Wednesday, December 10, 2008

indonesia dalam reformasi manajemen pendidikan

INDONESIA DALAM REFORMASI MANAJEMEN PENDIDIKAN

PENDAHULUAN

Di awal abad ke-21 ini, prestasi pendidikan Indonesia tertinggal jauh dibawah Negara-negara Asia lainnya seperti Singapura, Jepang dan Malaysia. Bahkan jika dilihat dari indeks sumber daya manusia, yang salah satu indikatornya adalah sektor pendidikan, posisi Indonesia kian menurun dari tahun ke tahun. Menurut Laporan Bank Dunia tahun 1992, studi IEA (International Association for the Evaluation of Educational Achievement) menunjukan ketrampilan membaca siswa Indonesia kelas IV SD berada pada posisi terendah. Anak-anak Indonesia ternyata hanya mampu menguasai 30% dari materi bacaan dan ternyata mereka sulit sekali menjawab soal-soal berbentuk uraian yang memerlukan penalaran. Dalam dunia pendidikan tinggi menurut majalah Asia Week, dari 77 Universitas yang disurvai di Asia pasifik, ternyata 4 universitas terbaik di Indonesia hanya mampu menempati peringkat ke-61, ke-68, ke-73 dan ke-75. Indikator lain yang menunjukkan betapa rendahnya mutu Pendidikan di Indonesia dapat dilihat dari data UNESCO tahun 2000 tentang peringkat Indeks Pengembangan Manusia ( Human Development Index), yaitu komposisi dari peringkat pencapaian pendidikan, kesehatan dan penghasilan per kepala yang menunjukkan bahwa indeks pengembangan manusia Indonesia makin menurun. Diantara 174 negara di dunia, Indonesia menempati peringkat ke-102 pada tahun 1996, ke-99 pada tahun 1997, ke-105 tahun 1998, dan ke-109 tahun 1999 dan menurun ke urutan 112 pada tahun 2000. Bahkan, menurut survey Political and Economic risk Consultant (PERC), kualitas pendidikan Indonesia berada pada urutan ke-12 dari 12 negara Asia.

Lemahnya sumber daya manusia di Indonesia merupakan suatu akibat dari kekeliruan pembanguanan pada masa orde baru yang lebih menekankan pada pembangunan fisik dibandingkan meningkatkan mutu pendidikan. Padahal dengan meningkatkan mutu pendidikan, maka Indonesia akan memiliki SDM yang berkualitas yang akan mampu membantu bangkitnya bangsa dari keterpurukan ekonomi. Rosyada, (2004: 2) menegaskan kembali pendapat Dody Heriawan Priatmoko yang menyatakan bahwa Pendidikan merupakan faktor penting dalam pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan kualitas SDM. Hal ini pun sejalan dengan konsep pemikiran Joseph Murphy (dalam Rosyada, 2004: 13) yang menyatakan bahwa kemunduran sektor ekonomi merupakan akibat langsung dari lemahnya sektor pendidikan.

Pendidikan Indonesia memang memiliki berbagai masalah yang perlu untuk dicermati. Sebagai contoh misalnya manajemen pendidikan Indonesia yang dulu bersifat sentralistik yang memiliki implikasi-implikasi yang panjang. Semua kebijakan ditentukan oleh Departemen Pendidikan yang memiliki kepanjangan tangan di tingkat provinsi yang disebut Kantor Wilayah (Kanwil), dan dibawahnya, ditingkat kabupaten ada Kantor Departemen (Kandep). Untuk SD bahkan ada Kantor Cabang Dinas di Kecamatan. Karena sifatnya yang hierarkhis itulah maka birokrasi justru menimbulkan efek negatif, lamban, dan berbelit-belit. Sehingga, terjadi suatu fenomena dimasyarakat tentang nasib sebuah sekolah, walaupun sudah ditayangkan lewat televisi atau koran, tetapi kalau belum ada ‘surat resmi’ sekolah dianggap ‘belum tahu.’ Bukan itu saja, Sumarsono (2004: 28) bahkan menyatakan bahwa adanya kekonyolan sistem birokrasi yang menghendaki agar semua informasi yang ‘serba bagus’ mengalir ke bawah, sementara informasi dari bawah yang bersifat ‘keluhan’ atau ‘kritik’, tidak dihiraukan.

