Monday, September 6, 2010

Pengembangan Kompetensi Pragmatik


Pengembangan Kompetensi Pragmatik Bahasa Inggris pada
Siswa SMA Negeri 1 Singaraja

Oleh:
I.G.A. Lokita Purnamika Utami, S.Pd, M.Pd


Abstrak:



1. Pendahuluan

Salah satu ketrampilan bahasa yang bisa memfasilitasi kegiatan mengakses pengatahuan adalah kompetensi pragmatik, yaitu kompetensi yang terpusat pada penggunaan bahasa baik secara lisan maupun tulisan. Kompetensi pragmatik yang dimiliki siswa memudahkannya dalam memahami sebuah wacana atau pengetahuan yang disampaikan secara lisan.
Kurikum berbasis kompetansi SMA untuk kelas X menyatakan bahwa siswa diharapkan untuk mampu memahami makna dalam percakapan transaksional dan interpersonal resmi dan tak resmi yang menggunakan ragam bahasa lisan sederhana secara akurat. Berdasarkan hal tersbut kompetensi penggunaan bahasa atau kompetensi pragmatik secara oral diharapkan bisa dikuasai oleh para siswa kelas X.
Bagaimana mengajarkan kompetensi pragmatik kepada para siswa? Pertanyaan ini telah berusaha dijawab oleh berbagai penelitian. Penelitian-penelitian tentang kemampuan berbicara mengungkapkan bahwa siswa banyak mengalami kendala dalam menemukan ide, mengawali ide dalam berbicara, dan mengorganisasikan ide dalam berbicara (Agustini, 2001; Martha, 2004; Tresnawati, 2008; Sarmini, 2008; dan Meirawati, 2008)
Para akademisi juga banyak berpendapat dan menjadi sebuah debat tanpa akhir tentang penggunaan teknik yang bersifat kerja group atau teknik yang lebih bersifat kerja individual yang mampu meningkatkan kemampuan berbicara siswa. Berbagai alasann dikemukakan untuk mendukung pendapat tersebut. Bagi yang menyatakan kerja kelompok lebih menguntungkan (Tresnawati, 2008; Sarmini, 2008; Meirawati, 2008) menyampaikan bahwa kehadiran teman sebaya dalam sebuah diskusi menyebabkan meningkatnya percaya diri dan keberanian untuk berbicara dalam bahasa inggris. Sementara, bagi kelompok akademisi (Agustini, 2001; Meirastuti 2008) yang menyatakan kerja individual lebih menguntungkan meyakini bahwa kegiatan berbicara adalah kegiatan yang bersifat sangat personal atau pribadi yang melibatkan waktu berlatih, motivasi personal, bakat dan lain-lain.
Sehubungan dengan penelitian ini, 4 penelitian eksperimen telah dilaksanakan untuk mencari perbedaan hasil belajar siswa dengan membandingkan masing-masing teknik-teknik berikut- teknik Role Play, teknik Group story telling and Fun Game, teknik panauricon dan teknik guided dialog- dengan teknik pengajaran konvensional. Empat penelitian eksperimen inilah yang melandasi penelitian ini. Hanya saja pada penelitian ini, yang dibandingkan adalah keempat teknik tersebut diatas, bukan dibandingkan dengan teknik konvensional.
Berdasarkan pemaparan diatas penelitian kali ini akan bertujuan umum untuk mengembangkan kompetensi pragmatik siswa kelas X secara efektif melalui suatu intervensi dengan berbagai teknik pembelajaran wicara (speaking) dalam bahasa Inggris, yaitu: Role Play, Group Story Telling and Fun Game, Panauricon, dan Guided Dialogue. Untuk itu keempat teknik ini akan dibandingkan untuk melihat apakah ada perbedaan yang signifikan pada hasil belajar siswa, dan untuk mencari tahu teknik mana yang paling efektif untuk dapat meningkatkan hasil belajar siswa.

