Dosen selanjutnya mengevaluasi sekelompok tujuan untuk masing-masing individu.
Dalam susunan kooperatif,
kelompok mahasiswa yang heterogen bekerja bersama untuk menemukan tujuan.
Masing-masing pribadi mempertanggungjawabkan pembelajarannya sendiri dan
membantu yang lainnya. Kekuatan yang dapat dicapai untuk setiap pribadi dalam
kelompok. Keterampilan komunikasi dan sosial yang baik dibutuhkan dalam
urut-urutan perkembangan hubungan kerja yang baik. “Dalam kelompok belajar
kooperatif, di sana cenderung terjadi peraturan teman sebaya, umpan balik,
dukungan, dan anjuran belajar yang agak beragam. Dukungan akademik teman sebaya
demikian tidak tersedia pada situasi belajar kompetitif dan individualistik”
(Johnson and Johnson, 1987: 28).
Pembelajaran dengan menggunakan
metode pembelajaran kooperatif adalah strategi pembelajaran yang memusatkan
perhatian pada proses penalaran nilai-nilai moral, melalui diskusi dan proses
tanya jawab dialektis yang bersifat mengajar dan menantang proses pemahaman
(Lickona, 1992: 236-238). Menurut Slavin (1995: 2), metode pembelajaran
kooperatif menunjuk pada bermacam-macam model pembelajaran, di mana para
mahasiswa bekerja dalam kelompok kecil untuk saling membantu, berdiskusi dan
saling memberi argumentasi, untuk saling menilai pengetahuan yang dimiliki
sekarang dan mengisi kesenjangan pemahaman di antara mereka.
Dari kedua pendapat di atas
mengenai model pembelajaran kooperatif, maka dapat dikatakan bahwa model
pembelajaran kooperatif merupakan kegiatan mahasiswa, yaitu belajar dalam
kelompok kecil yang heterogen, di mana setiap mahasiswa memiliki kesempatan
untuk memberikan atau menyampaikan argumentasinya, sehingga terjadi interaksi
antara dosen dengan mahasiswa, antara mahasiswa dengan mahasiswa lainnya,
komunikatif dan bersifat multi arah.
Menurut
Lickona (1992: 198), ada delapan bentuk model pembelajaran kooperatif, yaitu
: (1) belajar berpasangan (learning
partners), (2) susunan duduk berkelompok (cluster group
seating) , (3) belajar bertim (student team learning), (4) belajar
dengan membahas berbagai topik dalam tim (Jigsaw learning), (5) mengetes
tim (team testing), (6) proyek kelompok kecil (small group
projects), (7) kompetisi dalam tim (team competition), dan
(8) projek untuk seluruh kelas (Whole class project). Sedangkan menurut Slavin (1995: 5),
terdapat lima metode utama dalam pembelajaran bertim (Student Teams Learning).
Tiga di antaranya, berlaku secara umum pada semua bidang studi, yaitu sebagai
berikut : “Student
Teams-Achieve-ment Divisions (STAD), Teams Games Tournaments (TGT), and Jigsaw II”. Sedangkan dua metode lainnya hanya
berlaku secara khusus, yaitu: “Cooperative Integrated Reading and
Composition (CIRC)” untuk pengajaran membaca dan me-nulis pada
tingkat 2-8, dan “Team Accelerated Instruction (TAI)” untuk pengajaran
matematika pada tingkat 3-6. Dari kelima model pembelajaran kooperatif
tersebut, dalam penelitian ini dikaji model pembelajaran kooperatif tipe “STAD”,
yaitu model pembelajaran dalam kelompok-kelompok kecil, yang masing-masing
kelompok terdiri dari 5-6 orang mahasiswa yang heterogen.
Dengan
menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe ini, maka dapat meningkatkan
interaksi antara dosen dengan mahasiswa, dan antara mahasiswa dengan mahasiswa
lainnya, komunikatif, dan bersifat multi arah.
2.2.2. Elemen-Elemen Dasar dalam
Pembelajaran Kooperatif
Menurut Arends (1997) Cooperative Learning
membatu siswa dalam hal (1) memberikan kesempatan siswa berbagi ilmu dan
informasi antar siswa, (2) memotivasi siwa untu belajar, (3) membantu siswa
mengkonstruksi pengetahuan mereka, (4) menyediakan feedback yang formatif, (5)
menumbuhkembangkan ketrampilan social dan kelompok yang diperlukan diluar
kelas.
Arend (1997) states that Cooperative Learning enhances
students learning by; (1) providing a shared cognitive set of information
between students, (2) Motivating students to learn the material, (3) Ensuring
the students to construct their own knowledge, (4) Providing formative
feedback, (5) Developing social and group skills necessary for success outside
the classroom
Berkaitan
dengan hal tersebut diatas Johnson and Johnson (1984: 15) mengidentifikasi lima
elemen dasar dalam belajar kooperatif, yaitu: (1) saling ketergantungan yang
positif, (2) memajukan interaksi tatap muka, (3) pertanggungjawaban individu,
(4) keterampilan sosial, dan (5) proses kelompok. Pembicaraan masing-masing elemen tersebut seperti
berikut.
1) Saling ketergantungan yang positif.
Saling ketergantungan tujuan yang positif
terjadi bila mahasiswa melaksanakan tugas kelompok dengan perasaan saling
menguntungkan. Mereka perlu
mengerjakan bagian mereka sendiri, untuk keuntungan seluruh kelompok. Sebagai
contoh, bila tugas kelompok untuk meneliti dan menulis laporan, nilai untuk
laporan merupakan nilai kelompok. Pencapaian yang rendah dalam kelompok
menimbulkan usaha kerja terbaik mereka untuk keselamatan seluruh kelompok.