Berkaitan dengan sistem birokrasi dan aturannya, ditemukan pula implikasi yang terjadi pada kualitas calon kepala sekolah. Seorang calon kepala sekolah bukannya ditentukan karena kualitas dan profesionalisme yang dimilikinya melainkan ditentukan oleh atasan “sesuai dengan birokrasi yang berlaku.” Begitu pula perekrutan guru-guru yang tidak berdasarkan kualitas. Banyak sekali jalan ‘samping’ yang bisa ditempuh seorang calon guru agar bisa menjadi guru. Hal ini menyebabkan sepanjang dia diumumkan lulus tes CPNS maka dia menjadi guru tanpa dipertanyakan apakah ia benar-benar berkualitas. Untuk seorang qualified teacher seharusnya ada tes khusus (performance tes) yang dapat mengases kualitas dan profesionalitas mereka, dan bukan hanya dengan menjalani tes tulis. Dengan demikian akan diketahui apakah mereka memiliki ketrampilan mengajar, apakah mereka cukup up to date untuk menggunakan model pembelajaran yang inovatif, apakah mereka bisa mengembangan materi pelajaran agar bersifat kontekstual dan penuh makna dan sebagainya

Hal-hal lain yang berkenaan dengan fenomena disekolah adalah pengajaran materi pelajaran oleh guru yang tidak ahli dalam bidangnya. Sebagai contoh, mata pelajaran Bahasa Inggris diampu oleh guru Bahasa Indonesia, dan mata pelajaran matematika diampu oleh guru fisika. Bagaimana kita bisa mengharapkan pendidikan yang berkualitas kalau para pendidik masih perlu dipertanyakan kualitasnya? Belum lagi banyaknya tuntutan dan beban kerja guru yang menyangkut pembuatan administrasi guru seperti program semester, program tahunan, rencana pembelajaran. Guru banyak mengeluh karena tidak hanya pembuatan administrasi guru ini tidak efisien tetapi juga sering tidak konsisten karena setiap pengawas yang datang ke sekolah membawa ide yang berbeda-beda tentang bagaimana administrasi guru yang seharusnya. Penjelasan para pengawas tentang administrasi guru lebih banyak mengarah kepada format dari administrasi tersebut, dan sangat jarang terlibat langsung dalam diskusi model pembelajaran yang bisa meningkatkan mutu atau kualitas belajar siswa. Begitu juga dengan sikap guru yang cenderung membuat administrasi guru tersebut untuk mengikuti ‘birokrasi’ padahal belum tentu apa yang dicantumkan dalam administrasi itu benar-benar dilaksanakan. Lalu sebenarnya apa yang menjadi goal pendidikan kita? Apakah memiliki administrasi guru yang lengkap dan sesuai dengan format yang benar ataukah memiliki proses belajar mengajar yang berkualitas di dalam kelas?

Bahkan, tidak hanya SDM Indonesia yang lemah tetapi juga fasilitas-fasilitas sekolah yang belum memadai. Di televisi banyak disiarkan tentang sekolah-sekolah yang bukan saja tidak lengkap fasilitasnya melainkan juga tidak layak untuk disebut sekolah. Bagaimana tidak, sekolah yang atapnya bocor, yang penyangga bangunannya rapuh dan bengkok, bahkan yang sebelah dinding kelasnya roboh masih digunakan sebagai tempat belajar.