2. Kajian Teori dan Kajian Empirik

2.1. Konsep tentang Kajian Pragmatik
Crystal dalam Kasper (1997) menyatakan bahwa pragmatic adalah sebuah pembelajaran tentang bahasa yang dilihat dari sudut pandang pengguna bahasa itu sendiri, khususnya tentang pilihan kata yang mereka pakai. Disisi lain, ditemukan juga bahwa pragmatics itu menekankan pada bagaimana susunan dari kata atau frasa itu dapat merubah makna dari sebuah kalimat atau ucapan. Ucapan yang diujarkan oleh pengguna bahasa ketika dia berbicara cenderung ambigu. Itu berarti bahwa ucapan mereka mungkin saja mengandung arti/ makna lain disamping dari makna yang sebenarnya. Oleh karena itu, mengerti dan mengetahui maksud dari orang yang berbicara itu, siapa yang berbicara, dan konteks dari pembicaraan tersebut sangatlah penting guna memudahkan lawan bicaranya memahami makna dari ucapan yang disampaikan sehingga tidak dak ada kesalahpahaman dan respon yang diberikan nantinya juga akan sesuai. Jadi, dengan mengerti dan memahami maksud dari pembicara, pengguna bahasa akan mudah berbagi pengetahuan dan informasi. Mereka juga akan dapat mencapai tujuan utama dalam komunikasi yaitu saling menyampaikan dan menerima informasi.
Dari penjelasan diatas, salah satu kemampuan bahasa yang dapat memfasilitasi siswa dalam mentrasfer pengetahuan dan informasi adalah pragmatic competence. Menurut Brown (2007), pragmatic competence itu adalah kemampuan untuk menghasilkan dan memahami aspek sosiolingistic dan juga functional dari bahasa. Sebenarnya, pragmatic competence itu sendiri menekankan pada penggunaan bahasa lisan dan juga tulisan. Akan tetapi dalam penelitian ini hanya difokuskan pada penggunaan bahasa secara lisan yang mana menekankan pada berbicara. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam berbicara seperti, konteks, maksud dari pembicara, budaya dan juga segi grammar/ strukturnya. Berbicara merupakan alat yang pending dalam komunikasi, berpikir, dan juga belajar. Chaney dalam Kayi (2006) mendefinisikan bahwa berbicara adalah suatu proses didalam membangun dan berbagi informasi melalui penggunaan symbols baik secara verbal ataupun non-verbal dalam bermacam-macam konteks. Melalui berbicara, siswa tidak hany dapat mengekspresikan ide, perasaan, dan diri mereka secara verbal tetapi juga dapat belajar bagaimana mengikuti dan memahami aturan social dan buday dengan tepat dalam setiap situasi.
Berkaitan dengan hal tersebut, pembelajaran berbicara yang effective sangatlahn dibutuhkan oleh siswa. Secara otomatis, hal tersebut juga akan berpengaruh pada pragmatic competence mereka. Menurut Kasper (1997), pragmatic competence tersebut harus dikembangkan oleh siswa supaya bisa berkomunikasi dengan baik. Dalam mengembangkan pragmatic competence siswa, tentu saja siswa harus diberikan banyak waktu untuk melatih kemampuan berbiacara mereka. Coulman dalam Kasper (1997) juga berpendapat bahwasiswa harus bergiliran dalam berbicara dalam bermacam-macam situasi. Dengan kata lain, sangat dibutuhkan latihan yang efektif yang mana melibatkan interacksi yang berpusat pada siswa. Porter in Lee and VanPatten (2003) menemukan bahwa interaksi antara siswa didalam kelas menghasilkan peningkatan kesempatan siswa dalam mengekspresikan diri mereka. Oleh karena itu, pembelajaran berbicara di sekolah harus melibatkan siswa dalam interaksi yang efektif sehingga mereka tidak hanya mampu berbicara tetapi juga mampu memahami apa yang menjadi maksud dari pembicara dan juga mampu menggunakan ucapan yang tepat. Dengan kata lain siswa harus memiliki pragmatic competence, khususnya yang berkaitan dengan pronunciation, grammar, vocabulary, fluency dan juga comprehension.


2.2. Teknik Role Paly

Role Play adalah sebuah metodologi yang berasal dari istilah Sociodrama yang bisa digunakan untuk membantu siswa memahami aspek-aspek kebahasaan, aspek social, ataupun aspek science atau matematika (Blatner: 1995). Role Play telah diketahui sebagai salah satu metode pengajaran sejar akhir 1940an. Bell (2001) menyatakan bahwa Role Play sudah sangat lama diketahui oleh guru dan para trainer sebagai sebuah teknik yang diguanakan untuk pengajaran keterampilan dan pengemabangan sikap dalam situasi tatap muka. Role Play sudah sangat banyak digunakan dan sudah sikenal sebagai suatu teknik yang efektif dalam pengajaran ESL/EFL.
Dangerfield (1986) dalam Martha (2004) menyatakan bahwa Role Play adalah salah satu metode yang digunakan untuk memaksimalkan waktu berbicara siswa, memastikan bahwa siswa mendapat tingkat latihan yang optimal selama waktu belajar di kelas yang cukup terbatas. Ladousse (1987) dalam Sugihartnini (2005) kemudian juga menjelaskan bahwa Role Play adalah sebuah kegiatan di dalam kelas yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk menggunakan bahasa, aspek aturan tingkah laku, dan peran-peran yang memang dibutuhkan dalam kehidupan di luar kelas. Siswa tidak akan merasa canggung untuk menciptakan situasi nyata tersebut dan dengan melakukan hal itu mereka bisa bereksperimen dengan pengetahuan yang mereka dapat di kehidupan nyata dan mengembangkan kemampuan mereka untuk berinteraksi dengan orang lain. Kemampuan siswa untuk menggunakan bahasa inggris secara tidak disadari meningkat dengan melakukan Role Play.
Role Play adalah metode yang sangat bermanfaat dalam proses pembelajaran bahasa asing. Teknik ini sangat menarik dan berguna bagi siswa karena menekankan pada pengetahuan tentang kehidupan nyata. Teknik ini juga memberikan kesempatan berharga pada siswa untuk tidak hanya belajar tentang suatu teori tetapi juga sudut pandang-sudut pandang tertentu tentang hal itu. Tompkins (1998) menyatakan bahwa keberadaan Role Play bisa memacu siswa untuk berpikir kreatif, membantu siswa mengembangkan dan berlatih bahasa baru dan keterampilan bertingkah laku dalam situasi yang relatif nyaman dan aman, dan bisa memotivasi siswa untuk belajar. Larsen-Freeman (1986) menjelaskan bahwa Role Play baik terstruktur atau tidak sangat penting dalam pendekatan komunikaif karena teknik ini memberikan kesempatan kepada siswa untuk berlatih berkomunikasi dalam konteks sosial yang berbeda-beda dan peran yang beragam juga.


