Wednesday, December 10, 2008

indonesia dalam reformasi manajemen pendidikan

INDONESIA DALAM REFORMASI MANAJEMEN PENDIDIKAN

PENDAHULUAN

Di awal abad ke-21 ini, prestasi pendidikan Indonesia tertinggal jauh dibawah Negara-negara Asia lainnya seperti Singapura, Jepang dan Malaysia. Bahkan jika dilihat dari indeks sumber daya manusia, yang salah satu indikatornya adalah sektor pendidikan, posisi Indonesia kian menurun dari tahun ke tahun. Menurut Laporan Bank Dunia tahun 1992, studi IEA (International Association for the Evaluation of Educational Achievement) menunjukan ketrampilan membaca siswa Indonesia kelas IV SD berada pada posisi terendah. Anak-anak Indonesia ternyata hanya mampu menguasai 30% dari materi bacaan dan ternyata mereka sulit sekali menjawab soal-soal berbentuk uraian yang memerlukan penalaran. Dalam dunia pendidikan tinggi menurut majalah Asia Week, dari 77 Universitas yang disurvai di Asia pasifik, ternyata 4 universitas terbaik di Indonesia hanya mampu menempati peringkat ke-61, ke-68, ke-73 dan ke-75. Indikator lain yang menunjukkan betapa rendahnya mutu Pendidikan di Indonesia dapat dilihat dari data UNESCO tahun 2000 tentang peringkat Indeks Pengembangan Manusia ( Human Development Index), yaitu komposisi dari peringkat pencapaian pendidikan, kesehatan dan penghasilan per kepala yang menunjukkan bahwa indeks pengembangan manusia Indonesia makin menurun. Diantara 174 negara di dunia, Indonesia menempati peringkat ke-102 pada tahun 1996, ke-99 pada tahun 1997, ke-105 tahun 1998, dan ke-109 tahun 1999 dan menurun ke urutan 112 pada tahun 2000. Bahkan, menurut survey Political and Economic risk Consultant (PERC), kualitas pendidikan Indonesia berada pada urutan ke-12 dari 12 negara Asia.

Lemahnya sumber daya manusia di Indonesia merupakan suatu akibat dari kekeliruan pembanguanan pada masa orde baru yang lebih menekankan pada pembangunan fisik dibandingkan meningkatkan mutu pendidikan. Padahal dengan meningkatkan mutu pendidikan, maka Indonesia akan memiliki SDM yang berkualitas yang akan mampu membantu bangkitnya bangsa dari keterpurukan ekonomi. Rosyada, (2004: 2) menegaskan kembali pendapat Dody Heriawan Priatmoko yang menyatakan bahwa Pendidikan merupakan faktor penting dalam pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan kualitas SDM. Hal ini pun sejalan dengan konsep pemikiran Joseph Murphy (dalam Rosyada, 2004: 13) yang menyatakan bahwa kemunduran sektor ekonomi merupakan akibat langsung dari lemahnya sektor pendidikan.

Pendidikan Indonesia memang memiliki berbagai masalah yang perlu untuk dicermati. Sebagai contoh misalnya manajemen pendidikan Indonesia yang dulu bersifat sentralistik yang memiliki implikasi-implikasi yang panjang. Semua kebijakan ditentukan oleh Departemen Pendidikan yang memiliki kepanjangan tangan di tingkat provinsi yang disebut Kantor Wilayah (Kanwil), dan dibawahnya, ditingkat kabupaten ada Kantor Departemen (Kandep). Untuk SD bahkan ada Kantor Cabang Dinas di Kecamatan. Karena sifatnya yang hierarkhis itulah maka birokrasi justru menimbulkan efek negatif, lamban, dan berbelit-belit. Sehingga, terjadi suatu fenomena dimasyarakat tentang nasib sebuah sekolah, walaupun sudah ditayangkan lewat televisi atau koran, tetapi kalau belum ada ‘surat resmi’ sekolah dianggap ‘belum tahu.’ Bukan itu saja, Sumarsono (2004: 28) bahkan menyatakan bahwa adanya kekonyolan sistem birokrasi yang menghendaki agar semua informasi yang ‘serba bagus’ mengalir ke bawah, sementara informasi dari bawah yang bersifat ‘keluhan’ atau ‘kritik’, tidak dihiraukan.