Pencapaian yang tinggi, ingin mempertahankan kualitas kerja mereka yang tinggi,
akan membantu yang lainnya dalam menyelesaikan tugas kelompok. Selanjutnya masing-masing individu
mem-peroleh manfaat yang penting dan harga-diri. Johnson et al. (1984)
berpendapat bahwa saling ketergantungan yang positif dicapai: ‘melalui tujuan
yang saling me-nguntungkan (saling ketergantungan tugas); pembagian material,
sumber-sumber, atau informasi di antara anggota kelompok (saling ketergantungan
sumber); pembe-rian peranan mahasiswa yang berbeda (saling ketergantungan
peran); dan melalui pem-berian penguatan bersama (saling ketergantungan
penguatan). Dalam urutan untuk situasi belajar menjadi kooperatif, mahasiswa
harus bersedia bahwa mereka secara positif saling ketergantungan dengan anggota
lainnya dari kelompok belajar mereka’.
2) Memajukan
interaksi tatap muka.
Kemajuan interaksi terjadi bila pertukaran verbal mengambil tempat di mana
mahasiswa menjelaskan bagaimana mereka memperoleh suatu jawaban atau bagaimana
suatu masalah bisa dipecahkan. Mereka juga dapat membantu masing-masing yang
lainnya untuk memahami suatu tugas. Mahasiswa memeriksa masing-masing pemahaman
yang lainnya dan menyatakan pertanyaan pada anggota kelompok sebelum
me-nyatakan pada dosen untuk klarifikasi. Bila sebuah tugas sudah lengkap,
anggota ke-lompok meringkaskan apa yang telah dipelajari.
3)
Pertanggung-jawaban individu.
Pertanggungjawaban individu merupakan pengambilan pertanggungjawaban
pribadi untuk materi belajar. Sebagai tambahan untuk kontribusi kelompok,
masing-masing mahasiswa memerlukan penguasaan material tertentu. Salah satunya
dosen menen-tukan tingkat penguasaan, anggota kelompok sering mendukung dan
membantu masing-masing yang lainnya dalam mencapai tingkat penguasaan tersebut.
Suatu
pertanyaan yang sering muncul dalam diskusi tentang belajar koope-ratif adalah
apa yang dikerjakan mahasiswa yang tidak berpartisipasi, membiarkan yang
lainnya untuk bekerja, dan memastikan untuk belajar materi dasar. Untuk mencegah
kejadian ini, seorang dosen dapat merata-ratakan skor ujian individu untuk
nilai ke-lompok. Selanjutnya bila seseorang skor ujiannya lebih rendah dari
rata-rata teman sebaya bukan hanya mendesak bahkan secara halus menekan
individu untuk belajar lebih giat. Atau mereka akan melihat perlunya bekerja
dengan individu dalam urutan untuk mencapai tingkat ketuntasan. Juga dari waktu
ke waktu, dosen bisa menyeleksi penempatan nilai individu, yang menganjurkan
semua anggota kelompok untuk mengerjakannya secara langkap dalam waktu yang
tepat dan dengan cara yang wajar.
4) Keterampilan
sosial.
Kritik untuk kesuksesan belajar kooperatif adalah keterampilan sosial
demi-kian seperti mengetahui bagaimana berkomunikasi secara efektif dan
bagaimana me-ngembangkan rasa hormat dan kepercayaan dalam kelompok. Kelompok
yang ber-tugas dengan baik tidak terjadi secara wajar; mahasiswa memerlukan
petunjuk bagaimana mengikuti dan juga berperan. Bila pertanggungjawaban belajar
diperlukan, mahasiswa membutuhkan anjuran masing-masing anggota lainnya untuk
melengkapi tugas yang diberikan. Mereka perlu mengetahui bagaimana meminta
bantuan bila mereka mem-butuhkannya. Bila muncul konflik (dan konflik memang
akan muncul), mahasiswa perlu mengetahui bagaimana menggunakan strategi resolusi
konflik.
5) Proses
kelompok.
Secara periodik mahasiswa memerlukan pencerminan pada bagaimana kelompok
yang baik bekerja dan menganalisis bagaimana keefektifan mereka bisa
diperbaiki. Ini disebut proses kelompok. Pengamatan oleh anggota kelompok,
dosen, atau seorang individu yang berperan sebagai pengamat dapat melengkapi
umpan-balik yang esen-sial untuk proses kelompok. Seorang pengamat bisa
mencatat apa yang terjadi dalam kelompok bila rencana suatu projek mengenai
adanya kekuatan perbedaan pendapat. Dengan umpan-balik ini, mahasiswa dapat
bergerak untuk menemukan suatu pemecahan dan menawarkan usul untuk menangani
perselisihan tersebut di masa yang akan datang. Keluaran dari proses ini,
kelompok bisa bersimpulan: ‘Kita telah membuat permulaan yang baik dalam
rencana projek, tetapi kita perlu bekerja lebih giat untuk mendengar ide-ide
setiap orang’.
2.3.
Belajar Kooperatif Tipe STAD
STAD
(Student Teams Achievement Division) adalah satu dari teknik Cooperative
Learning yang paling sederhana Teknik ini terdiri dari 5-6 siswa yang bekerja sama dalam suatu kelompok
heterogen. Setiap anggota berusaha untuk melakukan yang terbaik karena nilai
mereka menentukan skor kelompok. Slavin dan partnernya mengembangkan teknik ini
sebagai suatu model yang sesuai bagi guru yang baru mempelajari metode
kooperatif (Balkcom, 2001).
Dalam teknik STAD, siswa membentuk suatu
kelompok-kelompok yang terdiri dari 5-6 siswa, yang masing masing terdiri dari
berbagai etnik, siswa dengan kemampuan yang heterogen dan siswa dari jenis
kelamin yang heterogen pula (Slavin, 1997). Guru mempresentasikan pelajaran dan
siswa bekerjasama di dalam kelompoknya berusaha keras agar setiap anggota dapat
memahami pelajaran tersebut. Semua siswa kemuadian mengerjakan kuis individual
(kuis yang dikerjakan secara individual ), dimana mereka tidak boleh saling
membantu satu sama lain. Skor kuis individual ini akan dibandingkan dengan skor
kuis mereka yang terdahulu atau yang sebelumnya. Kemudian tambahan poin akan
diberikan pada kelompok yang memiliki peningkatan rata-rata dari skor
individual masing-masing anggota.