2.3. Teknik Group Storytelling and Fun Game
Dasar dari Group Storytelling adalah mencerikan sebuah cerita (storytelling). Larkin (1997) mendefinisikan bahwa storytelling adalah seni penyampaian sebuah cerita atau pengalaman kepada pendengar secara lisan. Dengan menceritakan sebuah cerita atau pengalaman secara lisan/ oral dapat melatih siswa dalam menggunakan bahasa secara natural. Selain itu, menceritakan sebuah cerita adalah kegiatan yang menyenangkan baik bagi pencerita ataupun pendengar dan juga dapat disesuaikan dalam setiap level siswa. Ketika penyampaian cerita secar berkelompok, siswa akan diberikan lebih banyak kesempatan dalam mengekspresikan ide-ide mereka, mengembangkan ide dan juga memilih kata-kata yang sesuai dengan konteks dalam cerita (Sarmini, 2008). Kegiatan seperti itu mengajak siswa untuk berbagi pengetahuan dan informasi dengan teman mereka dan juga dapat melatih siswa dalam berpikir kritis.
Berkenaan dengan hal tersebut, Forest (2000) juga berpendapat Group Storytelling memberikan kesempatan kepada siswa untuk mngekspresikan perasaan, pikiran dan ide mereka secara lisan. Kegiatan tersebut juga mampu menekankan pada keunikan setiap siswa dalam mengimajinasikan sebuah cerita. Siswa dapat mengembangkan imajinasi mereka sehingga nantinya mereka akan menjadi lebih kreatif dan inovatif. Kegiatan ini juga melatih pemahaman siswa terhadap suatu cerita. Kemampuan untuk memahami cerita dapat dilihat dari kemampuan siswa dalam membuat map dari setiap peristiwa dalam cerita tersebut. kosakata baru juga akan banyak dipelajari melalui kegiatan tersebut.
Selain yang disebutkan diatas, Sarmini (2008) juga menyatakan bahwa Group Storytelling merupakan sebuah technique yang meminta siswa untuk menceritakan sebuah cerita secara berkelompok. Kegiatan ini diyakini dapat meningkatkan kemampuan berbicara siswa karena mereka diijinkan untuk berkolaborasi dengan teman-temannya dalam group dan juga bebas mengekspresikan ide dan pikiran mereka. Killen (1996) dalam bukunya yang berjudul “Effective Teaching Strategis” juga menyatakan bahwa dengan belajar dalam kelompok, siswa diberikan lebih banyak kesempatan dalam salingh berbagi dan belajar dari temannya. Mereka bisa berinteraksi dan berbagi informasi dalam situasi yang menenangkan. Hal tersebut juga merupakan salah satu cara untuk mengaktifkan pengetahuan dasar mereka tentang materi yang diberikan dan membantu siswa dalam memahami materi yang diajarkan.