Berkaitan dengan sistem birokrasi dan aturannya, ditemukan pula implikasi yang terjadi pada kualitas calon kepala sekolah. Seorang calon kepala sekolah bukannya ditentukan karena kualitas dan profesionalisme yang dimilikinya melainkan ditentukan oleh atasan “sesuai dengan birokrasi yang berlaku.” Begitu pula perekrutan guru-guru yang tidak berdasarkan kualitas. Banyak sekali jalan ‘samping’ yang bisa ditempuh seorang calon guru agar bisa menjadi guru. Hal ini menyebabkan sepanjang dia diumumkan lulus tes CPNS maka dia menjadi guru tanpa dipertanyakan apakah ia benar-benar berkualitas. Untuk seorang qualified teacher seharusnya ada tes khusus (performance tes) yang dapat mengases kualitas dan profesionalitas mereka, dan bukan hanya dengan menjalani tes tulis. Dengan demikian akan diketahui apakah mereka memiliki ketrampilan mengajar, apakah mereka cukup up to date untuk menggunakan model pembelajaran yang inovatif, apakah mereka bisa mengembangan materi pelajaran agar bersifat kontekstual dan penuh makna dan sebagainya

Hal-hal lain yang berkenaan dengan fenomena disekolah adalah pengajaran materi pelajaran oleh guru yang tidak ahli dalam bidangnya. Sebagai contoh, mata pelajaran Bahasa Inggris diampu oleh guru Bahasa Indonesia, dan mata pelajaran matematika diampu oleh guru fisika. Bagaimana kita bisa mengharapkan pendidikan yang berkualitas kalau para pendidik masih perlu dipertanyakan kualitasnya? Belum lagi banyaknya tuntutan dan beban kerja guru yang menyangkut pembuatan administrasi guru seperti program semester, program tahunan, rencana pembelajaran. Guru banyak mengeluh karena tidak hanya pembuatan administrasi guru ini tidak efisien tetapi juga sering tidak konsisten karena setiap pengawas yang datang ke sekolah membawa ide yang berbeda-beda tentang bagaimana administrasi guru yang seharusnya. Penjelasan para pengawas tentang administrasi guru lebih banyak mengarah kepada format dari administrasi tersebut, dan sangat jarang terlibat langsung dalam diskusi model pembelajaran yang bisa meningkatkan mutu atau kualitas belajar siswa. Begitu juga dengan sikap guru yang cenderung membuat administrasi guru tersebut untuk mengikuti ‘birokrasi’ padahal belum tentu apa yang dicantumkan dalam administrasi itu benar-benar dilaksanakan. Lalu sebenarnya apa yang menjadi goal pendidikan kita? Apakah memiliki administrasi guru yang lengkap dan sesuai dengan format yang benar ataukah memiliki proses belajar mengajar yang berkualitas di dalam kelas?

Bahkan, tidak hanya SDM Indonesia yang lemah tetapi juga fasilitas-fasilitas sekolah yang belum memadai. Di televisi banyak disiarkan tentang sekolah-sekolah yang bukan saja tidak lengkap fasilitasnya melainkan juga tidak layak untuk disebut sekolah. Bagaimana tidak, sekolah yang atapnya bocor, yang penyangga bangunannya rapuh dan bengkok, bahkan yang sebelah dinding kelasnya roboh masih digunakan sebagai tempat belajar.

