Wednesday, October 31, 2018

KEPADAMU, PENGAJAR GENERASI SUKSES


Tulisan ini pernah dipublikasikan di koran 'Tokoh' tahun Oktober 2018
ditulis oleh Dr. I.G.A. Lokita Purnamika Utami


Success is no accident. It is hard work, perseverance, learning, studying, sacrifice and most of all, love of what you are doing or learning to do.
                                                                                                                                    -Pele-
 Have you read the drama script, Raisin in the Sun, as I told you a week ago?” Pertanyaan saya menggema diseluruh ruang kelas drama saya hari itu. Tidak ada satupun mahasiswa yang menjawab. Beberapa tampak saling pandang dan kemudian menggeleng dengan malu-malu. Entah kenapa pemandangan ini terasa begitu tidak asing bagi saya. Entah kenapa saya bahkan sudah bisa menebak hal ini akan terjadi. Saya melayangkan pandangan saya, entah untuk apa, barangkali untuk mencoba memuaskan secuil harapan saya, bahwa barangkali ada, setidaknya satu orang saja, yang sudah membaca naskah tersebut. Tetapi, tampaknya saya harus menelan kekecewaan saya lagi. Hari itu adalah kelas drama ke-3, dua kelas drama sebelumnya juga merespon pertanyaan saya dengan respon yang tidak jauh berbeda. 
Saya mencoba memahami lagi bahwa sikap mereka disebabkan karena naskah itu cukup panjang, sehingga mereka sudah menyerah sebelum mencoba untuk membacanya. Saya menurunkan tagihan saya dan bertanya lagi “Did you manage to explore its plot summary from the internet, then? Can you mention the characters of the play?” Saya menanyakan hal ini karena setidaknya mereka melakukan hal tersebut sebelum memasuki kelas saya. Membaca ringkasan sebuah plot tidak akan menghabiskan banyak waktu, tetapi sangat membantu memahami naskah yng akan kami bahas hari itu. Kembali situasi yang sama terulang lagi. Tidak ada yang menjawab. Beberapa mahasiswa saya pura-pura sibuk mencoret-coret buku catatan mereka. Sejumlah mahasiswa lain berusaha keras tidak beradu pandang dengan saya, mencoba menghindari tatapan saya dan menatap lekat-lekat pada lantai didepan ujung sepatu mereka. Saya tidak paham mengapa mereka begitu pasif dan tidak mau berusaha. Dalam situasi-situasi seperti ini biasanya saya akan memberikan indirect instruction berupa penekanan-penekanan tentang sikap pelajar dewasa yang bertanggung jawab terhadap pembelajarannya. Saya berharap mereka paham apa yang dimaksud dengan autonomous learner dan bahwa mereka hendaknya mengetahui kelebihan-kelebihan dan kelemahan-kelemahan mereka serta mencari solusi untuk mengatasi kelemahan-kelemahan tersebut.
Situasi-situasi diatas tidak terjadi sekali dua kali. Setiap kali saya dihadapkan pada kenyataan bahwa mahasiswa saya belum bertanggung jawab pada pembelajarannya, saya selalu merasa iba. Iba pada mereka dan bahkan lebih jauh lagi khawatir terhadap nasib bangsa ini. Saya merasa iba pada mereka karena diumur mereka yang masih begitu muda, yang seharusnya masih memiliki semangat membara dalam usaha-usaha untuk maju, mereka malah tenggelam dalam ketidakacuhan. Mereka memiliki rasa ingin tahu yang sangat rendah. Mereka tidak memiliki target capaian. Bahkan mungkin tidak tau apa target mereka, apalagi bagaimana mencapai target tersebut. Mereka terlena dengan budaya tunggu apa kata dosen. Mereka menunggu tugas apa yang diberikan, menunggu buku yang harus di fotokopi dan mereka menunggu instruksi dosen untuk bisa belajar. Mereka tidak otomatis membaca sebuah buku sumber yang diberikan, mereka tidak  mencari tau, apalagi berusaha mengaitkan dengan konsep-konsep yang telah mereka pahami. Mereka membiarkan diri mereka hadir dikelas dengan kepala kosong dan berharap dosen akan menjelaskan semua hal agar mereka bisa paham. Mereka tidak tau apa yang harus dilakukan untuk belajar sampai dosen menugaskan mereka untuk mengerjakan sebuah tugas. Banyak diantara mereka cenderung bertanya “Bu, tugasnya ini dikumpul ya? Paling lambat kapan?” Pertanyaan ini begitu klise. Mereka perlu memutuskan apakah mereka perlu mengerjakan tugas tersebut atau tidak. Mereka menanyakan batas waktu pengumpulan agar mereka bisa tau berapa banyak waktu yang tersisa untuk bersantai sebelum  mengumpulkan tugas.