2.4. Teknik Panauricon
Kelen (2006) menyatakan bahwa Teknik Panauricon (PT) adalah sebuah metode belajar yang mengatur siswa di kelas berbicara dalam lingkaran, memberikan mereka kesempatan untuk melatih drill atau percakapan dengan sebanyak mungkin partner yang berbeda. Yang ditekankan dalam teknik ini adalah dalam memposisikan guru dalam kelas berbicara pada posisi sentral dimana dia dapat mengubah alur percakapan setiap saat hanya dengan memalingkan kepalanya. Jadi, guru tidak perlu lagi berjalan-jalan dalam kelas tp siswalah yang bergerak. Dengan cara ini mereka akan merasa bahwa guru akan selalu ada untuk mereka. Berbeda dengan kelas tradisional dimana guru berdiri di depan kelas, dalam PT guru berada di tengah-tengah kelas. Walaupun begitu, PT tetap dinyatakan sebagai student-centered classroom karena, setelah diberikan instruksi atau dengan pendahuluan drill, siswalah yang diberikan kesempatan berbicara. Peran guru adalah membatasi waktu di kelas dan mengatur jumlah maksimum dari latihan oral siswa.
Teknik Panauricon dapat membantu siswa untuk bicara sebanyak mungkin serta untuk memonitor kegiatan speaking sehingga siswa dapat memperbaiki kemampuan speaking mereka. Tujuan dari teknik ini adalah untuk memberanikan siswa untuk bergerak di kelas, memastikan bahwa seluruh anggota kelas berbicara dengan anggota kelas lainnya, untuk mengontrol dan mengatur pergerakan yang dilakukan siswa melalui cara-cara tertentu bahwa siswa diyakinkan jika guru akan tetap bersama mereka dan siap menyediakan keperluan individual mereka (Kelen, 2006).
Langkah Teknik Panauricon
Ada beberapa langkah yang harus ditempuh dalam pengaturan teknik Panauricon, yaitu:
1. Pre-Panauricon.
Sesuai dengan pernyataan Kelen (2006), pergerakan atau kegiatan memotivasi diri merupakan bagian yang penting dalam pembelajaran bahasa. Total Physical Response (TPR) dapat digunakan sebagai salah satu cara dalam mengatur teknik ini daripada siswa hanya diam secara pasif ditempat duduk mereka masing-masing. Kegiatan pemanasan yang dilakukan lewat beberapa instruksi TPR terbukti efektif dapat memudahkan menyuruh siswa bergerak sebagai bagian dari proses pembelajaran bahasa (Kelen, 2006). Pada TPR, guru berada di tengah-tengah kelas sehingga guru dapat mengubah alur percakapan di kelas tanpa harus bergerak.
2. Bekerja berpasangan.
Kelen menyatakan bahwa sangatlah baik memberikan siswa intruksi yang baru dalam menvariasikan drill atau dialog. Membuat perputaran intruksi kelas merupakan bagian yang penting dalam Teknik Panauricon. Kapan dan bagaimanapun (dalam kondisi apapun), melakukan perputaran instruksi di kelas benar-benar merupakan kunci sukses teknik ini. Ketika tidak ada variasi dari putaran pertama ke putaran berikutnya, tepukan tangan atau suara musik dapat menjadi sinyal.
3. Bekerja bersama-sama dalam kelompok yang lebih besar.
Dalam Teknik Panauricon, tahap bekerja berpasangan dapat diubah menjadi bekerja sama dalam kelompok yang lebih besar dimana siswa berlatih dialog sesuai dengan topik yang diberikan. Disini, latihan secara jigsaw dapat digunakan dimana siswa perlu bergerak di dalam kelas untuk mendapatkan informasi dari topik tertentu. Di bagian akhir teknik, setiap kelompok harus membacakan laporan yang sudah mereka buat di tengah kelas.
Teknik Panauricon memberikan kesempatan sebanyak mungkin kepada siswa untuk berbicara menggunakan bahasa target. Guru dapat mengubah alur percakapan sesukanya hanya dengan menggelengkan kepalanya. Di dalam kelas, guru tidak perlu mendatangi siswa jika mereka mengalami masalah tetapi siswalah yang mendatangi guru jika mereka mengalami permasalahan. Dalam teknik ini, penggunaan bahasa diaplikasikan secara nyata dimana siswa dapat mengekspresikan ide-ide mereka dengan bebas bersama teman-temannya. Disini, guru dapat mengatur kelompok yang ada dengan mudah karena mengganti kerja berpasangan menjadi kerja berkelompok menjadi sangat mudah karena dalam teknik ini dari awal siswa sudah berpasangan dalam formasi yang sesuai.
Teknik Panauricon memberikan kesempatan kepada setiap siswa untuk berbicara dengan orang lain, memaksimalkan kesempatan bagi siswa untuk mengembangkan diri secara personal dalam menggunakan bahasa target. Proses pengembangan diri ini dapat memperbaiki bahasa siswa karena hal tersebut dapat memudahkan siswa mengutarakan sesuatu yang dapat dengan mudah diartikan (Kelen, 2006). Pada teknik ini, siswa benar-benar berkomunikasi satu sama lain dan guru ada untuk membantu mereka. Teknik Panauricon merupakan cara yang baik untuk mendorong siswa dalam melihat aspek-aspek yang berbeda dari sebuah topik, untuk memperkaya perbendaharaan kata dan struktur kalimat yang berhubungan atau berguna untuk tema-tema tertentu. Mengulang diskusi-diskusi yang masih ada hubungannya di dalam kelompok dapat membantu siswa untuk berpikir lebih luas dan lebih dalam tentang permasalahan yang ada dan hubungan-hubungan yang terdapat didalamnya.
Teknik Guided Dialog
Guided Dialogue diadaptasi dari teknik Role Play. Dalam Role Play, sebelum mempresentasikan dialogue siswa akan diberikan peran dan diberikan situasi dalam bentuk kartu peran (role card). Akan tetapi, dalam Guided Dialogues siswa diberikan suatu kerangka dialog yang berisi petunjuk, suruhan dan situasi sebagai petunjuk bagi siswa untuk menyusun dialog dengan bahasa mereka sendiri. Sebagai tambahan, beberapa frase (ekpresi) yang berhubungan dengan topik yang sedang dibicarakan juga dimasukkan di dalamnya.
Pada paragraf sebelumnya disebutkan bahwa dialog berkembang pada era Audiolingual Method dan menekankan pengulangan struktur kalimat. Sebaliknya, pada Guided Dialogues siswa tidak dibiasakan untuk memengulangi ucapan yang sama maupun mengisi dialog rumpang seperti yang terjadi dalam masa Audiolingual Methods. Dalam Guided Dialogues, siswa hanya diberikan kerangka tentang apa yang mereka dapat katakana sehingga percakapan mereka menjadi lancar. Di sini siswa bebas membuat kalimat dengan pengetahuan yang telah mereka miliki. Tidak ada batasan bagi siswa seperti pada Audiolingual Methods. Drill/pengulangan kadang dilakukan, tetapi bukan menjadi sifat Guided Dialogues. Hal ini hanya dilakukan apabila siswa membuat kesalahan yang fatal sehingga harus segera diluruskan oleh guru.
Berdasarkan penjelasan di atas, sangatlah jelas bahwa penerapan Guided Dialogues dalam kelas berbicara akan dapat menjawab permasalahan yang biasa terjadi dalam kelas berbicara karena siswa diberikan petunjuk dan diberi kesempatan untuk berinteraksi. Hal ini sejalan dengan Bailey (2005: 36) yang menyebutkan tiga prinsip dalam pengajaran berbicara kepada pemula:
1) Menyiapkan topik untuk dibicarakan.
2) Memberi kesempatan bagi siswa untuk berinteraksi dalam group maupun berpasangan.
3) Mengatur situasi kelas sehingga mendukung praktek berbicara.
Dalam kelas berbicara, dialog meliputi interaksi dan expresi secara lisan untuk menyampaikan ide, peristiwa, situasi, maksud antar pembicara sebagai suatu kebutuhan berbicara. Scott dan Ytreberg (1990:41) menyebutkan beberapa aspek tentang pentingnya penggunaan dialog dalam kegiatan berbicara:
1) Siswa berbicara sebagai orang pertama dan kedua, sedangkan teks biasanya dalam bentuk orang ketiga.
2) Siswa belajar bertanya serta menjawab.
3) Siswa belajar menggunakan kalimat yang singkat serta merespon secara tepat.
4) Siswa tidak hanya menggunakan kata-kata, tetapi juga menggunakan semua aspek berbicara seperti penekanan, intonasi, nada bicara, mimik dan lain-lain.
Dialog berguna dalam membangun suasana “chatting” di dalam kelas. Siswa dapat membuat dialog tentang hal-hal kecil yang terjadi yang melibatkan siswa-siswa yang lain di kelas tersebut.