Dengan demikian, gagasan-gasan tentang reformasi pendidikan di Indonesia menjadi sangat relevan, terutama dalam penyiapan SDM yang berkualitas. Reformasi pendidikan harus dimulai dengan perbaikan pendidikan pada semua jenjang dan jalur, meliputi perbaikan perencanaan, proses pembelajaran, dukungan alat dan sarana pembelajaran, serta perbaikan manajemen untuk mencapai perbaikan pada hasil pendidikan. Berdasarkan hal tersebut maka kita perlu lebih tahu secara mendalam apa itu reformasi pendidikan, manajemen pendidikan seperti apa yang diharapkan, apa dampak yang diharapkan dari manajemen pendidikan baru terhadap karakteristik sekolah serta bagaimana Indonesia sejauh ini menjalani reformasi pendidikan.

APA REFORMASI PENDIDIKAN

Isu reformasi pendidikan bukanlah sesuatu yang baru. Gagasan tentang reformasi pendidikan merupakan suatu refleksi pemikiran untuk melakukan berbagai perubahan pendidikan yang komprehensif sebagai respon terhadap perubahan dunia yang sedang terjadi. Kemunduran sektor perekonomian Indonesia merupakan suatu akibat dari lemahnya mutu pendidikan. Jika perekonomian Negara ingin bangkit maka sektor pendidikan harus diperbaiki karena SDM yang diluluskan akan mempengaruhi maju mundurnya perekonomian bangsa. Terkait dengan hal ini, Joseph Murphy (1992) dalam Rosyada (2004: 13) menegaskan bahwa reformasi adalah gagasan awal yang mendasari restrukturisasi pendidikan, yakni memperbaharui pola hubungan sekolah dengan lingkungannya dan dengan pemerintah, pola pengembangan perencanaan serta pola pengembangan manajerialnya, pemberdayaan guru dan rekonstrukturisasi model-model pembelajaran.

Pendidikan dalam millennium ketiga perlu direkonstruksi karena terdapat perubahan-perubahan sosial yang mengubah kehidupan manusia. Perubahan-perubahan sosial tersebut adalah proses globalisasi, demokratisasi, dan kemajuan teknologi informasi. Keseluruhan perubahan-perubahan besar tersebut mempengaruhi proses pendidikan.

Proses globalisasi ini membawa perubahan pada kehidupan masyarakat. Proses globalisasi menyatukan kehidupan manusia yang membawa perubahan tingkah laku manusia, lembaga-lembaga sosial serta hubungan antar manusia. Pendidikan tradisional yang dulu hanya terkungkung dalam ruang keluarga dan masyarakat nasional mendapat hembusan angin segar globalisasi. Sehingga, pendidikan di era globalisasi membuka jendela serta cakrawala umat manusia untuk belajar dari perkembangan dunia dan membentuk warga negara berwawasan global. Sejalan dengan proses globalisasi tersebut, lahirlah gerakan-gerakan yang menuntut hak asasi manusia yang digambarkan didalam semakin gencarnya proses demokratisasi. Semua orang ingin diakui keberadaannya, ingin diakui harkat serta hak-hak dan kewajibannya. Semua hal tersebut memberikan pengaruh terhadap pendidikan yang tidak terbatas pada perkembangan individu, tetapi individu yang hidup dengan individu yang lain dalam lingkungan lokal, nasional dan global. Proses demokratisasi ini lebih ditunjang oleh perkembangan lalu lintas informasi dan ilmu pengetahuan karena ditunjang oleh kemajuan teknologi informasi.

Perubahan kehidupan manusia di era globalisasi menuntut manajemen yang sesuai. Praktik manajemen pendidikan melalui pendekatan sentralistik harus membuka diri terhadap perubahan-perubahan di dalam kehidupan manusia yang berorientasi global. Apabila di masa lalu, keinginan lembaga-lembaga pendidikan melakukan inovasi seolah-olah terpasung karena manajemen pendidikan merupakan bagian dari birokrasi pemerintah, maka kini manajemen pendidikan perlu membuka pintu bagi lembaga-lembaga pendidikan untuk melakukan berbagai inovasi.

