Thursday, January 17, 2013

profil permasalahan dalam perkuliahan poetry


PROFIL MASALAH-MASALAH PEMBELAJARAN PADA PERKULIAHAN POETRY
I.G.A. Lokita Purnamika Utami
Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris, Fakultas Bahasa dan Seni
Universitas Pendidikan Ganesha
Alamat: Jalan. A Yani no 67, Singaraja

Abstrak
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi masalah-masalah yang dihadapi oleh mahasiswa jurusan Pendidikan Bahasa Inggris UNDIKSHA dalam mempelajari puisi. Penelitian ini dilakukan ditahun ajaran 2011/2012. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif yang menggunakan beberapa instrumen seperti kuesione, pedoman observasi dan wawancara. Penelitian ini menemukan bahwa masalah-masalah yang dihadapi mahasiswa dalam mempelajari puisi adalah  kesulitan dalam memahami buku ajar, kesulitan dalam memahami makna puisi yang mereka baca, kesulitan dalam menggunakan ragam majas yang tepat untuk mengungkapkan tujuan puisi yang mereka tulis dan kesulitan dalam memahami makna majas-majas yang digunakan dalam sebuah puisi.

Kata-kata kunci :  masalah-masalah, mempelajari puisi, profil

Abstract
The aim of this study is to identify the problems faced  by English Education Department Students of UNDIKSHA in studying Poetry. The study was done in the academic year 2011/2012. The study was a descriptif qualitatife study, which used several instruments such as: questionnaire, observation guide, and interview. The study found that the problems faced by the students in studying poetry were the difficulty in comprehending the course book, the difficulty in comprehending a poem they read, the difficulty in using appropriate figurative language to reveal the central purpose of a poem they tried to write and the difficulty of comprehending figurative language in a poem.

Keywords: profil, problems, studying poetry


PENDAHULUAN

Kurikulum yang digunakan oleh Pendidikan Bahasa Inggris Undiksha memasukkan perkuliahan yang berkaitan dengan karya sastra seperti puisi, prosa dan drama  untuk mendukung keterampilan bahasa inggris siswa. Hal ini dapat dipahami karena pembelajaran sastra mampu membantu  pembelajar meningkatkan kemampuan bahasa mereka. Gilroy dan Parkinson (2002) dalam Weda (2008) dan Stern (1983) mengatakan bahwa kesusastraan haruslah diintegrasikan kedalam  kurikulum pengajaran bahasa. Hal yang senada dikatakan oleh Langer (2004) bahwa kesusastraan dapat membuka wawasan pembelajar, juga dapat memancing pembelajar untuk mengajukan pertayaan, menafsirkan, dan mendalami bahasa melalui karya sastra. Pendapat para ahli tersebut diperkuat oleh Collie dan Slater dalam Alim (2008), mereka mengatakan bahwa karya sastra memberikan sumbangsih positif terhadap pemahaman materi ajar bahasa. Bahkan secara spesifik, Povey (1972) menyatakan bahwa karya sastra memainkan peranan penting dalam pengajaran bahasa. Lebih spesifik Alim (2008) menyatakan pembelajaran bahasa inggris melalui karya sastra menyebabkan pembelajar dapat memperoleh kesempatan bermakna untuk mempelajari kosakata, menemukan pertanyaan sekaligus jawaban, mengevaluasinya sehingga meningkatkan kekuatan analitis, sekaligus mampu meningkatkan pemahaman tata bahasa. Hal inilah yang melandasi pemikiran memasukkan perkuliahan kesusastraan seperti puisi, prosa dan drama didalam kurikulum Pendidikan Bahasa Inggris Undiksha.
            Diantara tiga jenis kesusastraan, puisi merupakan jenis kesusastraan yang paling unik. Perrine (1982: 9) menyatakan bahwa puisi berbeda dengan karya sastra lain seperti prosa dan drama. Perbedaan ini terdapat pada kemampuan puisi dalam menyampaikan banyak hal dengan kata-kata yang paling sedikit.
            Pembelajaran puisi sangatlah penting karena memberikan kesempatan bagi pembelajar tidak hanya untuk mendapatkan kesenangan (amusement) tetapi juga pembelajaran akan hidup (fully realized life).
            Pada perkuliahan Puisi di jurusan Pendidikan Bahasa Inggris, mahasiswa belajar dari berbagai sumber selain dari buku utama yang digunakan, Sound and Sense karangan Laurrence Perrine. Sumber pembelajaran puisi lain adalah dari internet baik berupa artikel-artikel maupun berupa video atau rekaman gambar tentang membaca puisi. Materi-materi yang didapat melalui sumber-sumber ini kemudian didiskusikan di kelas.
            Secara umum yang dilakukan mahasiswa Pendidikan Bahasa Inggris dikelas puisi terbagi menjadi dua bagian yaitu kegiatan yang bersifat teori yang meliputi presentasi-presentasi materi  serta diskusi-diskusi tentang analisis puisi-puisi bahasa Inggris dan kegiatan yang bersifat praktek yang meliputi kegiatan membaca puisi bahasa inggris dan menulis puisi bahasa inggris.
            Topik yang dibahas dalam perkuliahan puisi meliputi, pengertian puisi serta subjek dan tema dalam puisi, cara membaca puisi, majas-majas (figurative languages) yang terkandung dalam puisi kemudian topik yang lain juga membahas tentang komponen-komponen penting dalam puisi seperti nada (tone), ritme (rhythm), ukuran (meter), suara dan makna (sound and meaning) serta tentang membandingkan puisi yang baik dan yang hebat (good and great poem)
Pada setiap pertemuan satu topik tertentu dibahas, untuk itu mahasiswa harus mempersiapkan diri mereka dengan topik tersebut. Karena mempelajari puisi bahasa inggris tidak mudah dosen pengajar meminta mahasiswa untuk mempelajari topik tersebut dari buku (Sound and Sense) kemudian mencari sebuah puisi di internet yang bisa dibahas dengan mengupas isi topik itu dalam puisi tersebut. Seperti misalnya, pada pertemuan yang akan membahas tentang makna Denotation and Connotation (denotasi dan konotasi) mahasiswa membuat sebuah ringkasan tentang apa itu denotasi dan konotasi dan contoh sebuah puisi bahasa inggris (yang didapat dari internet) yang mengandung makna denotasi dan konotasi.
            Pada kegiatan praktek mahasiswa, diminta untuk membaca sebuah puisi tanpa teks (menghapalkan puisi) didepan kelas. Setiap minggu mereka harus siap untuk membacakan satu puisi bahasa inggris. Mereka harus selalu siap, karena akan ditunjuk secara random. Hal ini sebenarnya dilakukan untuk membuat pembelajar lebih siap menerima pelajaran puisi dalam bahasa inggris. Selain itu, proses menghapalkan puisi mampu membantu mereka memperkaya kosakata bahasa inggris sehingga bisa mereka gunakan dalam berkomunikasi baik secara tertulis maupun lisan. Mahasiswa juga diminta untuk menulis puisi karya mereka sendiri, setelah semua konsep tentang puisi diberikan. Setelah mereka membuat puisi mereka diminta untuk menjelaskan apa makna puisi mereka, apa tujuan utama (central purpose) puisi mereka, majas apa saja yang mereka gunakan, dan dengan cara apa mereka mampu mencapai tujuan utama puisi mereka. Hal ini melatih daya analitis dan pemikiran kritis mereka terhadap puisi, sehingga bisa memahami puisi sebagai sesuatu yang lebih dari sekedar kumpulan kata-kata indah.
            Mempelajari puisi-puisi bahasa inggris tidaklah mudah. Puisi adalah salah satu genre sastra yang tidak serta merta dapat dipahami dan dinikmati secara instan. Puisi mengaplikasikan bahasa puisi yang multidimensional (Perrine, 1982); artinya untuk memahami puisi seseorang membutuhkan lebih dari sekedar dimensi intelektual tetapi juga dimensi rasa, emosi, dan imaginasi. Hal ini yang menyebabkan bahasa puisi tidak bisa dipahami semudah memahami bahasa biasa (ordinary language) yang bermakna literal. Pada tahap ini, puisi dapat dengan mudah dipahami dan dinikmati oleh pembacanya. Selain itu puisi mengaplikasikan berbagai sumber-sumber bahasa yang kaya yang mampu mengundang berbagai interpretasi dari pembacanya. Sumber-sumber bahasa yang digunakan dalam puisi seperti penggunaan majas-majas yang mampu mengatakan sesuatu yang berbeda dengan apa yang secara literal tertulis atau terucapkan. Persoalan ini diperumit oleh teramat seringnya penyair menggunakan bahasa yang menyimpang dari kaidah-kaidah bahasa seperti kaidah semantis, fonologis, morfologis, sintaksis, dialektis, maupun kaidah grafologis (Sulaiman (2009). Di sisi penyair, penyimpangan bahasa normatif dan penggunaan majas dimaksudkan agar pembaca atau pendengar dapat dengan mudah menikmati apa yang disuguhkan oleh sang penyair tersebut. Namun dari sisi pembaca dan pendengar, hal tersebut justeru membuat puisi relatif sukar untuk dipahami maknanya. Hal ini akan jauh lebih sulit lagi, ketika majas-majas dan penyimpangan-penyimpangan tersebut dibahas pada puisi berbahasa inggris, yang merupakan bahasa asing, sehingga semakin mempersulit proses pemahaman puisi itu sendiri.          
Dalam usaha mengajarkan puisi/sastra di kelas, dijumpai beberapa macam hambatan yang cukup mengganggu. Hambatan-hambatan itu adalah adanya anggapan sementara orang yang berpendapat bahwa secara praktis puisi sudah tidak ada gunanya lagi. Mereka beranggapan bahwa sastra (terutama puisi) hanya berkenaan dengan pengolahan kata-kata. Pandangan yang disertai dengan prasangka bahwa mempelajari puisi sering tersandung pada ‘pengalaman pahit’. Pandangan ini sangat mungkin berasal dari para pelajar yang berusaha memahami atau menikmati puisi terkenal yang ditulis oleh para penyair terkenal yang sering menggunakan simbol, kiasan, dan ungkapan-ungkapan tertentu yang membingungkan. Bahkan Nirwan (2011) menyatakan terkadang dalam puisi terdapat kata-kata sederhana tetapi dirangkaikan dalam konteks yang tak terduga, acuan yang kabur, ungkapan yang asing, bahkan nampak sebagai pernyataan yang kosong, atau kalimat yang disusun balik. Ini semua menambah penjelasan bahwa puisi semakin sulit untuk dipahami. Di samping itu sumber kesulitan dalam pengajaran puisi terkadang berasal dari sifat dasar puisi itu dimana puisi memang cukup pelik dan kaya akan jenis dan maknanya. Sebut saja misalnya: puisi-puisi lirik, epik, naratif, dan puisi-puisi satirik yang kesemuanya itu menggunakan teknik pengungkapan beraneka ragam: metafisika, impresionisti, simbolis, imajis, hiperbola, dll.
Sebagai bahasa asing, bahasa Inggris tentu menciptakan masalah tersendiri. Apalagi bila kita memasuki konteks puisi. Tidak cukup dibebani untuk memahami bahasanya, kita juga harus berkutat pada bagaimana menangkap makna puisi, termasuk dua persoalan yang di bahas di atas, yakni persoalan penyimpangan bahasa dan penggunaan majas. Dengan kata lain, dibutuhkan energi lebih (extra power) untuk memahami makna puisi bahasa Inggris.
Salah satu cara konvensional mengatasi persoalan di atas adalah dengan cara menerjemahkan puisi tersebut ke dalam bahasa Indonesia. Namun, tidak semua metode penerjemahan dapat diterapkan pada puisi. Dalam puisi kita mengenal metode phonemic translation, literal translation, metrical translation, verse-to-prose translation, rhymed translation, free verse translation, and interpretation. Di samping penerjemahan puisi, cara lain yang dapat dilakukan untuk mempermudah memahami makna puisi bahasa Inggris adalah dengan cara memparafrasa (paraphrasing) puisi yang sedang di baca.
            Walaupun seperti yang dipaparkan diatas bahwa mempelajari puisi bahasa inggris tidaklah gampang, namun untuk keperluan pengajaran puisi banyak pula ditemukan puisi yang sangat mengesankan dan cukup mudah untuk dinikmati dan dipahami oleh mahasiswa sesuai dengan tingkat kemampuannya (Utami, 2011).  Selanjutnya Utami (2011) menyampaikan bahwa pengajar puisi harus mampu memilih puisi yang sesuai denga level kemampuan mahasiswanya.
Berkaitan dengan teori-teori diatas perlu disampaikan bagaimana pengajaran puisi dilakukan di kelas poetry  di jurusan Pendidikan Bahasa Inggris, UNDIKSHA. Banyak mahasiswa menyatakan bahwa mempelajari puisi bahasa inggris itu sulit. Sehingga sebenarnya perlu dilakukan sebuah penelitian untuk mengetahui masalah-masalah apa saja yang dialami mahasiswa dalam perkuliahan puisi bahasa inggris. Dengan demikian, melalui penelitian rintisan ini, peneliti ingin mengetahui profil masalah-masalah yang dialami mahasiswa dalam mengikuti perkuliahan puisi.  Hal ini sangat penting diketahui sehingga dosen pengajar dapat memikirkan cara-cara untuk membantu  mahasiswa mengatasi kesulitan-kesulitan yang mereka temukan dalam perkuliahan puisi dikemudian hari.
            Berdasarkan paparan diatas, maka penelitian ini bertujuan mengidentifikasi (1) masalah yang paling dominan dialami mahasiswa dalam mengikuti pekuliahan poetry secara umum; (2) masalah-masalah yang dialami mahasiswa dalam membaca puisi bahasa inggris; (3) masalah-masalah yang dialami mahasiswa dalam menulis puisi bahasa inggris; dan (4) masalah-masalah yang dialami mahasiswa dalam memahami puisi bahasa inggris.
METODE
            Oleh karena karakteristik dari penelitian ini bersifat menggambarkan profil masalah-masalah yang dialami mahasiswa jurusan pendidikan bahasa inggris universitas pendidikan ganesha dalam mengikuti perkuliahan puisi, maka rancangan penelitian ini berupa penelitian deskriptif kualitatif. Data primer didapatkan dari respon mahasiswa terhadap pertanyaan-pertanyan dalam kuisioner dan data sekunder didapat dari hasil wawancara kepada Dosen pengajar dan para mahasiswa serta  hasil observasi proses perkuliahan puisi untuk mengetahui model pembelajaran yang digunakan serta respon siswa terhadap model pembelajaran tersebut.
Objek penelitian adalah seluruh mahasiswa bahasa inggris yang mengambil mata kuliah Poetry, sejumlah 139 orang mahasiswa yang tersebar di 5 kelas. Sementara, objek penelitian ini adalah masalah-masalah yang dihadapi oleh mahasiswa jurusan pendidikan bahasa inggris dalam mengikuti perkuliahan Poetry. Penelitian ini akan dilaksanakan di jurusan pendidikan Bahasa Inggis Universitas Pendidikan ganesha, pada semester genap tahun 2011/2012
Penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif. Pada penelitian ini instrumen yang digunakan adalah alat ukur non-test berupa kuesioner untuk mendapatkan data primer dan lembar observasi untuk mendapatkan data sekunder.
 Data primer didapatkan dari respon guru dan siswa terhadap pertanyaan-pertanyan dalam kuisioner. Kuisioner yang dibuat berbentuk kuisioner tertutup dan terbuka (kombinasi) dimana untuk 4 pertanyaan mahasiswa menjawab berdasarkan pilihan yang disediakan dan untuk pertanyaan terakhir tentang saran mahasiswa untuk meningkatkan kualitas perkulihan puisi; mahasiswa menjawab dengan uraian. Untuk pertanyaan pilihan (item 1-4) masing-masing item memiliki 4 pilihan (a,b,c dan d) dan satu option e yang berupa isian kosong yang bisa diisi, seandainya pilihan yang diberikan sebelumnya tidak mencerminkan pendapat responden. Para responden diperbolehkan memilih lebih dari satu option agar variasi jawaban terekam dengan baik. Selanjutnya untuk mendapatkan data sekunder, instrumen penelitian yang digunakan berupa pedoman observasi dan wawancara.
HASIL DAN PEMBAHASAN
            Berikut ini adalah hasil kuesioner yang disebarkan, masalah tersebut dibawah ini telah disusun berdasarkan peringkat prosentase:



Tabel 1: jumlah mahasiswa (N) dan prosentase masalah (%)
NO
Lingkup Permasalahan
Peringkat Masalah
N
%





1
Permasalahan secara umum dalam mengikuti perkuliahan Puisi bahasa Inggris
  1. Buku ajar yang digunakan susah dipahami
  2. Fasilitas/media pembelajaran tidak/kurang memadai
  3. Metode pengajaran kurang/tidak efisien
  4. Kualitas dosen dalam menguasai materi rendah
  5. Yang lainnya

101

26
6

1
24

72,66%

18,71%
4,32%

0,72%
17,27%
2
Permasalahan yang dihadapi dalam membaca puisi
  1. Masalah dalam memahami makna puisi
  2. Masalah dalam menggunakan intonasi dan pelafalan
  3. masalah dalam memberi jeda dalam membaca puisi
  4. masalah dalam mengekspresikan puisi sesuai isi
  5. yang lain
117

40

30
29
2
84,17%

28,78%

21,58%
20,86%
1,44%

3
Permasalahan yang dihadapi dalam menulis puisi
  1. Masalah dalam menggunakan majas-majas yang mampu mengungkapkan tujuan puisi
  2. Masalah dalam menemukan ide puisi
  3. Masalah dalam kosakata
  4. Masalah dalam menentukan subyek puisi agar selaras dengan tema yang dimaksud
  5. Yang lain
93

55

 53
35

0

66,91%

39,57%

38,13%
25,18%

0%
4
Permasalahan yang dihadapi dalam memahami puisi
  1. Masalah dalam memahami makna figuratif dari majas -majas yang digunakan
  2. Masalah dalam memahami tujuan atau makna generalisasi isi puisi
  3. Masalah dalam memahami kosakata dalam puisi
  4. Masalah dalam mengidentifikasi puisi dalam kategori puisi biasa, baik dan sangat baik.
  5. Yang lain
112