2.6.Landasan Empiris.
Ada banyak peneliti yang telah melakukan penelitian tentang Role Play (RP) maupun Storytelling Technique Assisted with Series of Pictures (STSP) yang tidak bisa disebutkan satu per satu dalam penelitian ini. Akan tetapi peneliti menyebutkan beberapa penelitian dalam beberapa tahu belakangan ini tentang RP dan STSP yang cukup bisa membuktikan bahwa kedua teknik ini memang efektif untuk mengembangkan kompetensi pragmatik siswa.
RP sudah pernah digunakan di Malaysia oleh Krish (2001) pada pelajar jarak jauh dari Kuching, Sarawak Center yang hanya memiliki waktu yang sangat terbatas untuk bertemu dengan instruktur mereka. RP dalam kelas ini memungkinkan tujuan dari materi yang disampaikan bisa tercapai dalam waktu yang singkat. Hasilnya menunjukkan bahwa pelajar jarak jauh ini menikmati diri mereka selama berperan sebagai orang lain. Mereka merasa lebih dekat dengan anggota kelompok mereka dan menyadari bahwa dengan bekerja dalam kelompok mereka bisa belajar dengan lebih baik. Dengan aktivitas ini mereka juga merasa lebih percaya diri. Dan akhirnya mereka bisa berlatih secara optimal baik tentang bahasa itu sendiri maupun tentang keterampilan berinteraksi meskipun dalam waktu yang sangat singkat.
Penelitian tentang Role Play juga pernah dilakukan pada siswa di Singaraja oleh Martha (2004). Martha mengaplikasikan Role Play untuk meningkatkan kemampuan berbicara siswa SMU Laboratorium IKIP Negeri Singarja. Dia menyatakan bahwa implementasi Role Play mampu meningkatkan kemampuan berbicara siswa terutama dalam hal Pelafalan, Struktur Bahasa, Kosakata, Kelancaran, dan Pemahaman.
Berkaitan dengan teknik storytelling, Ratminingsih dan Namiasih (2004) telah melakukan penelitian dengan mengaplikasikan Storytelling terhadap peningkatan kemampuan berbicara siswa. Penelitian ini dilakukan di SMU Negeri 4 Singaraja tahun ajaran 2004/2005. dari penelitian tersebut dihasilkan peningkatan pada kemampuan berbicara siswa dari pre-test 2.56, 2.99 pada posttest I, 3.71 pada posttest II, dan akhirnya mencapai 4.01. Menurut Ling (2005) beberapa sekolah juga secara intensif mengaplikasikan Storytelling untuk siswa yang baru belajar (pemula) untuk menaruh mereka pada konteks dan melatih kemampuan listening mereka.
Penelitian tentang Fun Game dilakukan oleh Muliani (2002) dalam Sarmini (2008). Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa partisipasi siswa dalam kelas berbicara meningkat pada setiap tes. Peningkatan partisipasi siswa dapat dilihat dalam skor pada pre-test, post-test 1, dan post-test 2. Skor pada pre-test adalah 24,1%, kemudian meningkat menjadi 72,4 % pada post-test 1, dan 86,6% pada post-test 2.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa Storytelling dan Fun Game dapat meningkatkan nilai yang diperoleh siswa. Teknik Storytelling dapat diaplikasikan pada kelas berbicara dan menulis karena berdasarkan hasil di atas nilai siswa meningkat secara signifikan dalam setiap tahapan penelitian yang dilakukan. Selain itu, games juga dapat memperbaiki nilai siswa pada kelas berbicara. Oleh karena itu, kombinasi dari teknik Storytelling dan Fun Game dapat digunakan untuk memperbaiki kemampuan berbicara siswa.
Sehubungan dengan penggunaan teknik Panauricon dalam proses belajar mengajar bahasa Inggris, beberapa hasil penelitian dapat dillihat sebagai berikut. Penelitian terhadap penggunaan Teknik Panauricon dilakukan oleh Kelen (2006). Kelen menemukan bahwa PT sangat efektif untuk diterapkan pada sekolah yang siswanya memiliki latar belakang budaya yang majemuk seperti siswa-siswa di Asia Tenggara, SKH Lam Woo Memorial Secondary School, dan Chinese University of Hongkong karena siswa-siswa disini tidak mengasosiasikan kegiatan yang melibatkan gerakan dengan kelas sebagai konteks belajar. PT merupakan teknik yang sangat berguna untuk mengatasi masalah speaking yang sering dihadapi oleh para siswa dan juga untuk mengatur kelas yang besar.