Salah satu perubahan mendasar dari reformasi pendidikan dalam era reformasi ini adalah lahirnya UU. No. 22 tahun 1999 serta Undang-undang no 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Kedua Undang-undang tersebut membawa perspektif baru yang amat revolusioner dalam konteks perbaikan sektor pendidikan, yang mendorong pendidikan sebagai urusan publik dan urusan masyarakat secara umum dengan mengurangi otoritas pemerintah baik dalam kebijakan kurikulum, manajemen maupun berbagai kebijakan pengembangan institusi pendidikan itu sendiri. Arah reformasi pendidikan ini adalah demokratisasi dalam pengembangan dan pengelolaan pendidikan, didukung oleh komunitasnya sebagai kontributor dalam penyelenggara pendidikan tersebut.

Hal tersebut diatas secara tidak langsung disinggung oleh Ackerman and Alscott dalam bukunya The Stakeholder Society bahwa orang tua, masyarakat, pemerintah daerah dan pemerintah nasional merupakan para stakeholders dari pendidikan yang berhak mengetahui dan mengontrol apa yang dilaksanakan dalam lembaga-lembaga pendidikannya.

Pada masa orde baru, pendidikan telah terhempas dari masyarakat dan telah menjadi milik penguasa. Masyarakat menerima saja apa yang direkayasa oleh pemerintah dengan birokrasinya mengenai pendidikannya. Sesuai dengan perkembangan masyarakat demokrasi, maka sikap masyarakat yang pasif serta kekuasaan pemerintah yang tidak terbatas terhadap pendidikan sudah harus dihilangkan. Tilaar (2002) menyatakan bahwa masyarakat adalah salah satu stakeholders terpenting pendidikan. Pendidikan adalah milik masyarakat. Apabila kita lihat pendidikan pada masa orde baru, maka masyarakat tidak mempunyai hak suara terhadap pendidikannya. Sementara dalam pendidikan demokratis, karena masyarakat telah berpartisipasi dalam bentuk pajak, maka masyarakat mempunyai hak untuk mengetahui dan mengontrol apa yang dilaksanakan didalam pendidikannya. Hal ini berarti visi, misi serta program yang dilaksanakan didalam lembaga pendidikan perlu diketahui oleh masyarakat. Masyarakat berhak ikut serta didalam setiap proses pelaksanaan pendidikan sejak pada tahap perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, dari lembaga-lembaga pendidikan. Pada masa lampau seakan-akan pendidikan itu hanya dimiliki oleh pemerintah dan birokrasinya. Apa yang diinginkan pemerintah dan apa yang dilaksanakan oleh birokrasi termasuk para pendidiknya, tidak dapat dan tidak boleh dinilai oleh masyarakat, padahal sebenarnya masyarakatlah pemilik pendidikan itu.

REFORMASI MANAJEMEN PENDIDIKAN

Apa yang terjadi pada manajemen pendidikan sentralistik sungguh perlu direkonstrukturisasi dengan manajemen pendidikan yang baru. Indonesia terdiri dari berbagai pulau, yang masyarakatnya berada pada rentangan sangat modern (dengan teknologi mutakhir) dan warga yang masih buta huruf dan hidup primitif. Hal ini menyebabkan tidak mungkin segala pengelolaan pendidikan selalu diputuskan di Jakarta. Begitu pula kurikulum yang berlaku untuk seluruh Indonesia sangatlah tidak mungkin. Karena itu diperlukan diversifikasi kurikulum sesuai dengan ciri khas daerah dan sekolah. Jika desentralisasi pendidikan itu betul-betul secara konsekuen dilaksanakan maka sekolah harus diberi keleluasaan menyesuaikan kurikulum nasional dengan kondisi dan ciri khas sekolah itu sendiri.

