Wednesday, December 21, 2011

PENDIDIKAN KARAKTER DI KAMPUS: BAGAIMANA MEMULAI?

Setiap pagi sehabis mengabsen, saya akan segera menuju kelas yang harus saya ajar. Dalam perjalanan dari tempat parkir menuju ke kelas saya, biasanya saya akan berpapasan dengan para mahasiswa. Pernah suatu pagi, saya berpapasan dengan segerombolan mahasiswa dengan pakaian mereka yang unik, tapi bukan itu yang saya risaukan, yang saya risaukan adalah cara mereka menyapa dan cara mereka bersikap terhadap saya. Salah satu dari mereka mulai berkata “Pagi ibu, ajarin saya dong” dan sapaan ini diikuti dengan cara mereka menatap dengan gaya meremehkan dengan beberapa suitan suitan khas anak muda yang sangat tidak pantas. Saya menoleh dan menatap mereka, saya sempat bertanya-tanya dalam hati apakah mereka mahasiswa, atau memang orang “luar” yang iseng kebetulan ada di kampus. Tetapi lama kelaman, setelah sekian hari saya perhatikan rupanya mereka memang mahasiwa di fakultas tempat saya bekerja. Sebagai seorang dosen muda, saya menyadari bahwa mahasiswa cenderung menganggap saya “teman” dibandingkan “dosen”. Tetapi apakah memang begitu cara mereka berkomunikasi terhadap orang yang lebih tua, apalagi dengan status sosial-akademik yang lebih tinggi (sebagai pengajar)?
Saya harus mengakui bahwa perubahan adalah hal yang paling kekal. Perubahan pada fenomena-fenomena sosial juga demikian. Salah satu dari fenomena sosial yang berubah adalah cara mahasiswa berkomunikasi terhadap dosen pengajarnya, seperti yang saya ilustrasikan diatas. Dulu para mahasiswa sangat berhati-hati dalam memilih kata-kata untuk berbicara dengan dosennya. Sebelum bertemu atau bertandang kerumah dosen pengajarnya, mereka akan dengan sopan membuat janji bertemu. Selain itu para mahasiswa dulu selalu berusaha bersikap hormat dalam berkomunikasi dengan dosen pengajarnya, entah dalam menyapa “selamat pagi” atau menanyakan sesuatu yang berkaitan dengan mata kuliahnya. Tetapi sekarang mahasiswa bahkan tidak tahu bagaimana mengutarakan maksudnya dalam teks sms. Bahasa dengan tulisan “gaul” yang biasanya digunakan untuk teman digunakan juga dalam teks sms yang ditujukan ke dosen pengajar. Saya sudah berkali kali terkaget-kaget dengan sms mereka seperti “Ibuk dmna nieh? Saya sdh mencari ibuk k’mna2. Saya mo ktemu sma ibuk”
Rupanya keprihatinan ini sudah menjadi pembicaraan dikalangan para dosen pengajar. Saya sebagai salah satu dari komunitas ini mengamati perubahan fenomena sosial ini dan dampak yang dirasakan oleh para dosen pengajar. Kami sering berbincang bincang mengenai sikap-sikap para mahasiswa yang kurang tepat dalam tataran etika dan moral serta hal-hal yang mungkin menyebabkan terjadinya penurunan prilaku beretika dikalangan mahasiswa. Salah satu dari faktor yang diyakini berkontribusi pada penurunan prilaku beretika ini adalah semakin sedikitnya peran orang tua dirumah dalam memberikan pengaruh atau model prilaku yang diharapkan. Setelah memasuki masa sekolah, siswa cenderung menghabiskan banyak waktu diluar rumah, dan “menyerap” contoh-contoh prilaku teman-teman sebayanya. Sementara kesibukan orang tua berkarir menyebabkan mereka jarang ada dirumah untuk bisa berbincang dan “mengajarkan” hal-hal yang sesuai dengan etika dan moral. Sehingga saya pikir perlu ada usaha-usaha untuk membangkitkan pendidikan karakter di kampus, tempat dimana mahasiswa sering menghabiskan waktu mereka dan bersosialisasi. Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah bagaimana memulai sebuah pendidikan karakter di kampus?
Saya meyakini bahwa universitas sebagai salah satu tempat pendidikan, tidak hanya memiliki kewajiban untuk membuat siswa pandai, tetapi ia juga memiliki sebuah “tugas” untuk mendidik para mahasiswa nilai-nilai moral dan etika sehingga bisa berprilaku yang baik di kehidupan mereka.