3 Metodologi Penelitian
Populasi siswa kelas X di SMA Negeri 1 Singaraja tersebar ke dalam 6 (enam) kelas dan setiap kelas terdiri atas 30-45 siswa. Setelah melalui uji homogenitas kemudian ditentukan bahwa 4 (empat) kelas akan direkrut, yaitu: masing-masing diajarkan dengan 4 teknik yang berbeda yaitu teknik guided dialog, teknik role play, teknik panauricon, dan teknik group story telling and fun game.
Penelitian ini dirancang menggunakan rancangan eksperimen. Jenis rancangan eksperimen yang digunakan adalah Post-test only Control Group Design (Campbell and Stanley, 1984).
Pengumpulan data akan dilakukan sebanyak 6 x 90 menit, dengan urut-urutan sebagai berikut: 2 x 45 menit tatap muka pembelajaran dengan teknik masing-masing dan 2 x 45 menit dilakukan pengukuran hasil penerapan perlakukan. Dengan cara tersebut hasil pengukuran segera dengan post test dilakukan sebanyak 3 kali, yaitu post test 1, post test 2, dan post test 3. Hal ini dilakukan untuk menjamin reliabilitas hasil perlakuan yang dilakukan.
Instrumen yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah tes berbicara. Tes ini berupa instruksi yang secara umum meminta siswa menunjukkan kemampuannya berbicara.
Data yang diperoleh sebelum dianalisis lebih lanjut menggunakan Analisis Varian, maka data tersebut diuji terlebih dahulu agar memenuhi ketentuan dan persyaratan kesahihan menggunakan Analisis Varians, yaitu: 1) uji normalitas data dengan menggunakan uji Chi-square, dan 2) Uji Homogenitas varians dengan menggunakan statistic levene test
Sesudah analisis dilakukan secara simultan dengan teknik Analisis Varians, dan untuk menemukan perbedaan masing-masing teknik satu dengan lainnya, maka dilanjutkan analisisnya dengan menggunakan teknik Analisis Pasca Penemuan Fakta (post hoc comparison). Pengujian post hoc tests menggunakan uji LSD (least significant different) (Glass dan Hopkins,2008).


4 Temuan Penelitian
Berdasarkan hasil analisis varians satu jalur diketahui bahwa nilai Fhitung dari anova sebesar 4.576 dengan signifikansi sebesar 0.004. Dengan menggunakan dfB = 3, dfW = 155, dan taraf signifikansi 0.05 diperoleh nilai Ftabel sebesar 2.663 sehingga Fhitung lebih besar dari Ftabel sehingga H0 ditolak atau H1 diterima. Ini berarti bahwa terdapat perbedaan pragmatic competence yang signifikan antara kelompok siswa yang belajar menggunakan teknik guided dialogues, role play, panauricon technique, dan group storytelling and fun game.
Untuk mengetahui kelompok perlakuan yang paling efektif digunakan dalam pembelajaran dalam pencapaian pragmatic competence dapat dilihat dari nilai rata-rata yang diperoleh masing-masing kelompok perlakuan. Berdasarkan Tabel 4.1 diketahui rata-rata pragmatic competence sebesar 82.48 untuk kelompok perlakuan guided dialogues, sebesar 81.56 untuk kelompok perlakuan role play, sebesar 80.74 untuk kelompok perlakuan panauricon technique, dan sebesar 83.22 untuk kelompok perlakuan group storytelling and fun game. Jadi, dapat dikatakan bahwa kelompok perlakuan group storytelling and fun game paling efektif dalam pencapaian pragmatic competence siswa.
Sebagai tindak lanjut dari anava satu jalur dengan 4 kelompok perlakuan dilakukan post hoc tests. Pengujian post hoc tests menggunakan uji LSD (least significant different), yaitu :

Dengan,
α = taraf signifikansi = 0.05
N = jumlah sampel total = 158
a = jumlah kelompok perlakuan = 4
nA = 36, nB = 35, nC = 45, dan nA = 43
Jika > LSD maka terdapat perbedaan kompetensi pragmatic yang signifikan dan sebaliknya. Ringkasan hasil pengujian post hoc test dengan LSD ditampilkan pada Tabel 1

Tabel 1. Ringkasan hasil pengujian post hoc test dengan LSD
Mean difference
LSD Keterangan
A-B 0,921 1,555 Tidak signifikan
A-C 1,740 1,464 Signifikan
A-D 0,744 1,479 Tidak signifikan
B-C 0,819 1,476 Tidak signifikan
B-D 1,665 1,491 Signifikan
C-D 2,484 1,396 Signifikan
Keterangan :
A : guided dialogues
B : role play
C : panauricon technique
D : group storytelling and fun game
Berdasarkan Tabel diatas dapat dijelaskan sebagai berikut. Pertama, pasangan kelompok yang tidak berbeda secara signifikan dalam pencapaian kompetensi pragmatik siswa adalah pasangan perlakuan guided dialogues dengan role play, pasangan perlakuan guided dialogues dengan group storytelling and fun game, dan pasangan perlakuan role play dengan panauricon technique. Kedua, pasangan yang berbeda secara signifikan dalam pencapaian pragmatic competence siswa adalah pasangan perlakuan guided dialogues dengan panauricon technique, pasangan perlakuan role play dengan group storytelling and fun game, dan pasangan perlakuan panauricon technique dengan group storytelling and fun game. Ketiga, pasangan yang paling berbeda dalam pencapaian kompetensi pragmatik siswa adalah pasangan perlakuan panauricon technique dengan group storytelling and fun game dengan perbedaan nilai rata-rata sebesar 2.484.