Selain budaya tunggu apa kata dosen adalagi budaya yang lebih buruk, budaya copy-paste. Pembelajaran abad-21 yang mengarahkan peserta didik untuk bersikap kreatif, kritis dan mampu menyampaikan gagasannya sendiri tampaknya belum merasuk dengan benar pada generasi kita. Banyak diantara mahasiswa belum memiliki rasa menghargai pekerjaan orang lain. Mereka masih berpikir belajar secara product-oriented dan bukan process-oriented. Mereka melakukan apapun agar bisa menyelesaikan tugas dan mendapatkan nilai, tanpa melalui proses belajar yang benar. Dengan kemajuan teknologi dan informasi melalui internet, mahasiswa tidak segan-segan meng-copy sebuah artikel secara penuh dan menuliskan nama mereka sebagai si pembuat artikel. Mereka berharap saya tidak akan tau. Entah kenapa, saya hampir selalu tau! Gaya tulisan pada tugas yang mereka kumpulkan sangat berbeda dengan gaya tulisan rata-rata mahasiswa. Tulisan pada tugas mereka terlalu sempurna, bahasanya begitu menarik, pilihan katanya tepat tanpa cela dan idenya mengalir secara koheren. Saya tidak memerlukan waktu lebih dari 2 menit membaca tugas mereka untuk bisa mengetahui hal-hal ini.
Saya tau budaya tunggu apa kata dosen menjadi sebuah tradisi belajar dikalangan para peserta didik. Saya tau copy-paste bisa dilakukan dengan mudah. Saya tidak kesal dengan sikap pasif mereka. Saya juga tidak kesal, jika suatu ketika saya kecolongan dan mereka mendapat nilai tinggi dari hasil plagiasi mereka. Saya malah merasa khawatir pada nasib bangsa ini. Jika 50% saja mahasiswa kita tamat, kemudian bekerja dan membawa budaya-budaya buruk ini, bagaimana nasib bangsa ini? Apa jadinya jika banyak dokter memiliki sikap yang tidak kritis dalam mendiagnosa penyakit karena lulus dari hasil menjiplak dengan pemahaman konsep yang rendah? Apa jadinya bangsa ini jika para sarjana farmasi kita tidak tau cara mencampur obat yang tepat, dan hanya mengira-ngira dosis campuran? Apa jadinya jika gedung-gedung pencakar langit kita didesain oleh arsitek-arsitek yang tidak memahami angka, garis, dan sudut? Apa jadinya seluruh anak-anak bangsa ini, jika guru yang mengajar mereka tidak bisa mendesain pembelajaran sesuai dengan karakteristik peserta didik atau tidak paham dengan konsep Zone of Proximal Development? Apa jadinya nasib bangsa ini, jika dosen-dosen di Perguruan Tinggi enggan melakukan professional development untuk selalu mengisi diri mereka dengan kebaruan ilmu pengetahuan? Apa jadinya nasib bangsa ini jika pekerja-pekerja kita tidak tau benar tentang pekerjaan mereka, melakukan berbagai kecurangan untuk menghindari hal-hal yang sulit dalam pekerjaan mereka dan menganggap remeh pekerjaan mereka?
Bunyi jangkrik malam ini menemani pikiran saya yang menerawang pada harapan dan kenyataan yang dihadapi banga ini. Bangsa ini memerlukan generasi yang sukses untuk maju. Generasi yang mau bekerja keras. Generasi yang memiliki kemauan dan dedikasi tinggi dalam bidangnya. Dengan kata lain, generasi yang mau sepenuh hati terlibat dalam mengerjakan tugas mereka karena mereka mencintai apa yang mereka lakukan dan melakukan apa yang mereka cintai. Kita, saya dan anda, ya kita para pengajar generasi sukses termasuk para orang tua dari anak-anak kita sendiri harus bisa menanamkan sikap-sikap ini sehingga mereka bisa tumbuh menjadi generasi yang unggul dan bertanggung jawab. Dalam memilih pendidikan mereka, biarkan mereka memilih bidang yang mereka suka. Dirumah, ajari mereka untuk hidup dengan penuh usaha, tanggung jawab dan memiliki sikap menghargai pekerjaan orang lain. Libatkan mereka untuk turut berpikir dalam proses pengambilan keputusan. Dengarkan dan hargai pendapat mereka. Berikan mereka sebuah tanggung jawab untuk megembangkan sikap tanggap seperti mengetahui apa yang harus mereka lakukan dan bersedia melakukan hal-hal tersebut. Malam semakin larut, bunyi jangkrik masih terdengar, awalnya keras kemudian terdengar sayup-sayup, mengantarkan pikiranku pada hal-hal yang bisa saya lakukan untuk generasi baru ini.

No comments:

Post a Comment