55
49

30

0
80,58%


25,18%
35,25%

21,58%

0%

Pada pertanyaan kelima tentang saran untuk meningkatkan kualitas perkuliahan puisi mahasiswa menyampaikan berbagai saran sebagai berikut:
  1. Menjelaskan lebih detail tentang materi yang bersangkutan beserta dengan contoh
  2. Ajarkan mahasiswa tentang membuat puisi secara bertahap
  3. Perbanyak referensi lain yang membuat mahasiswa mencintai puisi
  4. Perbanyak penjelasan yang berhubungan dengan kehidupan
  5. Sebaiknya menggunakan buku yang lebih mudah dimengerti
  6. Pergunakan video, musik dan audio dengan lebih maksimal
  7. Tugas yang diberikan seharusnya setelah menjelaskan materi puisi
  8. Semoga listrik lebih tersedia dengan lebih baik
Berdasarkan hasil kuesioner ditemukan bahwa permasalahan perkuliahan poetry secara umum yang memiliki prosentase yang paling tinggi, yaitu sebesar 72,66%, adalah buku ajar yang digunakan susah dipahami. Permasalahan ini dipilih oleh 101 mahasiswa. Berikutnya, masalah kedua yang menempati urutan prosentase tertinggi kedua, yaitu sebesar 18,71% adalah fasilitas /media pembelajaran yang kurang memadai. Masalah ini dipilih oleh 26 mahasiswa. Selanjutnya masalah metode pengajaran kurang efisien dan kualitas dosen dalam menguasai materi masih rendah menempati urutan ketiga dan keempat yang secara berturut-turut memiliki prosentase sebesar 4,32% dan 0,72%. Masalah metode pengajaran kurang efisien dipilih oleh 6 orang dan masalah kualitas dosen dalam menguasai materi masih rendah dipilih oleh 1 orang mahasiswa. Kemudian option yang terakhir yaitu option e meminta mahasiswa menuliskan (jika ada) masalah lain. Untuk option ini terdapat variasi jawaban yaitu kegiatan pembelajaran monoton, susah memahami makna, susah memahami aspek budaya dalam puisi, susah bangun pagi, susah memahami materi, susah menghafal puisi, bahasa literatur susah dan adanya tugas yang banyak serta kurangnya ada fasilitas (listrik sering padam, karena beban pemakaian melebihi kuota). Dari option e yang bisa dilihat adalah banyaknya komentar tentang kegiatan pembelajaran yang monoton, hal ini diungkapkan oleh  4 orang mahasiswa.
Berdasarkan paparan pada hasil penelitian ini, terlihat bahwa masalah yang paling dominan dihadapi mahasiswa secara umum pada perkuliahan poetry adalah susahnya buku ajar yang digunakan. Perlu saya paparkan disini, buku ajar yang digunakan sebenarnya buku yang sangat baik, karena memiliki berbagai contoh-contoh puisi. Akan tetapi, karena buku ini sebenarnya dibuat untuk pelajar puisi yang menggunakan bahasa inggris sebagai bahasa pertama atau bahasa kedua, maka buku ini memiliki tingkat kesulitan yang cukup menjadi hambatan bagi mahasiswa pendidikan bahasa inggris Undiksha yang mempelajari bahasa inggris sebagai bahasa asing. Seperti yang disampaikan oleh Xiaoxia (2002) bahwa materi ajar haruslah sesuai dengan tingkat kemampuan siswa.
Selain hal tersebut diatas, masalah kedua dari perkuliahan puisi secara umum adalah lemahnya fasilitas perkuliahan, terutama mahasiswa menekankan tentang ketersediaan listrik. Berdasarkan hasil observasi, ketersediaan listrik sering terganggu, akibat listrik padam. Ketika hal ini ditelusuri hal ini disebabkan karena beban penggunaan listrik lebih besar dari kuota. Selain listrik yang sering padam, mahasiswa juga mengeluhkan ketersediaan LCD. Padahal jurusan pendidikan bahasa inggris jika dibandingkan dengan jurusan lain memiliki jumlah LCD yang lumayan yaitu 8 buah. Akan tetapi, banyaknya kelas di jurusan pendidikan bahasa ingris menyebabkan pengguna LCD pada waktu yang bersamaan juga cukup banyak, belum lagi masalah LCD yang rusak. Hal semacam ini sering menggaggu jalannya perkuliahan yang membuat perkuliahan tidak berjalan sesuai denga rencana. 
Masalah berikutnya setelah buku ajar yang sulit dan fasilitas yang terbatas, mahasiswa juga menyatakan tentang permasalahan dalam pengimplementasian metode pengajaran. Menurut Xiaoxia (2002) selain materi ajar, metode pembelajaran juga harus baik. Pada penelitian ini ditemukan bahwa metode pembelajaran mengajar yang digunakan pada perkuliahan puisi sudah cukup baik. Hal ini ditemukan pada jawaban mahasiswa pada item kuesioner no 5 tentang saran untuk meningkatkan kualitas perkuliahan poetry serta respon mahasiswa dari interview yang dilakukan.  Akan tetapi, strategi perkuliahan ini menurut pendapat mahasiswa walaupun cukup baik, masih memiliki kelemahan. Mereka menyatakan kegiatan perkuliahan monoton karena selalu memiliki desain perkuliahan yang sama terus-menerus. Mereka juga menyatakan bahwa perkuliahan ini memberikan tugas setiap kali pertemuannya. Hal lain berkenaan dengan tugas perkuliahan, mahasiswa menyatakan bahwa tugas perkuliahan sering diberikan sebelum materi yang berkaitan dengan topik pada tugas itu dibahas dikelas, sehingga mahasiswa mengalami kesulitan dalam mengerjaka tugas-tugas tersebut.
 Kelemahan-kelemahan strategi perkuliahan yang disampaikan diatas tadi harus dicek ulang atau dilakukan triangulasi data lewat interview kepada dosen dan observasi. Berdasarkan hasil observasi ditemukan bahwa perkuliahan poetry ini dilaksanakan sebanyak 14 kali pertemuan disetiap kelas (terdapat 5 kelas a,b,c,d dan e). Setiap awal perkuliahan mahasiswa diminta maju ke depan untuk mendeklamasikan, yaitu membaca dengan menghafalkan, puisi ke depan kelas. Dosen pengajar menyatakan bahwa hal ini dilakukan agar suasana atau atmosphere sastra khususnya puisi sudah terbangun dari awal pertemuan sehingga selanjutnya mahasiswa akan siap menerima materi perkuliahan.
Pada perkuliahan puisi dosen pengajar selalu memberikan tugas tentang topik tertentu sebelum topik tersebut dibahas. Misalnya untuk topik Denotation and Connotation, dosen meminta mahasiswa mencari makna dari denotasi dan konotasi dan mencari puisi dari internet yang menggunakan makna denotasi dan konotasi. Kemudian mahasiswa diminta menyampaikan apa yag meyangKetika hal ini ditanyakan pada dosen pengajar, dosen menyatakan bahwa pemberian tugas tersebut tidak bertujuan untuk evaluasi hasil belajar, dengan kata lain tugas tersebut tidak menunjukkan kemampuan hasil belajar. Pemberian tugas tersebut ditujukan untuk membuat mahasiswa, belajar sendiri, menggali, dan mencari informasi tentang topik tertentu dari berbagai sumber secara mandiri sebelum diterangkan secara lebih mendetail oleh dosen pengajar dikelas. Tampaknya, mahasiswa khawatir bahwa tugas tentang topik-topik itu akan digunakan untuk mengukur hasil belajar mereka. Hal yang berimbas dengan pemberian tugas tiap minggu ini menimbulkan kejenuhan bagi mahasiswa. Menurut Gower, Philips and Walters (2010) kegiatan dan tugas yang diberikan haruslah bervariasi, dan sesuai dengan tujuan pelajaran dengan. Guru harus sensitif melihat respon pelajar terhadap kegiatan dan tugas yang diberikan.
Untuk masalah kualitas dosen, mahasiswa menyatakan beberapa hal seperti ”Class poetry is always fun” ; ” I like the way you teach us, miss” dan lain-lain. Dari hasil kuesioner hanya satu mahasiswa yang menyatakan kualitas dosen masih rendah. Untuk hal ini juga bisa dilihat di hasil kuesioner pada item no 5. Secara umum mahasiswa menilai kualitas dosen dan pemahamannya sudah baik.
Untuk kegiatan membaca puisi, masalah yang paling dominan adalah masalah dalam memahami makna puisi yaitu 84,17% (dipilih oleh 117 orang) . Hal serupa juga disampaikan oleh Widyastuti (2010) yang menemukan dalam pelaksanaan pembelajaran puisi di MIN Tanuraksan Kebumen bahwa salah satu hambatan dalam mempelajari puisi adalah kesulitan pelajar memahami makna puisi. Seperti yang disampaikan oleh Kennedy dan Gioia (1995), memahami makna puisi adalah masalah yang sangat universal, artinya puisi memang bukanlah jenis sastra yang mudah dipahami. Permasalahan dalam memahami makna puisi tidak hanya dikarenakan penggunaan bahasa inggris sendiri yang merupakan bahasa asing bagi mahasiswa, tetapi juga dikarenakan secara alamiah puisi memiliki hal-hal seperti dualisme makna, penyimpangan makna, penggunaan simbol-simbol dan lain-lain. Bahkan Nirwana (2011) menambahkan bahwa terkadang dalam puisi terdapat kata-kata sederhana tetapi dirangkaikan dalam konteks yang tak terduga, acuan yang kabur, ungkapan yang asing, bahkan nampak sebagai pernyataan yang kosong, atau kalimat yang disusun balik. Hal ini menyebabkan puisi secara alami memang sulit dipahami.
Berkenaan dengan susahnya memahami puisi Kennedy dan Gioia (1995) menyatakan bahwa metode parafrasa dapat digunakan untuk menanggulangi permasalahan ini. Parafrasa dilakukan dengan cara menulis apa yang diketahui pada puisi yang ada dengan menggunakan kata-kata sendiri, mencantumkan ide-ide pokok, serta menulis apa yang puisi itu isyaratkan. Berdasarkan hasil observasi dosen pengajar melakukan diskusi class conference di kelas untuk membantu mahasiswa dalam memahami makna puisi. Class conference ini dilakukan dengan cara membentuk kelompok diskusi dan meminta mahasiswa dan dosen menginterpretasikan makna eksplisit dan implisit dari sebuah puisi.
Hal kedua yang menjadi permasalahan dalam kegiatan membaca puisi adalah masalah dalam menggunakan intonasi dan pelafalan yaitu 28,78% (dipilih oleh 40 orang). Hal ini memang tidak bisa dihindari karena Bahasa Inggris merupakan bahasa asing bagi mahasiswa. Tentu saja penggunaan bahasa inggris terutama pelafalan (pronunciation) tidak bisa persis sama dengan para penutur asli. Berdasarkan hasil observasi terlihat bahwa dalam membaca puisi mahasiswa masih belum mampu melafalkan kata-kata atau kalimat bahasa Inggris denga tepat. Penyimpangan pelafalan mahasiswa sangat mungkin terjadi karena pengaruh dari pelafalan bahasa pertama bahasa Indonesia atau bahasa Bali) terhadap bahasa Inggris mereka. Hal ini sejalan dengan apa yang disampaikan Littlewood (1988) yang menyatakan bahwa bahasa pertama dan kedua sangat mempengaruhi penguasaan bahasa asing.
Selain masalah intonasi dan pelafalan mahasiswa juga menemukan masalah dalam memberi jeda dalam membaca puisi dan masalah dalam mengekspresikan puisi sesuai isi. Masalah ini menempati urutan ketiga dan keempat dari semua masalah dalam membaca puisi yaitu 21, 58% (atau dipilih oleh 30 orang) dan 20,86% (dipilih oleh 29 orang). Kemampuan mahasiswa memberi jeda sebenarnya dipengaruhi oleh kemampuan mereka memahami makna puisi. Apabila secara konteks mahasiswa mengetahui makna puisi maka mereka secara tidak langsung akan paham kapan bisa memberi jeda. Hal serupa juga terjadi dengan kemampuan  mereka mengekspresikan puisi sesuai isi puisi. Semakin baik pemahaman mereka terhadap isi puisi maka semakin mampu mereka mengekspresikan puisi dengan tepat misalnya apakah dengan nada bersemangat, sedih, bahagia dan lain-lain. Berdasarkan hasil wawancara dengan dosen pengajar, dinyatakan bahwa mahasiswa yang pandai dan mampu memahami puisi cenderung mampu mengekspresikan dan memberi jeda yang tepat dalam membaca puisi.
Hal diatas menunjukkan bahwa kemampuan memahami puisi adalah hal yang paling utama karena hal ini akan mempengaruhi kemampuan membaca puisi lainnya seperti kemampuan memberi jeda ketika membaca puisi dan kemampuan mengekspresikan puisi.
Dalam menulis puisi masalah utama yang dirasakan mahasiswa adalah masalah dalam menggunakan majas-majas yang mampu mengungkapkan tujuan puisi. Masalah ini dipilih oleh 93 orang atau 66, 91%. Mahasiswa pendidikan bahasa inggris Undiksha mempelajari bahasa inggris sebagai bahasa asing, sehingga dalam mengungkapkan makna dengan menggunaka majas-majas masih sangat kesulitan. Menurut mereka praktik menulis puisi dikelas masih sangat kurang, sehingga ketika mereka diminta untuk menulis puisi mereka merasa mereka kurang berlatih. Padahal Sulaiman (2009) menyatakan bahwa faktor yang sangat dominan ditemukan dalam puisi adalah adanya berbagai ragam penyimpangan bahasa serta banyaknya ragam majas yang sering digunakan. Perrine (1982) menyatakan bahwa  majas atau bahasa figuratif adalah bahasa yang mempergunakan kata-kata yang susunan dan artinya sengaja disimpangkan dari susunan dan artinya yang biasa dengan maksud mendapatkan kesegaran dan kekuatan ekspresi. Caranya adalah dengan memanfaatkan perbandingan, pertentangan, atau pertautan hal yang satu dengan yang lain, yang maknanya sudah diketahui oleh pembaca atau pendengar.
Masalah lain dalam menulis puisi adalah masalah dalam  menemukan ide puisi (39,57%), masalah dalam kosakata (38,13%) dan masalah dalam menentukan subyek puisi agar selaras dengan tema yang dimaksud(25,18%). Berdasarkan hasil wawancara dengan dosen masalah ini adalah masalah yang sangat dasar karena bahasa inggris atau bahasa asing apapun tidak bisa dipelajari dalam sekejap. Sehingga kesulitan menulis puisi ini hanya bisa diselesaikan dengan sering berlatih dan banyak membaca puisi.
Bertalian dengan masalah yang dihadapi mahasiswa dalam menulis puisi, yaitu menggunakan majas untuk mengungkapkan tujuan puisi, dalam memahami puisi mahasiswa rupanya mengalami masalah serupa yaitu masalah dalam memahami makna figuratif dari majas -majas yang digunakan pada sebuah puisi (80,58%). Kenapa majas begitu susah dipahami? Sulaiman (2009) menerangkan bahwa majas atau bahasa figuratif pada dasarnya adalah bentuk penyimpangan dari bahasa normatif, baik dari segi makna maupun rangkaian katanya, yang bertujuan untuk mencapai arti dan efek tertentu. Pada umumnya bahasa figuratif dipergunakan oleh pengarang untuk menghidupkan atau lebih mengekspresikan perasaan yang diungkapkan sebab kata-kata saja belum cukup jelas untuk menerangkan sesuatu yang disampaikan.
Masalah berikutnya adalah masalah dalam memahami tujuan atau makna generalisasi isi puisi (39,56%), masalah dalam memahami kosakata dalam puisi (35,25%), dan masalah dalam mengidentifikasi puisi dalam kategori puisi biasa, baik dan sangat baik (21,58%). Berdasarkan hasil observasi mahasiswa memang mengalami kendala yang besar dalam memahami tujuan atau generalisasi isi puisi. Dosen pengajar menyampaikan mahasiswa cenderung memahami puisi hanya secara literal atau memaknai apa yang disampaikan secara eksplisit sementara seperti yag disampaikan oleh Perrine (1982) puisi mengandung sarat makna dan apa yang disampaikan sering berbeda dengan apa yang dimaksudkan. Selanjutnya, Perrine (1982) menyatakan bahwa untuk memahami puisi diperlukan mutidimensi kemampuan yaitu intelektual, imaginasi, rasa,  dan berekspresi. Permasalahan ini disebabkan pula oleh kurangnya pemahaman atau pengetahuan kosakata mahasiswa. Sehingga secara simultan menyebabkan mahasiswa tidak mampu menilai puisi yang kurang baik, puisi yang baik dan puisi yang sangat baik atau masuk dalam kategori great poem.