Slavin (1997) menyatakan pentingnya teknik ini
adalah untuk memotivasi siswa saling bekerja sama dan membantu satu sama lain
untuk memguasai materi yang disampaikan oleh guru. Maka dari itu, kunci untuk
memiliki kelompok yang baik adalah terdapatnya saling ketergantungan yang
positif diantara siswa. Ini berarti, jika anggota kelompok, ingin kelompoknya
mendapatkan poin tambahan atau reward maka mereka harus saling membantu satu
sama lain untuk memguasai pelajaran tersebut.
STAD memiliki 5 komponen utama yaitu;
presentasi kelas, pembentukan kelompok, kuis, skor peningkatan individual, dan
penghargaan untuk kelompok terbaik atau team
recognition.
Presentasi kelas
Materi
pelajaran pertama-tama dipresentasikan oleh guru yang biasanya berupa instruksi
langsung atau diskusi dengan guru atau lecturer-discussion. Presentasi
kelas STAD sedikit berbeda dengan presentasi pengajaran secara umum Pada
presentasi STAd siswa harus benar-benar memperhatikan penjelasan guru agar
mereka mampu mengerjakan kuis dengan baik, karena skor kuis individual ini akan
mempengaruhu skor kelompoknya.
Pembentukan kelompok
Kelompok pada teknik STAD terdiri dari 5-6 siswa yang
mewakili sebuah kelas dalam hal kemampuan akademik, jenis kelamin, dan suku.
Fungsi utama dari pembentukan kelompok adalah untuk memastikan bahwa semua
anggota kelompok belajar, dan lebih khususnya untuk menyiapkan anggota kelompok
agar mampu mengerjakan kuis dengan baik. Setelah guru mempresentasikan materinya,
kelompok-kelompok tersebut akan berkumpul untuk mengerjakan latihan-latihan
yang diberikan guru. Pembelajaran meliputi diskusi antar anggota kelompok,
membandingkan hasil latihan, mengkoreksi segala kesalahan konsep dalam latihan.
Pembentukan kelompok adalah cirri yang paling utama dalam model
pembelajaran STAD. Setiap point yang diharapkan ditekankan pada bagaimana
anggota kelompok mampu memperlihatkan kemampuan mereka yang terbaik dalam
pengerjaan latihan-latihan ataupun pada kuis dan juga pada kemampuan setiap
anggota kelompok untuk saling membantu anggota lainnya dalam memahami konsep
pelajaran. Pembelajaran kelompok memungkinkan siswa untuk saling mendukung (peer
support) untuk meningkatkan prestasi akademik mereka, yang sangat penting
dalam proses belajar. Selain itu, belajar kelompok juga memungkinkan siswa
untuk saling memahami, menghargai, meningkatkan kepercayaan diri dan kemampuan
untuk menerima keberadaan siswa dengan level kemampuan akademik yang berbeda
3. Kuis
Setelah kira-kira satu atau
dua periode presentasi guru dan beberapa periode latihan, siswa-siswa akan
mengerjakan kuis individual. Para siswa tidak diijinkan untuk berdiskusi dalam
mengerjakan latihan tersebut. Setiap siswa wajib memahami materi yang telah
didiskusikan sebelumnya dalam sesi latihan.
4. Peningkatan skor individual
Setiap siswa diberikan skor
standar yang berasal dari nilai kuis sebelumnya. Siswa bisa meningkatkan skor
kelompok mereka dengan meningkatkan skor individual mereka. Jadi peningkatan
skor kelompok terjadi apabila skor individual meningkat berdasarkan tingkat
tertentu dari skor standar mereka. Berikut adalah kriteria peningkatan skor
individual yang diajukan oleh Slavin (1997)
Skor
kuis
|
Peningkatan
poin kelompok
|
Lebih
dari 10 poin dibawah skor standar
10
- 1 poin dibawah skor standar
Dari
besar skor standar- 10 poin diatas skor standar
Lebih dari 10 poin diatas skor standar
Kuis dengan hasil yang
sempurna (perfect paper)
|
5
10
20
30
30
|
Tabel 3: Kriteria Peningkatan Skor Individual
Tujuan pemberian skor standar
dan peningkatan poin kelompok adalah untuk memungkinkan semua siswa mendapatkan
nilai maksimum untuk skor kelompok mereka, apapun level skor terakhir mereka.
Dengan demikian, setiap siswa termotivasi untuk mengerjakan kuis mereka dengan
baik sehingga mereka memiliki skor standar yang tinggi untuk kuis selanjutnya.
Guru bisa menentukan skor
kelompok dengan menjumlahkan peningkatan poin masing-masing anggota suatu
kelompok dan kemudian membagi dengan jumalah seluruh anggota kelompok tersebut.
5. Penghargaan untuk kelompok terbaik (team
recognition)
Segera sesudah
pelaksanaan kuis guru kemudian mengkalkulasikan skor dan menentukan kelompok
terbaik dengan skor tertinggi. Guru sangat diharapkan memberikan penghargaan
pada kelompok terbaik bisa dalm bentuk material seperti pemberian hadia-hadiah
kecil atau bisa dalam bentuk non-material seperti penambahan bonus poin bagi
kelompok terbaik. Akan sangat baik jika pengemumuman kelompok terbaik dilakukan
pada pertemuan pertama setelah kuis individual. Hal ini akan memberikan adanya
suatu koneksi antara satu pertemuan dengan pertemuan selanjutnya, sehingga
siswa semakin termotivasi untuk melakukan yang terbaik (Slavin, 1997)
2.4. Kajian Pustaka
Beberapa peneliti telah melaksanakan
penelitian menggunakan metode Cooperative Learning. Batan (2000), dalam
penelitiannya yang dilaksanakan di SLTPN 4 Singaraja, menemukan bahwa
Cooperative Learning mampu meningkatkan kemampuan siswa dalam menulis. Hal ini
dibuktikan dengan hasil post-test I yang memiliki rata-rata 6.0 dan kemudian
meningkat pada post-test II menjadi 7.5.
