Tulisan ini pernah dipublikasikan di koran 'Tokoh' tahun Oktober 2018
ditulis oleh Dr. I.G.A. Lokita Purnamika Utami
Success
is no accident. It is hard work, perseverance, learning, studying, sacrifice
and most of all, love of what you are doing or learning to do.
-Pele-
“Have you read the drama script, Raisin in the Sun, as I told you a week
ago?” Pertanyaan saya menggema diseluruh ruang kelas drama saya hari itu.
Tidak ada satupun mahasiswa yang menjawab. Beberapa tampak saling pandang dan
kemudian menggeleng dengan malu-malu. Entah kenapa pemandangan ini terasa
begitu tidak asing bagi saya. Entah kenapa saya bahkan sudah bisa menebak hal
ini akan terjadi. Saya melayangkan pandangan saya, entah untuk apa, barangkali
untuk mencoba memuaskan secuil harapan saya, bahwa barangkali ada, setidaknya
satu orang saja, yang sudah membaca naskah tersebut. Tetapi, tampaknya saya
harus menelan kekecewaan saya lagi. Hari itu adalah kelas drama ke-3, dua kelas
drama sebelumnya juga merespon pertanyaan saya dengan respon yang tidak jauh
berbeda.
Saya mencoba memahami lagi bahwa sikap mereka disebabkan
karena naskah itu cukup panjang, sehingga mereka sudah menyerah sebelum mencoba
untuk membacanya. Saya menurunkan tagihan saya dan bertanya lagi “Did you manage to explore its plot summary
from the internet, then? Can you mention the characters of the play?” Saya
menanyakan hal ini karena setidaknya mereka melakukan hal tersebut sebelum
memasuki kelas saya. Membaca ringkasan sebuah plot tidak akan menghabiskan
banyak waktu, tetapi sangat membantu memahami naskah yng akan kami bahas hari
itu. Kembali situasi yang sama terulang lagi. Tidak ada yang menjawab. Beberapa
mahasiswa saya pura-pura sibuk mencoret-coret buku catatan mereka. Sejumlah
mahasiswa lain berusaha keras tidak beradu pandang dengan saya, mencoba menghindari
tatapan saya dan menatap lekat-lekat pada lantai didepan ujung sepatu mereka.
Saya tidak paham mengapa mereka begitu pasif dan tidak mau berusaha. Dalam
situasi-situasi seperti ini biasanya saya akan memberikan indirect instruction berupa penekanan-penekanan tentang sikap
pelajar dewasa yang bertanggung jawab terhadap pembelajarannya. Saya berharap
mereka paham apa yang dimaksud dengan autonomous
learner dan bahwa mereka hendaknya mengetahui kelebihan-kelebihan dan
kelemahan-kelemahan mereka serta mencari solusi untuk mengatasi kelemahan-kelemahan
tersebut.
Situasi-situasi diatas tidak terjadi sekali dua kali. Setiap
kali saya dihadapkan pada kenyataan bahwa mahasiswa saya belum bertanggung
jawab pada pembelajarannya, saya selalu merasa iba. Iba pada mereka dan bahkan
lebih jauh lagi khawatir terhadap nasib bangsa ini. Saya merasa iba pada mereka
karena diumur mereka yang masih begitu muda, yang seharusnya masih memiliki
semangat membara dalam usaha-usaha untuk maju, mereka malah tenggelam dalam
ketidakacuhan. Mereka memiliki rasa ingin tahu yang sangat rendah. Mereka tidak
memiliki target capaian. Bahkan mungkin tidak
tau apa target mereka, apalagi bagaimana
mencapai target tersebut. Mereka terlena dengan budaya tunggu apa kata dosen. Mereka menunggu tugas apa yang diberikan,
menunggu buku yang harus di fotokopi dan mereka menunggu instruksi dosen untuk
bisa belajar. Mereka tidak otomatis membaca sebuah buku sumber yang diberikan,
mereka tidak mencari tau, apalagi
berusaha mengaitkan dengan konsep-konsep yang telah mereka pahami. Mereka
membiarkan diri mereka hadir dikelas dengan kepala kosong dan berharap dosen
akan menjelaskan semua hal agar mereka bisa paham. Mereka tidak tau apa yang
harus dilakukan untuk belajar sampai dosen menugaskan mereka untuk mengerjakan
sebuah tugas. Banyak diantara mereka cenderung bertanya “Bu, tugasnya ini dikumpul
ya? Paling lambat kapan?” Pertanyaan ini begitu klise. Mereka perlu memutuskan
apakah mereka perlu mengerjakan tugas tersebut atau tidak. Mereka menanyakan
batas waktu pengumpulan agar mereka bisa tau berapa banyak waktu yang tersisa
untuk bersantai sebelum mengumpulkan tugas.