SIMPULAN DAN SARAN
            Berdasarkan hasil penelitian ini dan pembahasan diatas, secara umum permasalahan yang paling dominan dalam mengikuti perkuliahan poetry adalah sulitnya memahami buku ajar yang digunakan.
Kemudian, untuk masalah-masalah yang dihadapi dalam kegiatan membaca, ditemukan bahwa masalah yang paling dominan masalah dalam memahami makna puisi.
Selanjutnya permasalahan yang paling dominan dihadapi mahasiswa dalam menulis puisi adalah  masalah dalam menggunakan majas-majas yang mampu mengungkapkan tujuan puisi.
Hal yang terakhir adalah masalah-masalah dalam memahami puisi. Untuk lingkup masalah ini, masalah yang paling dominan adalah masalah dalam memahami makna figuratif dari majas -majas yang digunakan.
Berdasarkan paparan diatas dapat disimpulkan bahwa masalah yang paling utama adalah masalah memahami makna. Hal ini dapat disimpulkan dari adanya kesulitan memahami buku ajar, adanya kesulitan menggunakan majas-majas dan adanya kesulitan memahami majas dalam puisi. Sehingga berikut ini disampaikan beberapa saran.
Kepada dosen Pengajar diharapkan mengorganisasikan atau menyusun sebuah kumpulan materi-materi puisi dengan level bahasa yang lebih mudah dipahami
Kepada Tim Perlengkapan Fakultas Bahasa dan Seni, diharapkan untuk lebih serius menanggulangi permasalahan ketersediaan listrik, karena hal ini sangat berpengaruh terhadap kualitas proses pembelajaran.
Kepada para mahasiswa pengambil mata kuliah poetry diharapkan mengembangkan sikap sebagai autonomous learner artinya pelajar yang mandiri. Hal ini sangat berguna untuk mendukung pelajaran yang diberikan di kelas. Perkuliahan puisi tidak bisa dipelajari secara serta merta, melainkan melibatkan proses pembelajaran yang kontinu.