Demikian pula, Ratminingsih (1999)
menemukan bahwa Cooperative Learning meningkatkan kemampuan siswa dalam
membaca. Hal ini dibuktikan dari hasil rata-rata post test I yang meningkat
pada post test II, yaitu dari 6.44 menjadi 8.08. Penelitiannya dilaksanakan di
SMAN 3 Singaraja pada siswa kelas tiga.
Begitupun Hartaningsih (1997) yang
melakukan penelitian pada siswa kelas
tiga di SLTP N 1 Banjarangkan,
menemukan bahwa teknik Jigsaw dapat meningkatkan kemampuan membaca siswa.
Farnish (1990) dalam Slavin (1997)
mengaplikasikan STAD teknik pada penelitiannya. Ia menemukan bahwa 26 kali
pertemuan dalam durasi 4 minggu pengajaran Bahasa Inggris pada siswa Amerika
dan Latin menunjukkan hasil yang positif.
Sheehan and Alan (1976) dalam Slavin
(1997) juga mengemukakan hal yang bernada sama, ia menemukan bahwa baik tentor
ataupun siswa mendapatkan manfaat dari proses tutorial. Penelitian mereka
menunjukkan bahwa melalui Cooperative Learning prestasi siswa meningkat dengan
baik karena adanya elaborasi materi dalam proses belajar mengajar.
BAB
III
TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
3.1. Tujuan penelitian
Tujuan pelaksanaan penelitian
ini adalah:
(1)
Untuk
mengetahui apakah penerapan teknik pembelajaran STAD bisa meningkatkan
kemampuan membaca mahasiswa kelas IB jurusan Pendidikan Bahasa Inggris,
UNDIKSHA;
(2)
untuk mengetahui apakah ada dampak positif
lain yang terlihat dari pengajaran dengan teknik STAD
3.2. Manfaat Penelitian
1.
Bagi para pendidik
Penelitian ini diharapkan bisa memperkaya wawasan para pendidik dalam
mengembangkan metode pengajaran membaca. Penelitian ini juga diharapkan bisa
menjadi input yang konstruktif dan sebagai kontribusi yang positif bagi para
pendidik dalam mengajar siswa mereka tidak hanya dalam pembelajaran membaca
tapi juga pada pembelajaran lainnya.
2. Bagi para mahasiswa
Penelitian ini dapat membantu mahasiswa dalam meningkatkan ketrampilan membaca mereka, terutama memahami teks bacaan
dalam bahasa asing yang memerlukan multiple perspektif dari teman-teman
mereka.
3. Bagi peneliti lain
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumber alternatif dan pedoman
apabila mereka melaksanakan penelitian yang membahas metode pembelajaran STAD.
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1. Subyek
dan Obyek Penelitian
4.1.1. Subyek
Penelitian
Subyek
penelitian menurut Arikunto (1982:82) adalah benda, hal, atau orang darimana data dan variabel dipermasalahkan.
Dalam penelitian ini, subyek penelitiannya adalah mahasiswa jurusan Pendidikan
Bahasa Inggris, semester I, kelas IB. Alasan dari jatuhnya pilihan pada kelas
IB adalah karena berdasarkan data awal yang didapat, kelas IB adalah kelas yang
memiliki perbedaan kemampuan membaca antar siswa yang paling besar dibandingkan
kelas lainnya. Jumlah mahasiswa
kelas IB adalah 41 orang
4.1.2. Obyek Penelitian
Obyek penelitian adalah suatu hal
yang ingin diteliti dari subyek penelitian (Arikunto, 1982). Dalam penelitian
ini, obyek penelitiannya adalah kemampuan pemahaman membaca mahasiswa yang
dicoba ditingkatkan dengan penerapan metode Cooperative Learning, tipe STAD.
4.2. Desain
Penelitian
Penelitian ini merupakan
Penelitian Tindakan Kelas yang ditekankan pada peningkatan kemampuan pemahaman
membaca mahasiswa - kelas IB jurusan Pendidikan Bahasa Inggris, UNDIKSHA- dengan penerapan metode Cooperative
learning tipe STAD. Dalam penelitian ini akan diterapkan lebih dari satu
siklus. Kember (2000) menyatakan bahwa dalam penelitian tindakan kelas,
adalah hal yang normal atau biasa bagi peneliti untuk melakukan lebih dari satu
siklus. Hal ini disebabkan, karena peningkatan suatu kemampuan hanya akan dapat
dicapai dengan penerapan beberapa siklus yang setiap siklusnya mengacu pada
perbaikan berdasarkan refleksi siklus sebelumnya. Gambar berikut merupakan alur
siklus yang diajukan oleh Kemmis dan Wilkinson:

(Kemmis
dan Wilkinson in Atweh,1998:22)
Gambar diatas dapat dijelaskan sebagai berikut:
- Perencanaan (Planning)
Pada tahap ini, peneliti merencanakan
kegiatan yang akan dilaksanakan pada tahap tindakan (action). Peneliti
juga menyiapkan semua materi dan instrument yang akan digunakan untuk
mengumpulkan data.
- Tindakan (Action)
Tahap tindakan ini dilakukan berdasarkan
rencana yang telah ditetapkan pada tahap perencanaan. Tahap tindakan merupakan
tahap pengimplementasian teknik pengajaran yang ingin diteliti, dalam
penelitian ini adalah teknik STAD.
- Pengamatan (observation)
Pada tahap ini, peneliti melakukan
pengamatan terhadap apa yang terjadi di kelas, bagaimana reaksi atau kelakuan
siswa terhadap perkuliahan dengan metode pengajaran yang diterapkan, dan
prestasi siswa
- Refleksi (reflection)
Pada tahap refleksi peneliti merefleksikan
dan menganalisis hal-hal yang ditemukan pada tahap pengamatan, sehingga
peneliti bisa memutuskan apakah penelitian harus dilanjutkan atau dihentikan.