Selain budaya tunggu
apa kata dosen adalagi budaya yang lebih buruk, budaya copy-paste. Pembelajaran abad-21 yang mengarahkan peserta didik
untuk bersikap kreatif, kritis dan mampu menyampaikan gagasannya sendiri
tampaknya belum merasuk dengan benar pada generasi kita. Banyak diantara
mahasiswa belum memiliki rasa menghargai pekerjaan orang lain. Mereka masih
berpikir belajar secara product-oriented
dan bukan process-oriented. Mereka
melakukan apapun agar bisa menyelesaikan tugas dan mendapatkan nilai, tanpa
melalui proses belajar yang benar. Dengan kemajuan teknologi dan informasi
melalui internet, mahasiswa tidak segan-segan meng-copy sebuah artikel secara penuh dan menuliskan nama mereka sebagai
si pembuat artikel. Mereka berharap saya tidak akan tau. Entah kenapa, saya
hampir selalu tau! Gaya tulisan pada tugas yang mereka kumpulkan sangat berbeda
dengan gaya tulisan rata-rata mahasiswa. Tulisan pada tugas mereka terlalu
sempurna, bahasanya begitu menarik, pilihan katanya tepat tanpa cela dan idenya
mengalir secara koheren. Saya tidak memerlukan waktu lebih dari 2 menit membaca
tugas mereka untuk bisa mengetahui hal-hal ini.
Saya tau budaya tunggu
apa kata dosen menjadi sebuah tradisi belajar dikalangan para peserta didik.
Saya tau copy-paste bisa dilakukan
dengan mudah. Saya tidak kesal dengan sikap pasif mereka. Saya juga tidak
kesal, jika suatu ketika saya kecolongan dan mereka mendapat nilai tinggi dari
hasil plagiasi mereka. Saya malah merasa khawatir pada nasib bangsa ini. Jika 50%
saja mahasiswa kita tamat, kemudian bekerja dan membawa budaya-budaya buruk ini,
bagaimana nasib bangsa ini? Apa jadinya jika banyak dokter memiliki sikap yang
tidak kritis dalam mendiagnosa penyakit karena lulus dari hasil menjiplak
dengan pemahaman konsep yang rendah? Apa jadinya bangsa ini jika para sarjana
farmasi kita tidak tau cara mencampur obat yang tepat, dan hanya mengira-ngira
dosis campuran? Apa jadinya jika gedung-gedung pencakar langit kita didesain
oleh arsitek-arsitek yang tidak memahami angka, garis, dan sudut? Apa jadinya
seluruh anak-anak bangsa ini, jika guru yang mengajar mereka tidak bisa
mendesain pembelajaran sesuai dengan karakteristik peserta didik atau tidak
paham dengan konsep Zone of Proximal
Development? Apa jadinya nasib bangsa ini, jika dosen-dosen di Perguruan
Tinggi enggan melakukan professional
development untuk selalu mengisi diri mereka dengan kebaruan ilmu
pengetahuan? Apa jadinya nasib bangsa
ini jika pekerja-pekerja kita tidak tau benar tentang pekerjaan mereka, melakukan
berbagai kecurangan untuk menghindari hal-hal yang sulit dalam pekerjaan mereka
dan menganggap remeh pekerjaan mereka?
Bunyi jangkrik malam ini menemani pikiran saya yang
menerawang pada harapan dan kenyataan yang dihadapi banga ini. Bangsa ini
memerlukan generasi yang sukses untuk maju. Generasi yang mau bekerja keras.
Generasi yang memiliki kemauan dan dedikasi tinggi dalam bidangnya. Dengan kata
lain, generasi yang mau sepenuh hati terlibat dalam mengerjakan tugas mereka karena
mereka mencintai apa yang mereka lakukan dan melakukan apa yang mereka cintai. Kita,
saya dan anda, ya kita para pengajar generasi sukses termasuk para orang tua
dari anak-anak kita sendiri harus bisa menanamkan sikap-sikap ini sehingga
mereka bisa tumbuh menjadi generasi yang unggul dan bertanggung jawab. Dalam
memilih pendidikan mereka, biarkan mereka memilih bidang yang mereka suka.
Dirumah, ajari mereka untuk hidup dengan penuh usaha, tanggung jawab dan
memiliki sikap menghargai pekerjaan orang lain. Libatkan mereka untuk turut
berpikir dalam proses pengambilan keputusan. Dengarkan dan hargai pendapat
mereka. Berikan mereka sebuah tanggung jawab untuk megembangkan sikap tanggap
seperti mengetahui apa yang harus mereka lakukan dan bersedia melakukan hal-hal
tersebut. Malam semakin larut, bunyi jangkrik masih terdengar, awalnya keras
kemudian terdengar sayup-sayup, mengantarkan pikiranku pada hal-hal yang bisa
saya lakukan untuk generasi baru ini.