Dengan demikian reformasi pendidikan diharapkan menjangkau semua orang, kelompok dan unsur-unsur yang terkait dengan pelaksana pendidikan, yakni siswa-siswa sekolah itu sendiri, para guru, orang tua siswa, pimpinan sekolah, kantor pemerintah, buku teks dan penerbit buku teks serta unsur-unsur lainnya (Walker, 1997:80 dalam Rosyada, 2004:13). Dengan demikian, reformasi pendidikan mencakup perbaikan dan perubahan dalam sektor kurikulum, baik struktur maupun prosedur perumusannya, serta pengelolaan sekolah yang berbasis pada masyarakat.

Sehubungan dengan hal tersebut Tilaar (2002) menegaskan bahwa masyarakat merupakan salah satu pemegang hak dalam pendidikan, maka tujuan lembaga-lembaga pendidikan harus pula menampung apa yang diinginkan masyarakat, dan bukan hanya menampung apa yang diinginkan birokrasi. Di dalam kaitan ini, perlu ada lembaga atau struktur organisasi di dalam lembaga-lembaga pendidikan di mana masyarakat ikut berpartisipasi. Sayangnya, pada pendidikan Indonesia, partisipasi masyarakat baru mencakup penanaman investasi dalam pendidikan berupa SPP, pajak dan sebagainya. Sesungguhnya, masyarakat perlu diikutsertakan dalam merencanakan kurikulum pendidikan, evaluasi pendidikan serta hal-hal yang menyangkut proses belajar. Dengan demikian, tujuan manajemen pendidikan yang menampung semua unsur pemilik pendidikan itu harus dapat dirumuskan dengan baik agar tujuan pendidikan, yakni kualitas pendidikan yang tinggi dapat dicapai. Manajemen pendidikan tidak lain diarahkan kepada meningkatkan kualitas pendidikan, yaitu pendidikan yang mempunyai relevansi dan akuntabilitas. Relevansi pendidikan hanya dapat dicapai apabila masyarakat sendiri ikut serta di dalam proses pelaksanaan visi, misi, kebutuhan dari masyarakat pemiliknya. Demikian pula, suatu lembaga pendidikan memiliki kualitas yang tinggi apabila memiliki akuntabilitas terhadap masyarakatnya. Hal ini berarti, semua program yang ada di dalam lembaga pendidikan accountable terhadap pemiliknya. Semua ini dapat dilaksanakan melalui apa yang disebut manajemen pendidikan berbasis sekolah dan pendidikan berbasis masyarakat (Community based Education). Manajemen pendidikan berbasis sekolah, harus mengikutsertakan semua stakeholders di dalam sekolah tersebut. Dan selanjutnya, di dalam pendidikan berbasis masyarakat, semua stakeholders di dalam masyarakat harus ikut serta di dalam penyelenggaraan dalam semua aspek manajemennya. Paradigma berpikir yang menunggu petunjuk pelaksana pemerintah pusat haru diubah menjadi inisiasi yang dinamis, konstruktif, sehingga dapat melahirkan sekolah yang kompetitif, unggul, dengan mengoptimalkan potensi-potensi sumber daya yang dimiliki sekolah-sekolah tersebut.

Berbagai konsekuensi dari upaya-upaya reformasi ini adalah perubahan-perubahan yang tidak dapat dielakkan, seperti menurunnya peran birokrasi dalam kebijakan kurikulum operasional karena lebih banyak ditentukan oleh sekolah bersama komite sekolahnya sendiri. Setiap perubahan membawa konsekuensi, dan konsekuensi itu harus dihadapi bukan ditakuti, karena pasti terjadi.

SEKOLAH DENGAN MANAJEMEN PENDIDIKAN BERBASIS MASYARAKAT

Pelibatan masyarakat dalam pendidikan diharapkan membawa perubahan mendasar pada karakteristik sekolah. Perencanaan, pengelolaan dan evaluasi penyelenggaraan pendidikan disekolah akan menjadi lebih demokratis sebagai akibat dari masuknya partisipasi masyarakat sebagai stakeholders sekolah. Mekanisme demokratis yang terjadi pada seluruh perencanaan, pengelolaan dan evaluasi penyelenggaraan pendidikan di sekolah menyebabkan sekolah bertransformasi menjadi sekolah demokratis.