Dalam hal ini, apabila dalam pengamatan peneliti menemukan masalah yang
menyebabkan belum tercapainya target penelitian, maka peneliti akan mecari
pemecahan masalah tersebut dan menerapkannya pada siklus berikutnya
4.3. Teknik Pengumpulan data
Dalam suatu penelitian, peneliti harus mengumpulkan data yang bertujuan
untuk memperoleh data yang diharapkan dengan menggunakan instrumen penelitian.
Jadi instrument adalah alat pengumpulan data.
Instrumen
1.Tes
Ada dua jenis tes yang diberikan dalam penelitian
ini, yaitu: pre-test dan post-test. Pre-test diberikan
sebelum penerapan teknik STAD di kelas, sehingga peneliti bisa mengetahui
kemampuan awal mahasiswa dalam pemahaman membaca. Hasil dari tes ini akan
dijadikan acuan dalam pelaksanaan penelitian. Sementara post-test
diberikan pada setiap siklus, setelah penerapan teknik STAD di kelas. Pretest
dan Post-test yang diberikan terdiri dari 10 butir soal objektif, 5 butir soal
pernyataan benar-salah, dan 5 butir soal mencari kosakata berdasarkan konteks. Jadi
jumlah total soal adalah 20 butir soal (soal pre-test dan post-test dilampirkan
dalam lampiran)
Hasil kedua tes tersebut;
pre-test dan pos-test akan dibandingkan untuk melihat apakah ada peningkatan
kemampuan pemahaman membaca siswa atau tidak. Post-test akan diberikan sebanyak siklus yang diterapkan pada penelitian
ini. Banyaknya siklus yang diterapkan bergantung dari ada tidaknya hal yang
perlu ditingkatkan dari tiap siklus. Apabila pada siklus pertama peneliti menemukan suatu masalah, maka peneliti
akan mencari solusinya dan menerapkannya pada siklus kedua. Hal ini akan terus
dilakukan sampai peneliti mencapai target penelitian yang diharapkan atau
sampai batas waktu penelitian.
2. Kuisioner
Kuisioner diberikan untuk mendapatkan
informasi tentang kemampuan pemahaman membaca mahasiswa. Ada dua jenis
kuisioner yang digunakan dalam penelitian ini. Kuisioner tersebut adalah kuisioner
awal yaitu kuisioner yang diberikan pada mahasiswa pada observasi awal
(pre-study) dan kuisioner akhir –kuisioner yang diberikan diakhir setiap
siklus.
Kuisioner awal diberikan untuk mengetahui
kemampuan awal mahasiswa dalam pemahaman membaca. Sementara kuisioner akhir
diberikan dengan tujuan untuk mengetahui apakah ada peningkatan kemampuan
pemahaman membaca mahasiswa setelah pelaksanaan tindakan.
Kuisioner awal terdiri dari 10 item dan
kuisioner akhir terdiri dari 10 item dan satu isian komentar tentang
pelaksanaan teknik STAD. Data yang diperoleh dari kuisioner ini adalah data
kualitatif. Untuk lebih jelas lembar kuesioner telah dicantumkan pada bagian
lampiran.
|
Buku harian peneliti dibuat oleh peneliti
sendiri, yang digunakan untuk mencatat hal-hal yang terjadi di kelas selama
proses belajar mengajar. Hal-hal yang perlu dicatat meliputi tingkah laku
mahasiswa, situasi kelas dan hasil penerapan teknik STAD
4.4. Prosedur Penelitian
Table 5: Skenario Perkuliahan Secara Umum
Kegiatan Dosen
|
Kegiatan Mahasiswa
|
Apersepsi
¨
Dosen menyapa mahasiswa
¨
Dosen mengecek daftar hadir mahasiswa
¨
Dosen memberikan ulasan tentang topik bacaan
secara umum, dengan memberikan ilustrasi atau gambaran ataupun beberapa
pertanyaan berkaitan dengan topik tersebut
Perkuliahan
(kegiatan inti)
¨ Dosen
memaparkan (mempresentasikan) hal-hal berkenaan dengan teks bacaan yang akan
dibahas untuk memberikan pandangan awal bagi mahasiswa.
¨ Dosen membentuk 6 grup yang masing-masing
terdiri dari 7 orang dan memberikan tiap-tiap grup satu buah teks
bacaan.
¨ Dosen
meminta siswa untuk membaca teks bacaan yang diberikan dan menjawab
pertanyaan pada lembar kerja
¨ Dosen
memberikan satu buah teks bacaan lagi kemudian memberikan sedikit pemaparan
tentang teks bacaan
¨
Dosen
meminta mahasiswa membacanya bersama-sama dan mengerjakan latihannya.
¨
Dosen
kemudian memberikan kuis individual yang juga merupakan post-test I pada
mahasiswa
¨
Dosen mediskusikan soal-soal pada post-test.
¨ Dosen
mengumumkan peningkatan individual point masing-masing mahasiswa
¨
Dosen
memberikan penghargaan bagi kelompok dengan skor grup tertinggi.
Kegiatan
penutup
¨
Dosen memberikan ulasan tentang teks-teks yang
dibahas sebelumnya.
¨
Dosen bertanya apakah mereka memiliki
pertanyaan berkaitan dengan teks-teks tersebut.
¨ Dosen memberikan kuisioner akhir agar
dijawab mahasiswa
¨
Dosen menutup perkuliahan
|
Apersepsi
¨
Para mahasiswa memberikan respon
¨ Mahasiswa mengangkat tangan ketika
namanya disebut.
¨ Mahasiswa memberikan perhatian pada
pemaparan dosen, dan/atau memberi tanggapan pada pertanyaan-pertanyaan yang
diajukan
Perkuliahan
(kegiatan inti)
¨
Mahasiswa memberikan perhatian
¨
Mahasiswa duduk didalam grupnya
¨
Mahasiswa membaca teks bersama-sama dan saling
membantu memahami teks bacaan tersebut dan bersama-sama mengerjakan latihan.