5 Simpulan dan Saran-saran
5.1. Simpulan
Berdasarkan analisis data disimpulkan bahwa:
1. Secara simultan terdapat perbedaan kompetensi pragmatik yang signifikan antara kelompok siswa yang belajar menggunakan teknik guided dialogues, role play, panauricon technique, dan group storytelling and fun game
2. Secara sendiri-sendiri pasangan kelompok yang tidak berbeda secara signifikan dalam pencapaian pragmatic competence siswa adalah pasangan perlakuan guided dialogues dengan role play, pasangan perlakuan guided dialogues dengan group storytelling and fun game, dan pasangan perlakuan role play dengan panauricon technique. Sementara, pasangan yang berbeda secara signifikan dalam pencapaian pragmatic competence siswa adalah pasangan perlakuan guided dialogues dengan panauricon technique, pasangan perlakuan role play dengan group storytelling and fun game, dan pasangan perlakuan panauricon technique dengan group storytelling and fun game. Dari pasangan tersebut diatas, pasangan yang paling berbeda dalam pencapaian kompetensi pragmatic siswa adalah pasangan perlakuan panauricon technique dengan group storytelling and fun game. Dari keempat teknik ini yang paling efektif meningkatkan kompetensi pragmatik siswa adalah teknik group story telling and fun game
5.2 Saran-saran
Melalui penelitian ini, pertama, peneliti menyarankan agar para pendidik lebih memperhatikan teknik pengajaran yang digunakan dalam kelas berbicara mereka. Melalui penelitian ini, peneliti ingin merekomendasikan teknik group story telling and fun game dalam pembelajaran berbicara. Akan tetapi, kombinasi dengan teknik lain juga diyakini akan memberikan hasil yang lebih efektif mengingat salah satu pendorong entusiasme siswa adalah adanya variasi kegiatan siswa di dalam kelas.
Kedua, saran juga ditujukan bagi peneliti-peneliti berikutnya untuk melanjutkan, menyempurnakan dan mengujicoba hasil penelitian ini. Semakin banyak penelitian tentang teknik yang paling efektif dalam meningkatkan kompetensi pragmatik mahasiswa, maka hasil penelitian akan semakin dapat dipercaya.