Didalam sekolah demokratis, semua informasi penting dapat dijangkau oleh semua stakeholders sekolah, sehingga semua unsur tersebut memahami arah pengembangan sekolah, berbagai problema yang dihadapinya, serta langkah-langkah yang sedang ditempuh. Dengan demikian, mereka akan bisa menganalisis relevansi kebijakan-kebijakan tersebut, memahami, mengkritisi dan memberi masukan, serta menentukan kontribusi serta partisipasi yang akan diberikannya untuk kesuksesan pelaksanaan program-program sekolah tersebut. Kemudian tidak hanya itu, didalam sekolah demokratis secara berangsur angsur terdapat sikap trust atau kepercayaan, yakni orang tua percaya pada kepala sekolah untuk mengembangkan program-program sekolah menuju idealitas yang diinginkan, kemudian, kepala sekolah juga percaya pada guru untuk mengembangkan program-program kurikulernya serta mengorganisir pelaksanaan programnya itu.

Karakteristik lain dari sekolah demokratis adalah adanya perhatian yang kuat terhadap hak-hak asasi manusia. Persoalan kesejahteraan para guru, serta semua yang terkait dengan pengelolaan sekolah harus menjadi perhatian serius, dan manajemen harus dilakukan secara terbuka, khususnya dalam aspek-aspek yang bersifat publik harus dikelola secara transparan, sehingga semua ikut terlibat dalam menentukan dan memutuskannya. Dan bagian yang amat sensitif serta selalu menjadi persoalan universal, adalah hak-hak minoritas dalam komunitas sekolah yang harus diperhatikan sama, tidak boleh ada diskriminasi atas dasar perbedaan ras, agama atau warna kulit.

Disamping hal tersebut diatas pengimplementasian pola-pola demokratis di sekolah mengantarkan para siswa pada praktik-praktik demokratis. Pelibatan masyarakat dalam menentukan program, mengambil keputusan, mengevaluasi program atau bahkan mengkritisi dan memberikan saran kepada sekolah memberikan rasa aman bagi para siswa. Salah satu contoh dalam pembinaan siswa, guru harus mampu memberikan perhatian yang sama pada semua siswa karena pendidikan itu untuk semuanya. Jadi, guru membina siswa tanpa membedakan antara yang pintar dan yang kurang pintar, semua diberikan perlakukan walaupun bentuknya berbeda. Mereka yang kurang pintar diberi waktu untuk memperbaiki dan meningkatkan kemampuannya. Guru tidak akan mau melakukan hal-hal yang tidak demokratis karena stakeholders sekolah selalu mengontrol dan mengevaluasi pembinaan siswa di sekolah. Pola-pola pembinaan seperti ini, telah memberi pengalaman-pengalaman praktik demokrasi bagi anak-anak yakni perhatian yang seimbang terhadap semua siswa, tanpa membedakan mayoritas dan minoritas dalam sekolahnya.

Pengembangan sekolah menjadi sekolah demokratis sangatlah relevan karena sesuai dengan tipologi sekolah abad ke-21. Menurut Lyn Haas (Haas, 1994 dalam Rosyada, 2004) sekolah-sekolah sekarang harus dapat memenuhi beberapa kualifikasi ideal:

1. Pendidikan untuk semua; yakni semua siswa harus mendapat perlakuan yang sama, memperoleh pelajaran sehingga memperoleh peluang untuk mencapai kompetensi keilmuan sesuai batas-batas kurikuler, serta memiliki basis skills dan ketrampilan yang sesuai dengan minat mereka, serta sesuai pula dengan dengan kebutuhan pasar tenaga kerja.