¨ Mahasiswa mendengarkan pemaparan dosen
dengan baik.
¨ Mahasiswa membaca teks bacan dan
mengerjakan latihan bersama-sama
¨
Mahasiswa mengerjakan tes dengan tertib
¨
Mahasiswa ikut menjawab dan mendengarkan
pembahasan tes dengan baik
¨
Mahasiswa mendengarkan dengan baik
¨
Mahasiswa memperhatikan
Kegiatan
Penutup
¨
Mahasiswa mendengarkan dengan baik
¨
Mahasiswa memberikan respon
¨
Mahasiswa mengerjakan kuisioner akhir
|
Observasi
diartikan sebagai pengamatan dan pencatatan secara sistematik terhadap segala
jenis gejala yang tampak pada obyek penelitian (Margono dalam Prawati, 2001:58)
Analisis data dilakukan dengan mencari prosentase dari
masing-masing item yang dijawab oleh responden. Data tersebut kemudian
diinterpretasikan secara kualitatif dengan panduan kriteria berikut:
prosentase
|
kriteria
|
85% -
100%
|
sangat
tinggi
|
70% - 84
%
|
tinggi
|
50 % -69
%
|
cukup
tinggi
|
40 % -54%
|
kurang
tinggi
|
0% - 39 %
|
tidak
tinggi
|
Tabel 6. Kriteria Interpretasi Kualitatif
(Sumber buku pedoman studi UNDIKSHA, 2007)
BAB
V
HASIL
DAN PEMBAHASAN
Terdapat
2 jenis data dalam penelitian ini yaitu data kualitatif dan data kuantitatif.
Data kuantitatif di dapat dari hasil pre-test, post test I, post test II dan post
test III.
Pre-test yang diberikan terdiri dari
10 butir soal objektif, 5 butir soal
pernyataan benar-salah, dan 5 butir soal mencari kosakata berdasarkan konteks. Jadi
jumlah total soal adalah 20 butir soal. Tabel berikut adalah hasil dari pre
test yang diberikan:
no
siswa
|
N
|
n
|
X
|
|
1
|
15
|
2
|
7.5
|
|
2
|
12
|
2
|
6
|
|
3
|
10
|
2
|
5
|
|
4
|
9
|
2
|
4.5
|
|
5
|
11
|
2
|
5.5
|
|
6
|
6
|
2
|
3
|
|
7
|
4
|
2
|
2
|
|
8
|
12
|
2
|
6
|
|
9
|
4
|
2
|
2
|
|
10
|
18
|
2
|
9
|
|
11
|
12
|
2
|
6
|
|
12
|
13
|
2
|
6.5
|
|
13
|
10
|
2
|
5
|
|
14
|
9
|
2
|
4.5
|
|
15
|
8
|
2
|
4
|
|
16
|
9
|
2
|
4.5
|
|
17
|
5
|
2
|
2.5
|
|
18
|
7
|
2
|
3.5
|
|
19
|
12
|
2
|
6
|
|
20
|
15
|
2
|
7.5
|
|
21
|
16
|
2
|
8
|
|
22
|
12
|
2
|
6
|
|
23
|
14
|
2
|
7
|
|
24
|
8
|
2
|
4
|
|
25
|
9
|
2
|
4.5
|
|
26
|
12
|
2
|
6
|
|
27
|
14
|
2
|
7
|
|
28
|
15
|
2
|
7.5
|
|
29
|
12
|
2
|
6
|
|
30
|
18
|
2
|
9
|
|
31
|
12
|
2
|
6
|
|
32
|
15
|
2
|
7.5
|
|
33
|
13
|
2
|
6.5
|
|
34
|
6
|
2
|
3
|
|
35
|
7
|
2
|
3.5
|
|
36
|
5
|
2
|
2.5
|
|
37
|
12
|
2
|
6
|
|
38
|
13
|
2
|
6.5
|
|
39
|
15
|
2
|
7.5
|
|
40
|
12
|
2
|
6
|
|
41
|
12
|
2
|
6
|
|
![]() |
226.5
|
|||
![]() |
5.5
|
Tabel 7. Hasil Pre-test
Keterangan:
Berdasarkan tabel tersebut
diatas didapatkan rata-rata kelas 5,5 yang memiliki prosentase 55%,
dikategorikan sebagai ”kurang”:
=
x 100 %

= 55%
Pada
observasi awal peneliti juga menyebarkan kuesioner yang terdiri dari 10 item
yang disebar ke subjek penelitian. Hasil dari data kuisioner adalah 35 orang
(85,4%) menyatakan selalu tergantung pada kamus untuk memahami teks bahasa
Inggris. Bahkan, 41 orang (100%) mengaku mengalami kesulitan dalam memahami
teks bahasa Inggris. Dalam memahami teks bahasa Inggris, sering kali pembaca
diminta untuk menjelaskan sesuatu yang bisa didapat hanya dengan membaca bagian
spesifik dari sebuah wacana. Sayangnya
banyak pula orang tidak bisa melakukan scanning,
sehingga lebih memilih untuk membaca seluruh teks hanya untuk mencari
informasi spesifik. 30 orang mahasiswa (73,2%) menyatakan bahwa mereka
cenderung merupakan golongan tipe ini. Hal ini berarti mereka belum memiliki
ketrampilan scanning dan skimming, yaitu ketrampilan membaca
sekilas untuk mencari apa yang diperlukan. Walaupun demikian, dari hasil
kuisioner diperoleh bahwa 38 orang (92,7%) mampu memprediksi apa yang akan
dibahas sebuah teks bahasa Inggris hanya dengan membaca judulnya saja. Hal ini
mungkin bukanlah sesuatu yang luar biasa karena pada umumnya judul sebuah
wacana memang merupakan cerminan dari isi didalamnya. Akan tetapi, kemampuan
mahasiswa untuk memutuskan suatu hal berdasarkan informasi yang didapat dari
hasil pemahaman membaca hanya diakui oleh 5 orang mahasiswa (12,2%). Selain
itu, 30 orang (73,2%) menyatakan mengalami kesulitan untuk mengetahui ide pokok
dari teks bahasa inggris yang dibaca. Kemampuan memahami bacaan bisa pula
diindikasikan dengan kemampuan meringkas bacaan tersebut, untuk poin ini hanya
9 orang (22%) yang menyatakan diri mampu melakukan hal tersebut. Sementara, 7
orang (17,1%) mengaku mampu menghubungkan ide satu dan yang lainnya dari sebuah
teks bahasa inggris. Poin berikutnya, merupakan kemampuan untuk memahami atau
mengerti arti tersembunyi dan bukan
pengertian literal yang terdapat dalam teks bahasa Inggris. Untuk poin
tersebut, hanya 3 orang (7.3%) yang merasa yakin mampu melakukannya. Poin
terakhir dalam kuisioner awal ini menanyakan pendapat mahasiswa akan kemampuan
mereka diantara temannya. 15 orang (36,6%) merasa memiliki kemampuan memahami
bacaan bahasa Inggris yang lebih baik dari teman-temannya. Sementara 26 orang
(63,4%) mengaku memiliki kemampuan yang lebih rendah. Untuk lebih memahami
secara jelas, berikut ditampilkan tabel hasil kuesioner awal beserta poin-poin
pertanyaan yang diajukan.