DAFTAR PUSTAKA
Alim, Condro Nur. 2008. English Language Teaching through Literary Works. In the Proceeding of fifth Conference on English Studies (Conest 5). Jakarta:PKBB-Unika Atmajaya.

Fanmei Kong, 2010. On the Effectiveness of Applying English Poetry to Extensive Reading Teaching. Dimuat dalam Jurnal Language Teaching and Research, Vol. 1, No. 6, pp. 918-921, November 2010.(online)   http://www.google.co.id/#q=research+on+learning+english+poetry&hl=id&prmd=imvns&ei=qPt2T5WcI8vMrQeXwpW_DQ&sqi=2&start=10&sa=N&bav=on.2,or.r_gc.r_pw.r_qf.,cf.osb&fp=cd5d56e1bba3ae10&biw=1024&bih=374 Diakses tanggal 9 Februari 2012
Gower, Roger; Phillips Dianne; Walters, Steve. 2010. Teaching Practice A Handbook for Teachers in training. Thailad: Macmillan
Kennedy, X.J & Dana Gioia. 1995. Literature: An Introduction to Fiction, Poetry, and Drama, Sixth Edition. New York: HarperCollins Publishers
Littlewood, William. 1988. Foreign and Second Language Learning: Language Acquisition Research and Its Implication. Newyork: Cambridge University Press
Langer, J. 1997. Literacy Acquisition through literature. Journal of Adolescent and Adult Study
Nirwana, 2011. Kesulitan pembelajaran puisi dikelas. (online) http://ctyliyanawati.blogspot.com/2011/04/kesulitan-pembelajaran-puisi-di-kelas.html Diakses diinternet tanggal 11 Februari 2012
Perrine, Laurence. 1982. Sound and Sense: An Introduction to Poetry. Toronto: Harcourt Brace Jovanovich, Public
Povey, John. 1972. Literature in TESL Programs: The Language and the Culture. Tesol Quarterly 1. In Harold B. Allen and Russel Campbell. TTEaching English as a Second Language. New York: McGraw-Hill

Sulaiman, Isakandar. 2009. Parafrasa, Solusi Alternatif Mengatasi Kesulitan Memahami Makna Puisi Bahasa Inggris . Diakses tanggal 9 Februari 2012 pada http://langue-parole.blogspot.com/2009/03/parafrasa-solusi-alternatif-mengatasi.html

Titane, Renzo and Danesi Marcel. 1985. Applied Psycholinguistics: An Introduction to the Psychology of Language Learning and teaching. Toronto: University of Toronto Press

Utami, I.G.A. Lokita Purnamika. 2011. The Importance of Introducing Poetry to EFL Students. Sebuah artikel yang dipresentasikan pada the 2011 Asia Creative Writing Conference: Creating Interactive Language Classroom Through Creativity, Exploration, & self Identity in the Asian Context di POLTEK Negeri Jember pada tanggal 31 maret-1 april 2011.
Weda, Sukardi. 2008. English Learning Strategies. Makassar: LPPMM
Widyastuti. 2010. Pembelajaran Apresiasi Puisi Siswa Madrasah Ibtidaiyah (Studi Kasus di Kelas V Madrasah Ibtidaiyah Negeri Tanuraksan Kebumen). Tesis. Surakarta: Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret
Xiaoxia, wei. 2002. How a second Language is Learned : Some Suggestion Based on a Case Study. The English Teacher, An International Journal. Vol 5 n 4 November 2002. Pg 443-448. Thailand: Institute for English Language Education, Assumption University


Monday, June 4, 2012

TEKNIK PANAURICON


TEKNIK PANAURICON UNTUK MENUMBUHKAN KEMAMPUAN PRAGMATIK

2.1 Kajian Teoritis
2.1.1 Konsep Kompetensi Pragmatik
Kompetensi Pragmatik dapat diartikan sebagai kemampuan untuk mengartikan maksud pembicara. Dessalles (1998) menyatakan bahwa Kompetensi Pragmatik adalah kompetensi yang memungkinkan kita untuk menggunakan bahasa dalam situasi konkrit, untuk menyampaikan argumen yang relevan, untuk menjadi pembicara yang kompeten. Untuk dapat menguasai Kompetensi Pragmatik dengan baik, speaking merupakan kemampuan yang paling menjanjikan bagi guru untuk diajarkan pada murid. Tarrigan (1981: 8) mendefinisikan speaking sebagai kemampuan mengucapkan kata-kata atau mengartikulasikan suara untuk mengekspresikan atau menyatakan pemikiran, ide, atau perasaan. Definisi yang lebih luas tentang speaking diberikan oleh. Florez (1999). Seperti yang dikutip oleh Bailey (2005), Florez (1999) menyebut speaking sebagai sebuah proses interaktif dalam membentuk suatu arti yang meliputi cara memproduksi, menerima, dan memproes informasi.  Sejalan dengan itu, Chaney (1998) seperti yang dikutip oleh Kayi (2006) mendefinisikan speaking sebagai proses membentuk dan membagi arti melalui penggunaan symbol verbal dan non-verbal dalam konteks yang bervariasi.
Penggunaan speaking lebih sering digunakan oleh guru ketika mereka terfokus pada kompetensi pragmatik siswa dalam hal pronounciation, grammar, vocabulary, fluency, dan comprehension. Hal ini sejalan dengan lima aspek dari oral proficiency yang diperkenalkan oleh Harris (1984 dalam Ratminingsih, 2004: 26) yang juga meliputi pronounciation, grammar, vocabulary, fluency, dan comprehension. Harris juga membuat skala untuk mengukur oral proficiency dari pembelajar bahasa dimana kebanyakan kriterianya berdasarkan pada perbandingan dengan kemampuan berbicara para penutur bahasa asli.
Sebagai alat komunikasi, speaking merupakan kemampuan yang penting untuk dikuasai. Hal ini sesuai dengan tujuan dari pembelajaran bahasa yaitu menghasilkan kompetensi dari pembicara untuk berkomunikasi dalam bahasa target. Dalam hal ini, kompetensi speaking mempengaruhi kompetensi komunikatif dari pembelajar bahasa. Oleh karenanya, pengajaran speaking harus komunikatif karena siswa tamatan sekolah menengah atas diarahkan untuk memiliki kemampuan berkomnikasi untuk memenuhi tuntutan kerja. Selain itu, mereka dapat melanjutkan studinya ke level yang lebih tinggi. Hal ini dikarenakan melalui speaking siswa dapat mengekspresikan diri mereka dan belajar mematuhi peraturan sosial budaya dalam setiap situasi komunikatif.
Berkomunikasi adalah sebuah prosess jadi tidaklah cukup bagi siswa hanya dengan memiliki pengetahuan tentang bentuk, arti, dan fungsi dari bahasa target. Hal ini dikarenakan ketika siswa meninggalkan kelas, mereka akan melakukan aktivitas yang memerlukan pengaplikasian dari pengetahuan bahasa itu sendiri seperti menyampaikan berita pada orang lain atau ambil bagian dalam sebuah interview. Dalam kehidupan nyata, siswa hanya mendengarkan sesuatu sekali dan mereka tidak bisa selalu meminta seseorang untuk mengulangi apa yang mereka katakan. Ketika seseorang menanyakan sesuatu, pendengar harus mengerti apa yang dkatakan, memikirkan jawabannya dan mengatakannya dalam bahasa Inggris dalam waktu singkat.
Melalui speaking, siswa mempelajari konsep, memperbanyak perbendaharaan kata, dan menyerap struktur bahasa Inggris yang merupakan komponen esensial dalam pembelajaran. Oleh karena itu, speaking merupakan kemampuan yang penting yang harus dikuasai untuk dapat menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi dalam kehidupan nyata.
           
2.1.2
Teknik Panauricon
Kelen (2006) menyatakan bahwa Teknik Panauricon (PT) adalah sebuah metode belajar yang mengatur siswa di kelas berbicara dalam lingkaran, memberikan mereka kesempatan untuk melatih drill atau percakapan dengan sebanyak mungkin partner yang berbeda. Yang ditekankan dalam teknik ini adalah dalam memposisikan guru dalam kelas berbicara pada posisi sentral dimana dia dapat mengubah alur percakapan setiap saat hanya dengan memalingkan kepalanya. Jadi, guru tidak perlu lagi berjalan-jalan dalam kelas tp siswalah yang bergerak. Dengan cara ini mereka akan merasa bahwa guru akan selalu ada untuk mereka. Berbeda dengan kelas tradisional dimana guru berdiri di depan kelas, dalam PT guru berada di tengah-tengah kelas. Walaupun begitu, PT tetap dinyatakan sebagai student-centered classroom karena, setelah diberikan instruksi atau dengan pendahuluan drill, siswalah yang diberikan kesempatan berbicara. Peran guru adalah membatasi waktu di kelas dan mengatur jumlah maksimum dari latihan oral siswa.
               Teknik Panauricon dapat membantu siswa untuk bicara sebanyak mungkin serta untuk memonitor kegiatan speaking sehingga siswa dapat memperbaiki kemampuan speaking mereka. Tujuan dari teknik ini adalah untuk memberanikan siswa untuk bergerak di kelas, memastikan bahwa seluruh anggota kelas berbicara dengan anggota kelas lainnya, untuk mengontrol dan mengatur pergerakan yang dilakukan siswa melalui cara-cara tertentu bahwa siswa diyakinkan jika guru akan tetap bersama mereka dan siap menyediakan keperluan individual mereka (Kelen, 2006).