Dengan demikian, gagasan-gasan tentang reformasi pendidikan di Indonesia menjadi sangat relevan, terutama dalam penyiapan SDM yang berkualitas. Reformasi pendidikan harus dimulai dengan perbaikan pendidikan pada semua jenjang dan jalur, meliputi perbaikan perencanaan, proses pembelajaran, dukungan alat dan sarana pembelajaran, serta perbaikan manajemen untuk mencapai perbaikan pada hasil pendidikan. Berdasarkan hal tersebut maka kita perlu lebih tahu secara mendalam apa itu reformasi pendidikan, manajemen pendidikan seperti apa yang diharapkan, apa dampak yang diharapkan dari manajemen pendidikan baru terhadap karakteristik sekolah serta bagaimana Indonesia sejauh ini menjalani reformasi pendidikan.

APA REFORMASI PENDIDIKAN

Isu reformasi pendidikan bukanlah sesuatu yang baru. Gagasan tentang reformasi pendidikan merupakan suatu refleksi pemikiran untuk melakukan berbagai perubahan pendidikan yang komprehensif sebagai respon terhadap perubahan dunia yang sedang terjadi. Kemunduran sektor perekonomian Indonesia merupakan suatu akibat dari lemahnya mutu pendidikan. Jika perekonomian Negara ingin bangkit maka sektor pendidikan harus diperbaiki karena SDM yang diluluskan akan mempengaruhi maju mundurnya perekonomian bangsa. Terkait dengan hal ini, Joseph Murphy (1992) dalam Rosyada (2004: 13) menegaskan bahwa reformasi adalah gagasan awal yang mendasari restrukturisasi pendidikan, yakni memperbaharui pola hubungan sekolah dengan lingkungannya dan dengan pemerintah, pola pengembangan perencanaan serta pola pengembangan manajerialnya, pemberdayaan guru dan rekonstrukturisasi model-model pembelajaran.

Pendidikan dalam millennium ketiga perlu direkonstruksi karena terdapat perubahan-perubahan sosial yang mengubah kehidupan manusia. Perubahan-perubahan sosial tersebut adalah proses globalisasi, demokratisasi, dan kemajuan teknologi informasi. Keseluruhan perubahan-perubahan besar tersebut mempengaruhi proses pendidikan.

Proses globalisasi ini membawa perubahan pada kehidupan masyarakat. Proses globalisasi menyatukan kehidupan manusia yang membawa perubahan tingkah laku manusia, lembaga-lembaga sosial serta hubungan antar manusia. Pendidikan tradisional yang dulu hanya terkungkung dalam ruang keluarga dan masyarakat nasional mendapat hembusan angin segar globalisasi. Sehingga, pendidikan di era globalisasi membuka jendela serta cakrawala umat manusia untuk belajar dari perkembangan dunia dan membentuk warga negara berwawasan global. Sejalan dengan proses globalisasi tersebut, lahirlah gerakan-gerakan yang menuntut hak asasi manusia yang digambarkan didalam semakin gencarnya proses demokratisasi. Semua orang ingin diakui keberadaannya, ingin diakui harkat serta hak-hak dan kewajibannya. Semua hal tersebut memberikan pengaruh terhadap pendidikan yang tidak terbatas pada perkembangan individu, tetapi individu yang hidup dengan individu yang lain dalam lingkungan lokal, nasional dan global. Proses demokratisasi ini lebih ditunjang oleh perkembangan lalu lintas informasi dan ilmu pengetahuan karena ditunjang oleh kemajuan teknologi informasi.

Perubahan kehidupan manusia di era globalisasi menuntut manajemen yang sesuai. Praktik manajemen pendidikan melalui pendekatan sentralistik harus membuka diri terhadap perubahan-perubahan di dalam kehidupan manusia yang berorientasi global. Apabila di masa lalu, keinginan lembaga-lembaga pendidikan melakukan inovasi seolah-olah terpasung karena manajemen pendidikan merupakan bagian dari birokrasi pemerintah, maka kini manajemen pendidikan perlu membuka pintu bagi lembaga-lembaga pendidikan untuk melakukan berbagai inovasi.