Pertanyaan
|
yes
|
%
|
no
|
%
|
|
35
|
85.4
|
6
|
14.6
|
|
41
|
100.0
|
0
|
0.0
|
|
30
|
73.2
|
11
|
26.8
|
|
38
|
92.7
|
3
|
7.3
|
|
5
|
12.2
|
36
|
87.8
|
|
11
|
26.8
|
30
|
73.2
|
|
9
|
22.0
|
32
|
78.0
|
|
7
|
17.1
|
34
|
82.9
|
|
3
|
7.3
|
38
|
92.7
|
|
15
|
36.6
|
26
|
63.4
|
Tabel 8. Tabel Hasil Kuesioner Awal
Dari
hasil pre-test dan kuesioner awal tersebut diatas peneliti berupaya untuk
menerapkan Metode Cooperative Learning tipe STAD untuk meningkatkan kemampuan
mahasiswa dalam memahami bacaan Bahasa Inggris. Detail pelaksanaan
siklus-siklus penelitian dipaparkan sebagai berikut:
Siklus I
post test I
|
||||
no siswa
|
N
|
n
|
X
|
|
1
|
18
|
2
|
9
|
|
2
|
12
|
2
|
6
|
|
3
|
15
|
2
|
7.5
|
|
4
|
16
|
2
|
8
|
|
5
|
11
|
2
|
5.5
|
|
6
|
6
|
2
|
3
|
|
7
|
4
|
2
|
2
|
|
8
|
16
|
2
|
8
|
|
9
|
9
|
2
|
4.5
|
|
10
|
18
|
2
|
9
|
|
11
|
12
|
2
|
6
|
|
12
|
13
|
2
|
6.5
|
|
13
|
12
|
2
|
6
|
|
14
|
12
|
2
|
6
|
|
15
|
12
|
2
|
6
|
|
16
|
10
|
2
|
5
|
|
17
|
6
|
2
|
3
|
|
18
|
7
|
2
|
3.5
|
|
19
|
12
|
2
|
6
|
|
20
|
15
|
2
|
7.5
|
|
21
|
16
|
2
|
8
|
|
22
|
12
|
2
|
6
|
|
23
|
14
|
2
|
7
|
|
24
|
12
|
2
|
6
|
|
25
|
12
|
2
|
6
|
|
26
|
12
|
2
|
6
|
|
27
|
15
|
2
|
7.5
|
|
28
|
12
|
2
|
6
|
|
29
|
12
|
2
|
6
|
|
30
|
18
|
2
|
9
|
|
31
|
12
|
2
|
6
|
|
32
|
15
|
2
|
7.5
|
|
33
|
13
|
2
|
6.5
|
|
34
|
6
|
2
|
3
|
|
35
|
7
|
2
|
3.5
|
|
36
|
12
|
2
|
6
|
|
37
|
12
|
2
|
6
|
|
38
|
13
|
2
|
6.5
|
|
39
|
15
|
2
|
7.5
|
|
40
|
13
|
2
|
6.5
|
|
41
|
14
|
2
|
7
|
|
![]() |
251.5
|
|||
![]() |
6.1
|
prosentase
|
kriteria
|
85% -
100%
|
sangat
tinggi
|
70% - 84
%
|
tinggi
|
50 % -69
%
|
cukup
tinggi
|
40 % -54%
|
kurang
tinggi
|
0% - 39 %
|
tidak
tinggi
|
kuesioner akhir I
|
|||
no item
|
yes
|
%
|
kriteria
|
|
15
|
36.6
|
tidak tinggi
|
|
38
|
92.7
|
sangat tinggi
|
|
25
|
61.0
|
cukup tinggi
|
|
41
|
100.0
|
sangat tinggi
|
|
30
|
73.2
|
tinggi
|
|
23
|
56.1
|
cukup tinggi
|
|
10
|
24.4
|
tidak tinggi
|
|
16
|
39.0
|
tidak tinggi
|
|
35
|
85.4
|
sangat tinggi
|
|
35
|
85.4
|
sangat tinggi
|
post test II
|
||||
no
siswa
|
N
|
n
|
skor
|
|
1
|
18
|
2
|
9
|
|
2
|
15
|
2
|
7.5
|
|
3
|
16
|
2
|
8
|
|
4
|
16
|
2
|
8
|
|
5
|
13
|
2
|
6.5
|
|
6
|
14
|
2
|
7
|
|
7
|
12
|
2
|
6
|
|
8
|
16
|
2
|
8
|
|
9
|
12
|
2
|
6
|
|
10
|
18
|
2
|
9
|
|
11
|
12
|
2
|
6
|
|
12
|
15
|
2
|
7.5
|
|
13
|
15
|
2
|
7.5
|
|
14
|
14
|
2
|
7
|
|
15
|
13
|
2
|
6.5
|
|
16
|
15
|
2
|
7.5
|
|
17
|
15
|
2
|
7.5
|
|
18
|
13
|
2
|
6.5
|
|
19
|
15
|
2
|
7.5
|
|
20
|
16
|
2
|
8
|
|
21
|
16
|
2
|
8
|
|
22
|
12
|
2
|
6
|
|
23
|
12
|
2
|
6
|
|
24
|
15
|
2
|
7.5
|
|
25
|
16
|
2
|
8
|
|
26
|
16
|
2
|
8
|
|
27
|
15
|
2
|
7.5
|
|
28
|
15
|
2
|
7.5
|
|
29
|
12
|
2
|
6
|
|
30
|
19
|
2
|
9.5
|
|
31