2. Memberikan skill dan ketrampilan yang sesuai dengan kemajuan teknologi terkini, karena pasar menuntut setiap tenaga kerjanya memiliki ketrampilan penggunaan alat-alat teknologi termodern, kemampuan komunikasi global, matematika, serta kemampuan akses pada pengetahuan.

3. Penekanan pada kerjasama, yakni menekankan pada pengalaman para siswa dalam melakukan kerjasama dengan yang lainnya, melalui penugasan-penugasan kelompok dalam proses pembelajaran. Hal ini sangat penting karena trend pasar kedepan adalah pengembangan kerjasama baik antar perusahaan ataupun perusahaan dan masyarakat; sehingga, pengalaman mereka belajar akan sangat bermanfaat dalam artikulasi diri di lapangan profesi mereka.

4. Pengembangan kecerdasan ganda; yakni bahwa para siswa harus diberi kesempatan untuk mengembangkan multiple intelligent mereka, dengan memberi peluang untuk mengembangkan skill dan ketrampilan yang beragam, sehingga mudah melakukan penyesuaian di pasar tenaga kerja.

5. Integrasi program pendidikan dengan kegiatan pengabdian pada masyarakat, agar mereka memiliki kepekaan sosial.

Kelima point diatas memperlihatkan adanya tuntutan kurikulum yang dinamis, progresif dan peka terhadap berbagai kemajuan dan perkembangan teknologi di luar sekolah, sehingga jika kurikulum dan perencanaan sekolah itu sangat ditentukan oleh struktur birokrasi yang kaku, sekolah bisa tertinggal oleh kemajuan dan sekolah akan kehilangan relevansinya dengan berbagai perubahan, yang pada akhirnya akan ditinggalkan oleh para stakeholders-nya sendiri. Oleh sebab itu model sekolah demokratis sangat relevan untuk dikembangkan.

INDONESIA DALAM REFORMASI MANAJEMEN PENDIDIKAN

Sejak lahirnya UU no 22 tahun 1999 tentang otonomi daerah yang meletakkan sektor pendidikan sebagai salah satu yang diotonomisasikan, pendidikan memasuki era baru dengan semangat demokratis. Daerah menyambut undang-undang tersebut karena memberi peluang pada sekolahnya untuk mengembangkan perencanaan sekolah, pengembangan kurikulum, maupun penetapan berbagai kebijakan mendasar dari sekolah tidak terkecuali sekolah negeri.

Persoalan besar dalam UU no 22 tahun 1999 adalah perubahan radikal dalam otoritas pengembangan pendidikan yang semula berada dalam kekuasaan pemerintah pusat melalui Depdiknasnya, kini terdelegasikan pada pemerintah daerah. Dan kini perubahan radikal tersebut memperoleh penguatan dengan diundangkannya UU no 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan nasional (Sisdiknas), yang menegaskan dalam pasal 4 ayat 1 bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultular dan kemajemukan bangsa. Poin penting dalam ayat ini adalah menegaskan bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis, artinya, keterlibatan masyarakat dan otoritas pengelola serta institusi-institusi pendukungnya akan lebih besar daripada pemerintah pusat.

Bersamaan dengan itu pada pasal 9 dinyatakan bahwa masyarakat berhak berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan. Akan tetapi rupanya pergeseran yang radikal dari sistem pendidikan sentralisasi ke sistem otonomi daerah belum bisa sepenuhnya diimplementasikan sesuai dengan teorinya.

Menurut Sumarsono (2004:7) desentaralisasi politik dan desentralisasi administrasi itu berbeda. Desentralisasi politik atau demokrasi menyangkut pada penyerahan kekuasaan untuk keputusan tentang pendidikan si tingkat pemerintahan yang lebih rendah. Desentralisasi administrasi atau birokrasi hakikatnya adalah suatu strategi manajemen. Kekuasaan politik tetap ditangan orang-orang di pusat organisasi, tetapi tanggung jawab dan wewenang untuk perencanaan, manajemen, keuangan, dan sebagainya diserahkan ke bawah.