Salah satu perubahan mendasar dari reformasi pendidikan dalam era reformasi ini adalah lahirnya UU. No. 22 tahun 1999 serta Undang-undang no 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Kedua Undang-undang tersebut membawa perspektif baru yang amat revolusioner dalam konteks perbaikan sektor pendidikan, yang mendorong pendidikan sebagai urusan publik dan urusan masyarakat secara umum dengan mengurangi otoritas pemerintah baik dalam kebijakan kurikulum, manajemen maupun berbagai kebijakan pengembangan institusi pendidikan itu sendiri. Arah reformasi pendidikan ini adalah demokratisasi dalam pengembangan dan pengelolaan pendidikan, didukung oleh komunitasnya sebagai kontributor dalam penyelenggara pendidikan tersebut.

Hal tersebut diatas secara tidak langsung disinggung oleh Ackerman and Alscott dalam bukunya The Stakeholder Society bahwa orang tua, masyarakat, pemerintah daerah dan pemerintah nasional merupakan para stakeholders dari pendidikan yang berhak mengetahui dan mengontrol apa yang dilaksanakan dalam lembaga-lembaga pendidikannya.

Pada masa orde baru, pendidikan telah terhempas dari masyarakat dan telah menjadi milik penguasa. Masyarakat menerima saja apa yang direkayasa oleh pemerintah dengan birokrasinya mengenai pendidikannya. Sesuai dengan perkembangan masyarakat demokrasi, maka sikap masyarakat yang pasif serta kekuasaan pemerintah yang tidak terbatas terhadap pendidikan sudah harus dihilangkan. Tilaar (2002) menyatakan bahwa masyarakat adalah salah satu stakeholders terpenting pendidikan. Pendidikan adalah milik masyarakat. Apabila kita lihat pendidikan pada masa orde baru, maka masyarakat tidak mempunyai hak suara terhadap pendidikannya. Sementara dalam pendidikan demokratis, karena masyarakat telah berpartisipasi dalam bentuk pajak, maka masyarakat mempunyai hak untuk mengetahui dan mengontrol apa yang dilaksanakan didalam pendidikannya. Hal ini berarti visi, misi serta program yang dilaksanakan didalam lembaga pendidikan perlu diketahui oleh masyarakat. Masyarakat berhak ikut serta didalam setiap proses pelaksanaan pendidikan sejak pada tahap perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, dari lembaga-lembaga pendidikan. Pada masa lampau seakan-akan pendidikan itu hanya dimiliki oleh pemerintah dan birokrasinya. Apa yang diinginkan pemerintah dan apa yang dilaksanakan oleh birokrasi termasuk para pendidiknya, tidak dapat dan tidak boleh dinilai oleh masyarakat, padahal sebenarnya masyarakatlah pemilik pendidikan itu.

REFORMASI MANAJEMEN PENDIDIKAN

Apa yang terjadi pada manajemen pendidikan sentralistik sungguh perlu direkonstrukturisasi dengan manajemen pendidikan yang baru. Indonesia terdiri dari berbagai pulau, yang masyarakatnya berada pada rentangan sangat modern (dengan teknologi mutakhir) dan warga yang masih buta huruf dan hidup primitif. Hal ini menyebabkan tidak mungkin segala pengelolaan pendidikan selalu diputuskan di Jakarta. Begitu pula kurikulum yang berlaku untuk seluruh Indonesia sangatlah tidak mungkin. Karena itu diperlukan diversifikasi kurikulum sesuai dengan ciri khas daerah dan sekolah. Jika desentralisasi pendidikan itu betul-betul secara konsekuen dilaksanakan maka sekolah harus diberi keleluasaan menyesuaikan kurikulum nasional dengan kondisi dan ciri khas sekolah itu sendiri.

Dengan demikian reformasi pendidikan diharapkan menjangkau semua orang, kelompok dan unsur-unsur yang terkait dengan pelaksana pendidikan, yakni siswa-siswa sekolah itu sendiri, para guru, orang tua siswa, pimpinan sekolah, kantor pemerintah, buku teks dan penerbit buku teks serta unsur-unsur lainnya (Walker, 1997:80 dalam Rosyada, 2004:13). Dengan demikian, reformasi pendidikan mencakup perbaikan dan perubahan dalam sektor kurikulum, baik struktur maupun prosedur perumusannya, serta pengelolaan sekolah yang berbasis pada masyarakat.