2.1.3 PENGATURAN TEKNIK PANAURICON
Ada beberapa langkah yang harus ditempuh dalam pengaturan teknik Panauricon, yaitu:
1.      Pre-Panauricon.
Sesuai dengan pernyataan Kelen (2006), pergerakan atau kegiatan memotivasi diri merupakan bagian yang penting dalam pembelajaran bahasa. Total Physical Response (TPR) dapat digunakan sebagai salah satu cara dalam mengatur teknik ini daripada siswa hanya diam secara pasif ditempat duduk mereka masing-masing. Kegiatan pemanasan yang dilakukan lewat beberapa instruksi TPR terbukti efektif dapat memudahkan menyuruh siswa bergerak sebagai bagian dari proses pembelajaran bahasa (Kelen, 2006). Pada TPR, guru berada di tengah-tengah kelas sehingga guru dapat mengubah alur percakapan di kelas tanpa harus bergerak.
2.      Bekerja berpasangan.
Disini, siswa dapat berlatih percakapan bebas yang telah mereka pelajari sebelumnya dengan guru. Tetapi, bagaimanapun canggihnya metode yang digunakan dalam kelas, setiap kegiatan yang diulang secara terus menerus tanpa adanya variasi dapat membuat siswa menjadi bosan. Kelen menyatakan bahwa sangatlah baik memberikan siswa intruksi yang baru dalam menvariasikan drill atau dialog. Membuat perputaran intruksi kelas merupakan bagian yang penting dalam Teknik Panauricon. Kapan dan bagaimanapun (dalam kondisi apapun), melakukan perputaran instruksi di kelas benar-benar merupakan kunci sukses teknik ini. Ketika tidak ada variasi dari putaran pertama ke putaran berikutnya, tepukan tangan atau suara musik dapat menjadi sinyal. Di lain hal, akan sangat sulit memecah perhatian siswa jika mereka masih sangat antusias berdiskusi. Sinyal-sinyal mekanis seperti suara jam atau musik dapat meredam rasa tidak adil siswa dalam menentukan batas waktu jika ada dari mereka yang lebih dulu selesai mengerjakan tugasnya dengan mereka yang selesai belakangan. Meminta siswa untuk menukar tempat duduk dengan partner mereka memberikan mereka kesempatan untuk melakukan beberapa pergerakan.
3.      Bekerja bersama-sama dalam kelompok yang lebih besar.
Dalam Teknik Panauricon, tahap bekerja berpasangan dapat diubah menjadi bekerja sama dalam kelompok yang lebih besar dimana siswa berlatih dialog sesuai dengan topik yang diberikan. Disini, latihan secara jigsaw dapat digunakan dimana siswa perlu bergerak di dalam kelas untuk mendapatkan informasi dari topik tertentu. Di bagian akhir teknik, setiap kelompok harus membacakan laporan yang sudah mereka buat di tengah kelas.

2.1.4 Kelebihan Teknik Panauricon
                        Teknik Panauricon memberikan kesempatan sebanyak mungkin kepada siswa untuk berbicara menggunakan bahasa target. Guru dapat mengubah alur percakapan sesukanya hanya dengan menggelengkan kepalanya. Di dalam kelas, guru tidak perlu mendatangi siswa jika mereka mengalami masalah tetapi siswalah yang mendatangi guru jika mereka mengalami permasalahan. Dalam teknik ini, penggunaan bahasa diaplikasikan secara nyata dimana siswa dapat mengekspresikan ide-ide mereka dengan bebas bersama teman-temannya. Disini, guru dapat mengatur kelompok yang ada dengan mudah karena mengganti kerja berpasangan menjadi kerja berkelompok menjadi sangat mudah karena dalam teknik ini dari awal siswa sudah berpasangan dalam formasi yang sesuai.
Teknik Panauricon memberikan kesempatan kepada setiap siswa untuk berbicara dengan orang lain, memaksimalkan kesempatan bagi siswa untuk mengembangkan diri secara personal dalam menggunakan bahasa target. Proses pengembangan diri ini dapat memperbaiki bahasa siswa karena hal tersebut dapat memudahkan siswa mengutarakan sesuatu yang dapat dengan mudah diartikan (Kelen, 2006). Pada teknik ini, siswa benar-benar berkomunikasi satu sama lain dan guru ada untuk membantu mereka. Teknik Panauricon merupakan cara yang baik untuk mendorong siswa dalam melihat aspek-aspek yang berbeda dari sebuah topik, untuk memperkaya perbendaharaan kata dan struktur kalimat yang berhubungan atau berguna untuk tema-tema tertentu. Mengulang diskusi-diskusi yang masih ada hubungannya di dalam kelompok dapat membantu siswa untuk berpikir lebih luas dan lebih dalam tentang permasalahan yang ada dan hubungan-hubungan yang terdapat didalamnya.
            Teknik Panauricon juga memberikan solusi yang tepat untuk masalah kesinambungan yang terjadi dalam kelompok di kelas. Guru perlu mendorong siswa dalam membentuk kelompok yang terdiri dari empat orang dengan sesedikit mungkin adanya pergantian tempat duduk. Sangatlah mudah dalam mengatur siswa untuk kembali bersama pasangannya setelah belajar dalam kelompok yang lebih besar dengan cara ini. Kelas yang dapat digunakan dalam mengaplikasikan Teknik Panauricon adalah kelas yang besar sehingga siswa dapat bergerak dengan bebas di dalamnya yang dapat memudahkan mereka untuk kembali bekerja dengan pasangannya ataupun kembali pada kelompoknya.
            Teknik ini juga bagus untuk daya ingat. Untuk mempertajam daya ingat, sangat diperlukan pengulangan-pengulangan bentuk leksikal dari srtuktur tata bahasa itu sendiri. Teknik yang menjadikan memorisasi sebagai proses secara tidak sadar haruslah membuat siswa nyaman dalam penerapannya. Setiap perlengkapan yang dapat membuat latihan pengulangan menjadi lebih menarik atau terlihat lebih bervariasi haruslah digunakan. Setiap metode yang membawakan materi untuk diingat dalam kehidupan sehari-hari melalui simulasi dalam penggunaanya di kehidupan nyata ataupun tidak nyata harus dihargai.

2.1.5 Beberapa Contoh Teknik Diskusi dalam Kelompok Berdasarkan Model Teknik Panauricon
                        Kelen (2006) menyatakan bahwa ada banyak sekali contoh diskusi kelompok berdasarkan model Teknik Panauricon, diantaranya:
1)      Setiap kelompok membuat topik mereka sendiri sesuai dengan tema yang diberikan kemudian mendiskusikannya.
Setiap kelompok mengumpulkan topik yang kemudian dikemukakan oleh perwakilan masing-masing kelompok tersebut di depan kelas. Guru lalu mengumpulkan (yang dalam prosesnya mengoreksi), mengkopi, lalu mendistribusikanya ke kelompok lain. Setelah diskusi selama lima menit atau lebih, kelompok-kelompok yang ada memberikan topik mereka pada kelompok lain dalam lingkaran yang dibentuk. Hal ini terus dilakukan sampai semua kelompok mendiskusikan topik-topik yang ada.
2)      Memata-matai.
Dalam kegiatan ini, kelompok yang satu berdebat melawan kelompok yang lain ”secara diam-diam”. Kelompok-kelompok tersebut dapat mengirimkan auditor atau mata-mata untuk mengumpulkan informasi dan membuat catatan kecil tentang argumen dan pendapat dari kelompok lain. Kelompok yang merasa dimata-matai dapat melakukan pencegahan yang dipandang perlu agar pendapat mereka tidak dipakai atau diambil oleh kelompok lain.
3)      Latihan secara Jigsaw.
Setingan teknik Panauricon sangat berguna untuk latihan sejenis jigsaw dimana siswa perlu melakukan pergerakan di dalam kelas untuk mendapatkan informasi. Sangatlah memungkinkan untuk membagi warga kelas ke dalam kelompok penerima informasi dan kelompok pemberi informasi dimana secara alternatif siswa bisa saja memerankan keduanya. Hal ini dapat digunakan sebagai struktur kegiatan pembentukan kelompok.
4)      Scribers dan Whisperers.
Seperti dalam permainan Chinese Whispers, pesan dapat disampaikan dari kelompok yang satu dengan kelompok yang lain. Untuk memberikan peranan pada setiap siswa dan juga untuk memaksimalkan kemungkinan kemungkinan menyimpangnya pesan (sehingga diperlukan pengutaraan yang tepat dan pendengaran yang baik), setiap kelompok dapat secara berkelanjutan memberikan bisikan dari dua arah. Setiap kelompok harus memiliki dua whisperers dan dua scribers (perannya dapat berubah dari putaran pertama ke putaran berikutnya untuk memberikan semua siswa latihan yang sama pada kedua peran). Setiap kelompok dapat memulai dengan satu pesan lisan dan menyampaikannya sekali ke dua arah. Yang berperan sebagai sctibers harus menjaga jalannya pesan tetapi tidak menunjukkan versi tertulis dari pesan tersebut pada siapapun. Mereka harus menyampaikan pesan tersebut pada whisperernya dengan bahasa lisan sebelum pesan tersebut sampai pada kelompok berikutnya.