Lalu apa yang terjadi di Indonesia? Dalam harian Kompas tertanggal 6 Desember 2007, Maria FK Namang menyoroti tentang pelaksanaan pendidikan Indonesia sebagai neokolonisasi pendidikan. Namang memberikan contoh paling pelaksanaan kurikulum dan Ujian Nasional (UN) dewasa ini.

Guru yang telah disertifikasi diharapkan menjadi desainer pendidikan disekolahnya. Ia perlu inovatif dan kreatif (atau setidaknya imitatif) dalam merancang model pembelajaran yang lebih tepat. Kenyataan justru lain. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) tidak lebih dari bundelan kertas yang disiapkan begitu rapi menyambut akreditas. Bas-basi proses belajar mengajar lalu diarahkan kepada pemantapan ujian negara...

Kutipan diatas menunjukkan bahwa perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi pendidikan yang menurut teori akan diserahkan kepada otoritas pengelola serta institusi-institusi pendukungnya; kenyataanya masih pula dipegang oleh pemerintah pusat. Hal inilah yang menyebabkan para pendidik mengalami kesulitan untuk melakukan inovasi pendidikan terkait dengan materi pelajaran yang diberikan. Dengan adanya campur tangan pemerintah menentukan UN, pendidikan sekolah di daerah kembali pada pelaksanaan pendidikan lampau yaitu mengikuti kebijakan strategi pendidikan pusat. Guru yang semula merasa bebas dari belenggu keterikatan pemerintah pusat untuk menentukan arah pembelajarannya kini malah kebingungan. KTSP yang semula tersengar begitu menjanjikan kebebasan dan kesempatan berinovasi kini malah terpenggal dengan pelaksanaan Ujian nasional. Bahkan Namang menyatakan bahwa kebijakan strategis pemerintah tersebut telah hadir sebagai model penjajahan baru. Kurikulum yang tidak diaplikasikan secara konsisten dan masuknya UN ditengah otonomi pendidikan merupakan dikte yang lebih tragis dari kebijakan penjajahan mengontrol pendidikan.

Sepanjang pendidikan dikelola dalam iklim yang tidak kreatif dan dinaungi oleh pelbagai jenis neokolonialisasi, hal-hal seperti spirit demokrasi, pembinaan, kemanusiaan, kesederajatan, tidak akan dapat terbentuk. Dengan demikian, memberikan kesempatan bagi iklim kreatif memasuki gedung-gedung sekolah kita rupanya salah satu hal yang bisa menjanjikan terjadinya kebebasan, inovasi, kreativitas dan transformasi sosial untuk pencerdaskan kehidupan bangsa.

PENUTUP

Sesunguhnya, pendidikan Indonesia memang masih dalam proses reformasi, yang berarti belum mencapai titik sempurna sebagai hasil reformasi itu sendiri. Tentu masih banyak perubahan yang mungkin terjadi setelah adanya berbagai evaluasi terhadap wajah pendidikan kita sekarang. Semoga apa yang menjadi harapan kita, yaitu meningkatnya sumber daya manusia melalui sektor pendidikan untuk membangkitkan negara kita dari keterpurukan akan bisa tercapai.

Daftar Pustaka

Namang, Maria FK. 2007. Neokolonialisasi Pendidikan Artikel harian kompas edisi 6 Desember 2007.

Rosyada, Dede. 2004. Paradigma Pendidikan Demokratis. Jakarta: Prenada Media

Sumarsono. 2004. Otonomi Pendidikan. .....

Tilaar, H.A.R. 2002. Perubahan Sosial dan Pendidikan. Jakarta: PT Grasindo

INDONESIA DALAM REFORMASI MANAJEMEN PENDIDIKAN

(Tugas Mata Kuliah Landasan Pendidikan)

Oleh:

I.G.A. Lokita Purnamika Utami

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS PENDIDIKAN GANESHA

2008

No comments:

Post a Comment