|
12
|
2
|
6
|
|
32
|
18
|
2
|
9
|
|
33
|
13
|
2
|
6.5
|
|
34
|
15
|
2
|
7.5
|
|
35
|
10
|
2
|
5
|
|
36
|
14
|
2
|
7
|
|
37
|
14
|
2
|
7
|
|
38
|
13
|
2
|
6.5
|
|
39
|
18
|
2
|
9
|
|
40
|
15
|
2
|
7.5
|
|
41
|
16
|
2
|
8
|
|
![]() |
299.5
|
|||
![]() |
7.3
|
Kuesioner akhir II
|
|||
no item
|
yes
|
%
|
kriteria
|
|
18
|
43.9
|
kurang tinggi
|
|
41
|
100.0
|
sangat tinggi
|
|
30
|
73.2
|
tinggi
|
|
41
|
100.0
|
sangat tinggi
|
|
36
|
87.8
|
sangat tinggi
|
|
30
|
73.2
|
tinggi
|
|
25
|
61
|
cukup tinggi
|
|
25
|
61.0
|
cukup tinggi
|
|
35
|
85.4
|
sangat tinggi
|
|
38
|
92.7
|
sangat tinggi
|
post test III
|
||||
no
siswa
|
N
|
n
|
skor
|
|
1
|
18
|
2
|
9
|
|
2
|
15
|
2
|
7.5
|
|
3
|
15
|
2
|
7.5
|
|
4
|
16
|
2
|
8
|
|
5
|
17
|
2
|
8.5
|
|
6
|
15
|
2
|
7.5
|
|
7
|
15
|
2
|
7.5
|
|
8
|
15
|
2
|
7.5
|
|
9
|
16
|
2
|
8
|
|
10
|
17
|
2
|
8.5
|
|
11
|
20
|
2
|
10
|
|
12
|
20
|
2
|
10
|
|
13
|
16
|
2
|
8
|
|
14
|
19
|
2
|
9.5
|
|
15
|
17
|
2
|
8.5
|
|
16
|
16
|
2
|
8
|
|
17
|
15
|
2
|
7.5
|
|
18
|
16
|
2
|
8
|
|
19
|
15
|
2
|
7.5
|
|
20
|
16
|
2
|
8
|
|
21
|
14
|
2
|
7
|
|
22
|
18
|
2
|
9
|
|
23
|
18
|
2
|
9
|
|
24
|
16
|
2
|
8
|
|
25
|
15
|
2
|
7.5
|
|
26
|
16
|
2
|
8
|
|
27
|
16
|
2
|
8
|
|
28
|
19
|
2
|
9.5
|
|
29
|
17
|
2
|
8.5
|
|
30
|
19
|
2
|
9.5
|
|
31
|
18
|
2
|
9
|
|
32
|
17
|
2
|
8.5
|
|
33
|
15
|
2
|
7.5
|
|
34
|
17
|
2
|
8.5
|
|
35
|
19
|
2
|
9.5
|
|
36
|
15
|
2
|
7.5
|
|
37
|
16
|
2
|
8
|
|
38
|
17
|
2
|
8.5
|
|
39
|
20
|
2
|
10
|
|
40
|
16
|
2
|
8
|
|
41
|
18
|
2
|
9
|
|
![]() |
342.5
|
|||
![]() |
8.4
|
Kuesioner akhir II
|
|||
no item
|
yes
|
%
|
kriteria
|
|
25
|
61.0
|
cukup tinggi
|
|
36
|
87.8
|
sangat tinggi
|
|
36
|
87.8
|
sangat tinggi
|
|
41
|
100.0
|
sangat tinggi
|
|
39
|
95.1
|
sangat tinggi
|
|
38
|
92.7
|
sangat tinggi
|
|
30
|
73.2
|
tinggi
|
|
36
|
87.8
|
sangat tinggi
|
|
36
|
87.8
|
sangat tinggi
|
|
40
|
97.6
|
sangat tinggi
|
BAB VI
SIMPULAN DAN SARAN
6.1. Simpulan
6.2. Saran-saran
Saran-saran ditujukan pada guru
/dosen Bahasa Inggris untuk senantiasa membuat atau memodifikasi rancangan
pembelajran Bahasa Inggris di kelas, terutama pada saat memberikan reading practice. Membaca rupanya bukan aktifitas yang selalu
menarik bagi siswa, padahal dari proses membaca siswa mendapatkan banyak
pengetahuan seperti peningkatan kosakata, wawasan umum, budaya, pemahaman
struktur kalimat, penggunaan diksi yang sesuai untuk konteks tertentu dan lain
sebagainya.
Saran kedua ditujukan untuk peneliti
lain yang ingin meneliti penggunaan teknik STAD, diharapkan mampu menambah
informasi dari pelaksanaan teknik STAD tersebut, tidak hanya terbatas pada
kelas membaca tapi mungkin juga pada kelas lain.
No comments:
Post a Comment