2.1.6 Teknik Storytelling
                        Budaya di seluruh dunia hampir selalu menggunakan cerita sebagai salah satu cara untuk menyampaikan keyakinan, tradisi, dan sejarah mereka pada generasi mudanya. Cerita tidak hanya membantu dalam menstimulasi imajinasi anak dan memberikan pemahaman kepada mereka tentang dunia tetapi juga dapat membantu dalam mengembangkan kemampuan berbahasa anak serta mengapresiasikan karya sastra. Cerita biasanya sangat menarik dan memotivasi, dapat menarik perhatian pendengar serta mendorong adanya komunikasi. Cerita juga merupakan sumber bahasa yang besar. Selama ratusan tahun, ribuan cerita telah dibuat dan disampaikan pada masyarakat luas. Banyak cerita lama yang dipandang sebagai model bahasa dan sumber budaya dimana pembelajar pada berbagai kelompok umur dan level bahasa dapat menemukan cerita yang cocok untuk dibaca dan diceritakan kembali. Sebagai tambahan, cerita-cerita sekarang ini sangat mudah diakses, misalnya buku cerita dapat ditemukan di toko-toko buku atau dapat dipinjam dari perpustakaan atau dari teman. Sekarang ini, cara yang paling memadai dan paling cepat untuk mendapatkan cerita adalah dari internet.
                        Sebagai alat pembelajaran bahasa, Storytelling merupakan alat mengajar yang praktis dan berguna. Storytelling juga dipandang sebagai metode komunikasi yang sangat sesuai untuk mengembangkan komunitas karena teknik ini didasarkan pada penggunaan dasar dan yang sering dilakukan dalam pembelajaran speaking dan listening. Tidak ada alat khusus dalam penggunaan metode ini selain imajinasi dan kekuatan dari listening dan speaking yang diperlukan untuk menciptakan gambar yang artistik. Isi dari cerita itu sendiri sering menceritakan tentang pengalaman, ilmu pengetahuan, kebijaksanaan, dan harga diri yang disampaikan dari generasi ke generasi. Cerita dapat dengan mudah diadaptasikan atau diperbaharui untuk memasukkan permasalahan-permasalahan atau isu-isu yang sedang berkembang.
                        Storytelling dapat menraik perhatian masyarakat luas. Dalam situasi formal sekarang ini, pendongeng biasanya menyiapkan cerita yang akan disampaikan. Beberapa pendongeng menyampaikan cerita dari imajinasi mereka sendiri. Cerita-cerita lain didapat dengan cara dikumpulkan, kadang-kadang diadaptasikan dari buku-buku dan pendongeng lain. Selain itu, Celce-Murcia (2001: 144, seperti yang dikutip oleh Dewi, 2008) menyatakan bahwa cerita merupakan alat menyampaikan bahasa yang sangat luar biasa. Guru yang berpengalaman dapat menggunakan cerita untuk mengembangkan listening yang efektif, speaking yang lebih fasih, serta kemampuan untuk membaca dan menulis yang mudah dan berkompeten.
                        Madylus (2004) seperti yang dikutip dalam Ratminingsih (2004: 13) mengatakan bahwa Storytelling merupakan salah satu bentuk seni kreatif yang menghibur dan memberikan informasi selama bertahun-tahun. Teknik ini dapat digunakan oleh guru dalam proses belajar mengajar. Melalui Storytelling, kita dapat menjelaskan tentang misteri kehidupan dan dunia untuk memberikan pemahaman pada diri sendiri bagaimana caranya menghargai sesuatu.
                        Sejalan dengan kenyataan di atas, Storytelling dapat mendorong siswa untuk mengeksplorasi keunukan ekspresi mereka dan dapat mempertajam kemampuan mereka untuk menyampaikan pemikiran dan perasaannya. Storytelling juga dapat memperbaiki kemampuan berbahasa siswa seperti perbendaharaan kata, cara memprediksi, merangkai cerita, pemahaman, struktur cerita, dan mengingat kembali. Anak yang terlibat dalam kegiatan mempelajari sejarah dan budaya, dapat mengendalikan emosi mereka dengan lebih baik dan memiliki tingkat kesadaran diri yang tinggi. Kegiatan ini juga dapat menstimulasi daya imajinasi. Kegiatan Storytelling juga selalu aktif dan inventif. Anak-anak perlu menyatukan semua jenis kemampuan kognitif dengan kemampuan motorik dan interpretasi emosi untuk membentuk sebuah pertunjukan, dan karena adanya penyatuan ini, setiap pertunjukan menjadi unik di tangan pendongeng.
Lings (2005) membuat deretan daftar desempatan yang bisa didapat siswa dalam proces penyampaian cerita, diantaranya:
a.          Ingatan yang tajam dan menyatu.
b.      Mengembangkan kemampuan untuk berdiri di hadapan teman ataupun orang lain untuk berbicara dengan percaya diri.
c.          Pengalaman dan pengaturan diri, menggunakan bahasa lisan, menggunakan narasi dan mengeksplorasi ritme, rima, serta bermain dengan kata-kata.
d.      Belajar bagaimana bahasa bisa berubah berdasarkan tujuannya, seperti dalam persuasi, konflik dan resolusinya, serta dalam pembuatan keputusan.
e.         Mengembangkan rasa percaya dalam berbicara dan melakukan kegiatan secara fisik.
f.         Bereksperimen dengan penggunaan dialog, suara, nada, ekspresi, penguasaan karakter, dan efek suara lainnya yang dikombinasikan dengan gerakan, ekspresi wajah, dan bahasa tubuh.
g.      Mengembangkan kepedulian terhadap lingkungan dalam hal letak geografis secara imajinatif dan dalam menciptakan hubungan dengan penonton.
Mengingat pentingnya Storytelling seperti yang disebutkan di atas, tampaknya sangatlah bermanfaat untuk mengimplementasikan Storyteling di kelas. Bagaimanapun juga, siswa dalam hal ini perlu memahami cerita terlabih dulu dan setelah itu mereka diberikan desempatan untuk berbagi persepsi dan respon terhadap cerita yang diberikan. Berdasarkan Deacon dan Murphey (2001) seperti yang dikutip dalam Ratminingsih (2004: 17-18), ada lima tahapan dalam teknik Storytelling, diantaranya:
1.      Latihan repetisi.
Kegiatan ini merupakan kegiatan repetisi dimana secara diam-diam ataupun secara bebas pada saat ini siswa sudah siap menggunakan bahasa.


2.      Meringkas.
Guru mengiformasikan siswa bahwa mereka harus menceritakan kembali cerita yang telah diberikan kepada partnernya dengan membuat ringkasan dari cerita tersebut menggunakan kata-kata sendiri.
3.      Menceritakan kembali.
Guru meminta siswa untuk menceritakan kembali cerita yang telah dipelajari dengan menggunakan bahasa target atau bahasa ibu mereka, terutama jika tidak memungkinkan untuk menggunakan bahasa target.
4.      Evaluasi.
Ini adalah tahap dimana siswa diminta untuk mengevaluasi kegiatan kelas dan pekerjaan rumah mereka.
5.      Pemberian komentar.
Tahap ini merupakan tahap akhir yang meliputi penyeleksian komentar siswa yang diambil dari hasil evaluasi. Komentar ini dibuat dalam bentuk handout dimana kadang-kadang diisi tanpa mencantumkan nama orang yang memberi komentar. Komentar ini kemudian diberikan pada semua siswa di kelas untuk dibaca, dipikirkan, ataupun diberikan komentar pada eveluasi berikutnya.
Mendapatkan perhatian dari penonton bukanlah hal yang mudah. Pendongeng harus bisa memutuskan karakter yang akan dimunculkan serta settingnya, bagaimana bau dan suara mereka, serta apa yang mereka rasakan. Pendongeng harus menggunakan suara, gerakan, dan ekspresi mereka untuk membawakan elemen-elemen ini untuk hidup dalam hati dan pikiran pendengarnya. Pendongeng adalah ”direktur teater pikiran”, pencipta gambaran cerita dan emosi penonton. Itulah mengapa berbagi cerita dapat membangun hubungan komunitas antara pendongeng dengan penontonnya.