Sehubungan dengan hal tersebut Tilaar (2002) menegaskan bahwa masyarakat merupakan salah satu pemegang hak dalam pendidikan, maka tujuan lembaga-lembaga pendidikan harus pula menampung apa yang diinginkan masyarakat, dan bukan hanya menampung apa yang diinginkan birokrasi. Di dalam kaitan ini, perlu ada lembaga atau struktur organisasi di dalam lembaga-lembaga pendidikan di mana masyarakat ikut berpartisipasi. Sayangnya, pada pendidikan Indonesia, partisipasi masyarakat baru mencakup penanaman investasi dalam pendidikan berupa SPP, pajak dan sebagainya. Sesungguhnya, masyarakat perlu diikutsertakan dalam merencanakan kurikulum pendidikan, evaluasi pendidikan serta hal-hal yang menyangkut proses belajar. Dengan demikian, tujuan manajemen pendidikan yang menampung semua unsur pemilik pendidikan itu harus dapat dirumuskan dengan baik agar tujuan pendidikan, yakni kualitas pendidikan yang tinggi dapat dicapai. Manajemen pendidikan tidak lain diarahkan kepada meningkatkan kualitas pendidikan, yaitu pendidikan yang mempunyai relevansi dan akuntabilitas. Relevansi pendidikan hanya dapat dicapai apabila masyarakat sendiri ikut serta di dalam proses pelaksanaan visi, misi, kebutuhan dari masyarakat pemiliknya. Demikian pula, suatu lembaga pendidikan memiliki kualitas yang tinggi apabila memiliki akuntabilitas terhadap masyarakatnya. Hal ini berarti, semua program yang ada di dalam lembaga pendidikan accountable terhadap pemiliknya. Semua ini dapat dilaksanakan melalui apa yang disebut manajemen pendidikan berbasis sekolah dan pendidikan berbasis masyarakat (Community based Education). Manajemen pendidikan berbasis sekolah, harus mengikutsertakan semua stakeholders di dalam sekolah tersebut. Dan selanjutnya, di dalam pendidikan berbasis masyarakat, semua stakeholders di dalam masyarakat harus ikut serta di dalam penyelenggaraan dalam semua aspek manajemennya. Paradigma berpikir yang menunggu petunjuk pelaksana pemerintah pusat haru diubah menjadi inisiasi yang dinamis, konstruktif, sehingga dapat melahirkan sekolah yang kompetitif, unggul, dengan mengoptimalkan potensi-potensi sumber daya yang dimiliki sekolah-sekolah tersebut.

Berbagai konsekuensi dari upaya-upaya reformasi ini adalah perubahan-perubahan yang tidak dapat dielakkan, seperti menurunnya peran birokrasi dalam kebijakan kurikulum operasional karena lebih banyak ditentukan oleh sekolah bersama komite sekolahnya sendiri. Setiap perubahan membawa konsekuensi, dan konsekuensi itu harus dihadapi bukan ditakuti, karena pasti terjadi.

SEKOLAH DENGAN MANAJEMEN PENDIDIKAN BERBASIS MASYARAKAT

Pelibatan masyarakat dalam pendidikan diharapkan membawa perubahan mendasar pada karakteristik sekolah. Perencanaan, pengelolaan dan evaluasi penyelenggaraan pendidikan disekolah akan menjadi lebih demokratis sebagai akibat dari masuknya partisipasi masyarakat sebagai stakeholders sekolah. Mekanisme demokratis yang terjadi pada seluruh perencanaan, pengelolaan dan evaluasi penyelenggaraan pendidikan di sekolah menyebabkan sekolah bertransformasi menjadi sekolah demokratis.