Daftar Pustaka
Agustini, Ida Syu Wayan Sri. 2001. Improving students’ informative speaking skill through guided exercises of the first year students of SMKN 2 Singaraja The academic year 1999/2000. Unpublished thesis
Arista Dewi, Ema. 2008. Using Guided Dialogues to Improve the Speaking Ability of the First Grade Students of SMAN 4 Singaraja in the Academic Year of 2008/2009. Unpublished Thesis. Undiksha Singaraja
Bailey, Kathleen M. 2005. Practical English Language Teaching: Speaking. Singapore: McGraw-Hill ESL/ELT.
Best. J.W. 1981. Research onn Education. New Jersey: Englewood Cliffs. Prentice Hall
Blatner, Adam, M.D. (1995). Role Playing in Education. Retrieved from: adam@blatner.com
Brown, Douglas. 2007. Principles of Language Learning and Teaching. San Francisco State University: Longman
Cross, D. 1991. A Practical Handbook of Language Teaching. London: Cassel
Dewi, Ema Arista. 2009. Using Guided Dialogues to Improve the Speaking Ability of the First Grade Students of SMAN 4 Singaraja in the Academic Year 0f 2008/2009. Unpublished Thesis. UNDIKSHA
Chen, I-Jung. 2005. Using Games to Promote Communicative Skills in Language Learning.The Internet TESL Journal, Vol. XI. http://iteslj.org/
Eggers. Paul. 1987. Guided Oral Discourse Beginners: What For and How To. English Teacvhing Forum Volume XXV Number 3, July 1987.
Ellinor, L.1996. What is Dialogue?. Http://www.thedilaoguegrouponline.-com/whats-
dialogue.html. Accessed on Desember 5, 2007
Fraenkel, Jack R. & Wallen Norman E. 1993. How to design and Evaluate Research in Education. Singapore:McGraw-Hill Book Company.
Forest, Heather. 2000. http://www.storyart.org/articles/storytelling.html:Storytelling
Gilfert, S. and R. Croker.1999.Dialog Performances: Developing Effective Communication Strategies for Non-English Majors in Japanese Universities. Available at http://iteslj.org/. Accessed on May 9, 2007.
Harmer, Jeremy. 1991. The Practice of English Language Teaching. New York: Longman
Herrel, A. 2005. Fifty Strategies for Teaching English Language Learners
Huang, Irene Y. (2008). Role Play for ESL/EFL Children in the English Classroom. The Internet TESL Journal, Vol. XIV, No. 2, February 2008. Retrieved from: http://iteslj.org/Techniques/Huang-RolePlay.html
Jianing, Xu. 2007. Storytelling in the EFL Speaking Classroom. The Internet TESL Journal, Vol. XIII, No. 11, November 2007. Retrieved from: http://iteslj.org/
Kayi, Hayriye. 2006. Teaching Speaking: Activities to Promote Speaking in a Second Language. The Internet TESL Journal, Vol. XII, No. 11, November 2006. Retrieved from : http://iteslj.org/. http://iteslj.org/Articles/Kayi-Teaching Speaking.html
Kasper, Gabriele. 1997. Can Pragmatic Competence Be Taught?
Available on : http://nflrc.hawaii.edu/NetWorks/NW06/NW6citation.html
Kelen, C.2006.Perpetual Motion: Keeping the Language Moving. Available at http://iteslj.org/Techniques/Kelen-PerpetualMotion.html. Accessed on December 9, 2006.
Killen, Roy. 1996. Effective Teaching Strategies. Wentworth Falls: Social Science Press.
Kitao, S. Kathleen. 1996. Testing Communicative Competence. Retrieved from: http://iteslj.org/Articles/Kitao-Testing.html. The Internet TESL Journal, Vol. II, No. 5, May 1996.
Krish, Pamela. 2001. A Role Play Activity with Distance Learners in an English language Classroom. The Internet TESL Journal, Vol.VII, No.7, Jully 2001. Retrieved from:http://iteslj.org/Article/Krish-RolePlay.html
Larkin, Chuck. 1997. What is Storytelling? Retrieved from: http://www.eldrbarry.net/roos/st_is.htm
Lings, M. 2005. Storytelling, Listening, Speaking and Literacy. Ancient Beliefs and Modern Superstitions. Retrieved from: http://www.Crickcrackclub.com/CRICKCRACK/EDUCSPLF.HTM.
Martha, Juliana. 2004. Improving Students’ Speaking Ability Using Role Play (Action Based Research Conducted at The Second Grade of SMU Laboratorium IKIP Negeri Singaraja) In the Academic Year of 2003/2004. Unpublished Thesis
Meriastuti, Ni Made. 2008. The application of ”Modelled talk” to improve speaking ability of the students Grade Eight at SMP Negeri 6 Singaraja. Unpublished Thesis.
Mila, Putu Ayu Indra.2008.Improving The Students’ Speaking Ability through the Use of Panauricon Technique to the Second Grade Students of SMP N 1 Gerokgak in the Academic Year of 2007/2008. Unpublished Thesis: IKIP Negeri Singaraja.
Paul, D.2003. Teaching to Children in Asia. Hong Kong: Longman Asia ELT
Prihatin, Dwi.2008. Improving Students’ Speaking Ability Using Role-Play at The Second Year Of SMA 1 Karangnongko Klaten In 2007/2008
Quistgaard, N. (2006). 1.g-elever på et science center. Engageres de? – Påvirkes de? Doctoral Dissertation. University of Southern Denmark, Odense, Denmark.
Retrieved from http://www.humaniora.sdu.dk/phd/dokumenter/filer/Afhandlinger-80.pdf
Ratna dewi, Sri Ayu. 2008. The Application of Storytelling technique assisted with series of pictures to improve the second year students’ oral competence. Unpublished Thesis.
Ratminingsih, Ni Made.2004. Peningkatan Kualitas Pembelajaran Keterampilan Siswa SMU Negeri 4 Singaraja Melalui Pemanfaatan Teknik Storytelling: Suatu Pembelajaran Berpendekatan Konstektual. Research Report of IKIP Negeri Singaraja.
Ratminingsih, Ni Made and Namiasih, Kt. 2004. Peningkatan Kualitas Pembelajaran Keterampilan Berbicara Siswa Siswa SMU Negeri 4 Singaraja Melalui Pemanfaatan Teknik “Storytelling” Suatu Pembelajaran Berpendekatan Konstektual. Research Report of IKIP Negeri Singaraja.
Richards, J. C. (1985). The Context of Language Teaching. Cambridge: Cambridge University Press.
Sarmini, Ni Wayan. 2008 The Implementation of Group Storytelling and Fun Game Technique to Improve Speaking Ability of Grade Eight Students Of SMP Negeri 2 Singaraja
Scott, W and Ytreberg, L. 1990. Teaching English to Children. New York:Longman Inc
Subiana, P.2007. Improving the Speaking Ability of the Second Year Students of SMPN4
Nusa Penida, Especially Class II. C by Using Guided Dialogues. Unpublished
Thesis. IKIP N Singaraja.
Sugihartini, Kadek Eny. 2005. A Comparative Study between the Two Speaking Technique (Role Play and Pair Taping) in Conversation of the Third Year Students of SMA Negeri 2 Singaraja in the Academic Year 2004/2005. Unpublished thesis
Tarigan. H.G. 1981. Berbicara Sebagai Salah Satu Ketrampilan. Berbahasa. Bandung: Angkasa
Tompkins, Patricia K. 1998. Role Playing/Simulation. The Internet TESL Journal, Vol. IV, No. 8, August 1998. Retrieved from: http://iteslj.org/.
Watt, Jean et.al. (1999). Cultivating Collective Consciousness with Transcendent Self-Presence: A Guided Dialogue Method
Zahn,Brian.1996-2002. Storytelling, Listening, Speaking, and Literacy
http://www.crickcrackclub.com/CRICRACK/EDUCSPLF.HTM

No comments:

Post a Comment