2.1.7 Series of Pictures
Penggunaan gambar oleh guru dalam pengajaran bahasa asing menciptakan situasi dan kondisi yang bervariasi. Gambar dapat membimbing siswa pada tingkat ketertarikan dan motivasi yang tinggi. Lebih jauh, gambar dapat membantu siswa memasuki sebuah pengalaman imajinatif dari masa lalu ataupun gambaran masa depan. Sesuai dengan Gerlach dan Ely (1980) pada Suseni (2006: 20), batasan gambar mengacu pada lukisan, gambaran, atau foto sebagai hasil seni. Gambar dapat mewakili situasi nyata dan menghubungkan pembelajaran dengan kehidupan nyata. Selebihnya, penggunaan gambar dapat dengan mudah mewakili konsep atau arti dari kata atau kalimat.
Gerlach dan Ely (1980) pada Suseni (2006: 21) juga menyatakan bahwa ada beberapa keuntungan dari penggunaan gambar sebagai media instruksional:
a.       Gambar tersedia dimana-mana.
b.      Gambar bisa mewakili alur cerita secara jelas.
c.       Gambar dapat menghindarkan siswa dari kesalahpahaman.
d.      Gambar dapat menarik perhatian siswa.
e.       Gambar dapat membantu siswa dalam mengingat kembali apa yang telah mereka pelajari.
f.       Gambar bisa disiapkan dengan mudah.
g.      Gambar dapat mewakili penampilan pencerita dan tingkah lakunya dapat mewakili situasi serta setting.
Sementara itu, Series of Pictures berarti satu set gambar yang terdiri dari dua gambar atau lebih dalam setiap serinya yang mengindikasikan jalannya cerita. Littlewood (1981) seperti yang dikutip oleh Sofia (2002: 15) menyarankan penggunaan rangkaian gambar dan menitikberatkan pada persamaan dan perbedaan kegiatan berkomunikasi. Gambar dapat mewakili kenyataan serta dapat menghubungkan pembelajaran dengan kehidupan nyata. Gambar juga dapat mewakili situasi nyata dan menghubungkan pembelajaran dengan kehidupan nyata. Melalui gambar, konsep dari kata atau kalimat dapat dengan mudah direpresentasikan. Series of Pictures berarti rangkaian gambar yang terdiri dari dua gambar atau lebih dalam setiap serrinilla yang mengindikasikan jalannya cerita.

2.2 Kajian Empiris
Penelitian terhadap penggunaan Teknik Panauricon dilakukan oleh Kelen (2006). Kelen menemukan bahwa PT sangat efektif untuk diterapkan pada sekolah yang siswanya memiliki latar belakang budaya yang majemuk seperti siswa-siswa di Asia Tenggara, SKH Lam Woo Memorial Secondary School, dan Chinese University of Hongkong karena siswa-siswa disini tidak mengasosiasikan kegiatan yang melibatkan gerakan dengan kelas sebagai konteks belajar. PT merupakan teknik yang sangat berguna untuk mengatasi masalah speaking yang sering dihadapi oleh para siswa dan juga untuk mengatur kelas yang besar.
Kedua, Gilfert dan Crocker (1999) seperti yang dikutip oleh Mila (20008) juga melakukan penelitian terhadap penggunaan PT dalam bentuk mempertunjukkan dialog terhadap pelajaran berbahasa non-Inggris di sekolah-sekolah menengah atas di Jepang. Hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa teknik ini memecahkan masalah tentang bagaimana bekerja dalam kelas yang sangat besar yang memungkinkan guru untuk berinteraksi dengan siswa secara individu.
Peneliti ketiga yang melakukan penelitian dengan menerapkan teknik yang sama adalah Mila (2008). Penelitian yang dilakukan adalah penelitian tindakan kelas pada siswa kelas VIIIB SMPN 1 Gerokgak. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa aplikasi teknik PT sangat berguna untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam speaking serta meningkatkan motivasi mereka dalam pelajaran speaking. Hal ini dapat dilihat dari hasil analisis data yang menunjukkan bahwa nilai rata-rata siswa meningkat dari 7.05 di atas 25 (kategory rendah) menjadi 14.68 di atas 25 (kategory rendah) pada siklus 1. Selanjutnya, nilai rata-rata mereka juga meningkat menjadi 18.78 di atas 25 (kategory baik) pada siklus 2. Perbaikan nilai rata-rata siswa juga didukung oleh respon yang positif siswa terhadap implementasi PT dalam kelas speaking mereka. Siswa merasa termotivasi dalam belajar speaking dengan menggunakan PT yang juga membuat mereka termotivasi dalam kelas speaking. PT sangat membantu siswa dalam pembelajaran speaking terutama dalam hal pronounciation, grammar, vocabulary, fluency, dan comprehension karena PT memberikan kesempatan pada siswa untuk berbicara sebanyak mungkin dengan menggunakan bahasa Inggris.
Di lain pihak, beberapa peneliti juga mengatakan bahwa Teknik Storytelling juga sangat membantu dalam kelas speaking. Jianing (2007) telah mengaplikasikan teknik ini dalam kelas speakingnya. Jianing menyatakan bahwa alasan utama ia merekomendasikan Teknik Storytelling dalam kelas speaking EFLnya yaitu karena cerita dapat memotivasi dan menarik, dapat menarik perhatian pendengar, serta mendorong terjadinya komunikasi.
Beberapa penelitian tindakan kelas menunjukkan bahwa pengaplikasian Storytelling juga dapat meningkatkan kemampuan siswa terutama speaking. Angelianawati (2006) melakukan penelitian tindakan kelas dengan menggunakan Teknik Storytelling yang dikombinasikan dengan Total Physical Response (TPR). Dalam teknik ini, tugas utama siswa adalah menceritakan kembali cerita yang diberikan. Penelitian yang dilakukan Angelianawati (2006) ini bertujuan meningkatkan kemampuan oral siswa kelas VIII.1 SMP Laboratorium IKIP Negeri Singaraja tahun ajaran 2005/2006. Sesuai dengan penelitiannya, tingkat kemampuan oral siswa dapat ditingkatkan dengan menggunakan teknik Storytelling dengan kombinasi TPR yaitu dari 3.12 (62%) pada pretest menjadi 3.52 (73%) pada posttest I dan pada akhirnya meningkat lagi menjadi 3.98 (80%) pada posttest II. Teknik ini juga dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam setiap aspek kemampuan oral yang meliputi pronounciation, grammar, vocabulary, fluency, dan comprehension.
Sementara itu, Ratminingsih (2006) juga melakukan penelitian tindakan kelas dengan menggunakan Teknik Storytelling yang dibantu dengan Foto Personal. Tujuan dari penelitiannya adalah untuk meningkatkan kemampuan speaking siswa dalam pelajaran bahasa Inggris yang diintegrasikan dengan kemampuan-kemampuan lain seperti listening, reading, dan writing. Obyek penelitiannya adalah siswa SMP Negeri 1 Sukasada. Dari hasil penelitian yang dilakukan didapat bahwa kemampuan speaking siswa meningkat dari 1.18 (23.6%) pada pre-test menjadi 3.07 (61.4%) pada posttest I, menjadi 3.15 (63%) pada posttest II serta meningkat lagi pada posttest III menjadi 3.37 (67.4%).
Beberapa penelitian juga mengindikasikan bahwa rangkaian gambar-gambar juga merupakan alat yang bermanfaat dalam proses belajar mengajar. Salah satunya adalah yang dilakukan oleh Siswantari (2007). Siswantari melakukan penelitian dengan menggunakan Teknik Inkuiri melalui Rangkaian Gambar di SMP Negeri 3 Sukasada. Melalui teknik ini, prestasi siswa dapat ditingkatkan dari pretest ke posttest I meningkat sebanyak 31.6% sementara dari posttest I ke posttest II meningkat sebanyak 14.3%. Data kuantitatif dari hasil pretest, posttest I, dan posttest II diantaranya 32.5, 64.1, dan 78.4. Hasil dari siklus II telah memenuhi persyaratan nilai ketuntasan yaitu 70%.
Terakhir, penelitian tentang Teknik Storytelling yang dibantu dengan Rangkaian Gambar dilakukan oleh Ratna (2008). Ratna melakukan penelitian tindakan kelas pada siswa kelas VIII.B5 SMP Negeri 6 Singaraja tahun ajaran 2008/2009 yang bertujuan untuk meningkatkan kompetensi oral siswa. Penemuan yang dihasilkan menunjukkan bahwa kompetensi oral siswa kelas VIII.B5 SMP Negeri 6 Singaraja dapat ditingkatkan dengan menggunakan Teknik Storytelling yang dibantu dengan Rangkaian Gambar. Hal ini terlihat dari peningkatan nilai rata-rata siswa dari 3.07 (62% dari nilai maksimum) dalam Pre Action Test menjadi 3.39 (68% dari nilai maksimum) dalam tes di siklus I yang pada akhirnya mencapai 3.79 (76% dari nilai maksimum) pada tes di siklus II. Selanjutnya, peningkatan siswa dalam setiap aspek kompetensi oral dapat dilihat dari peningkatan nilai rata-rata mereka seperti pada pronounciation dari Pre Action Test sampai tes pada siklus II yaitu: 2.89, 3.28, dan 3.49. Dalam hal grammar kompetensi siswa meningkat dari 2.64 pada Pre Action Test menjadi 3.51 pada tes di siklus II. Pada aspek vocabulary, nilai yang didapat siswa meningkat dari 3.13 pada Pre Action Test menjadi 3.51 pada tes di siklus I dan 3.90  pada test siklus II. Sementara itu, dalam hal fluency siswa, nilai rata-rata mereka meningkat dari 3.00 pada Pre Action Test menjadi 3.77 pada tes di siklus II. Untuk kompetensi siswa dalam hal pemahaman cerita, nilai rata-ratanya meningkat dari 3.72 pada Pre Action Test menjadi 4.28 pada tes di siklus II. Hasil dari data kuantitatif mengindikasikan bahwa penguasaan siswa terhadap kompetensi oral melalui pengaplikasian teknik ini juga meningkat. Hasil kuisioner juga membuktikan bahwa Teknik Storytelling yang dikombinasikan dengan Rangkaian Gambar dapat membantu siswa dalam menguasai kompetensi oral.