Pendidikan karakter dikampus, saya pikir, harus mampu mengajarkan mahasiswa untuk memahami, berkomitmen, dan bertingkah laku berdasarkan nilai-nilai etika, dengan kata lain, mahasiswa tahu hal yang benar, memiliki keinginan dan pandangan yang benar dan melakukan hal-hal yang benar. Nilai-nilai inti yang sangat dijunjung dalam pendidikan karakter adalah nilai-nilai seperti rasa hormat, tanggung jawab, kepercayaan, keadilan, kepedulian dan kemauan berpartisipasi dalam masyarakat.
Dalam pemikiran saya, kampus haruslah benar-benar memiliki komitmen tinggi pada pendidikan karakter dengan melakukan berbagai usaha-usaha. Usaha usaha tersebut seperti menekankan pentingnya pemberian model dari orang orang dewasa (pengajar, pegawai, seluruh warga kampus) tentang nilai-nilai etika baik didalam kelas maupun di interaksi sehari-hari. Hal ini sangat penting karena akan membantu para mahasiswa mengklarifikasi nilai-nilai moral atau etika yang mereka tahu. Sebagai contoh, staf pegawai selalu menggunakan bahasa yang sopan dan beretika dalam melayani kebutuhan mahasiswa. Hal ini penting untuk memberikan model berkomunikasi yang baik bagi mahasiswa. Contoh lain, dalam interaksi di kelas para dosen pengajar juga memberikan model penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan beretika dalam berkomunikasi. Dosen pengajar harus mampu menggunakan bahasa yang tepat dan sopan dalam berbagai situasi, entah dalam memaparkan konsep maupun dalam memberikan kritikan atau teguran bagi mahasiswa yang berprilaku salah.
Selain itu, pemberian sesi sesi diskusi tentang fenomena-fenomena sosial seperti plagiatisme, tindak kekerasan disekolah, korupsi, aborsi, kehidupan seks remaja dan fenomena sosial lain yang menarik untuk dibahas perlu dilakukan. Hal ini sangat bermanfaat untuk melatih kemampuan mahasiswa untuk berpikir kritis, menyampaikan argumen mereka tentang batasan-batasan moral dan prilaku yang diharapkan. Para dosen juga bisa memberikan arahan tentang cara pandang mahasiswa terhadap fenomena fenomena sosial tersebut, sehingga mahasiswa akan mengerti tentang hal yang benar dan prilaku-prilaku yang sesuai etika dan moral
Selain usaha-usaha yang bisa dilakukan di dalam kelas, kampus atau universitas juga bisa menanamkan pendidikan karakter melalui berbagai kegiatan di luar kelas. Misalnya, dalam ulang tahun jurusan, fakultas atau lembaga (apapun lingkupnya) para mahasiswa dilibatkan dalam kegiatan pengumpulan dana untuk anak-anak miskin atau terlatar, kegiatan donor darah untuk PMI, kegiatan bakti sosial ditempat yang membutuhkan, kegiatan sukarelawan ditempat bencana alam dan kegiatan sosial lain. Hal ini akan membantu mengasah kepekaan sosial mereka, dan kepedulian terhadap sesama. Kampus harus berkomitmen dan benar-benar memberikan prioritas dan penghargaan bagi mahasiswa yang terlibat kegiatan-kegiatan tersebut. Misalnya, setiap kegiatan tersebut para pimpinan jurusan atau fakultas atau rektor menerbitkan SK atau sertifikat penghargaan yang memiliki poin tertentu yang bisa digunakan mahasiswa untuk mengajukan usulan beasiswa. Hal ini akan menunjukkan seberapa serius kampus menganggap kegiatan kegiatan semacam ini penting.
Beberapa usaha-usaha yang saya sebutkan diatas mungkin sudah ada yang dilakukan tetapi mungkin dengan tingkat keseriusan dan komitmen yang belum maksimal. Komitmen yang maksimal harus dimiliki tidak hanya oleh para pimpinan kampus tetapi juga seluruh warga di kampus seperti dosen, pegawai, mahasiswa, staf cleaning service, bahkan pegawai koperasi atau kantin. Saya yakin jika kampus berkomitmen dengan serius pada pendidikan karakter, hasil yang signifikan untuk pembentukan karakter yang baik dalam diri mahasiswa cepat atau lambat akan berbuah.

No comments:

Post a Comment