Didalam sekolah demokratis, semua informasi penting dapat dijangkau oleh semua stakeholders sekolah, sehingga semua unsur tersebut memahami arah pengembangan sekolah, berbagai problema yang dihadapinya, serta langkah-langkah yang sedang ditempuh. Dengan demikian, mereka akan bisa menganalisis relevansi kebijakan-kebijakan tersebut, memahami, mengkritisi dan memberi masukan, serta menentukan kontribusi serta partisipasi yang akan diberikannya untuk kesuksesan pelaksanaan program-program sekolah tersebut. Kemudian tidak hanya itu, didalam sekolah demokratis secara berangsur angsur terdapat sikap trust atau kepercayaan, yakni orang tua percaya pada kepala sekolah untuk mengembangkan program-program sekolah menuju idealitas yang diinginkan, kemudian, kepala sekolah juga percaya pada guru untuk mengembangkan program-program kurikulernya serta mengorganisir pelaksanaan programnya itu.

Karakteristik lain dari sekolah demokratis adalah adanya perhatian yang kuat terhadap hak-hak asasi manusia. Persoalan kesejahteraan para guru, serta semua yang terkait dengan pengelolaan sekolah harus menjadi perhatian serius, dan manajemen harus dilakukan secara terbuka, khususnya dalam aspek-aspek yang bersifat publik harus dikelola secara transparan, sehingga semua ikut terlibat dalam menentukan dan memutuskannya. Dan bagian yang amat sensitif serta selalu menjadi persoalan universal, adalah hak-hak minoritas dalam komunitas sekolah yang harus diperhatikan sama, tidak boleh ada diskriminasi atas dasar perbedaan ras, agama atau warna kulit.

Disamping hal tersebut diatas pengimplementasian pola-pola demokratis di sekolah mengantarkan para siswa pada praktik-praktik demokratis. Pelibatan masyarakat dalam menentukan program, mengambil keputusan, mengevaluasi program atau bahkan mengkritisi dan memberikan saran kepada sekolah memberikan rasa aman bagi para siswa. Salah satu contoh dalam pembinaan siswa, guru harus mampu memberikan perhatian yang sama pada semua siswa karena pendidikan itu untuk semuanya. Jadi, guru membina siswa tanpa membedakan antara yang pintar dan yang kurang pintar, semua diberikan perlakukan walaupun bentuknya berbeda. Mereka yang kurang pintar diberi waktu untuk memperbaiki dan meningkatkan kemampuannya. Guru tidak akan mau melakukan hal-hal yang tidak demokratis karena stakeholders sekolah selalu mengontrol dan mengevaluasi pembinaan siswa di sekolah. Pola-pola pembinaan seperti ini, telah memberi pengalaman-pengalaman praktik demokrasi bagi anak-anak yakni perhatian yang seimbang terhadap semua siswa, tanpa membedakan mayoritas dan minoritas dalam sekolahnya.

Pengembangan sekolah menjadi sekolah demokratis sangatlah relevan karena sesuai dengan tipologi sekolah abad ke-21. Menurut Lyn Haas (Haas, 1994 dalam Rosyada, 2004) sekolah-sekolah sekarang harus dapat memenuhi beberapa kualifikasi ideal:

1. Pendidikan untuk semua; yakni semua siswa harus mendapat perlakuan yang sama, memperoleh pelajaran sehingga memperoleh peluang untuk mencapai kompetensi keilmuan sesuai batas-batas kurikuler, serta memiliki basis skills dan ketrampilan yang sesuai dengan minat mereka, serta sesuai pula dengan dengan kebutuhan pasar tenaga kerja.

2. Memberikan skill dan ketrampilan yang sesuai dengan kemajuan teknologi terkini, karena pasar menuntut setiap tenaga kerjanya memiliki ketrampilan penggunaan alat-alat teknologi termodern, kemampuan komunikasi global, matematika, serta kemampuan akses pada pengetahuan.

3. Penekanan pada kerjasama, yakni menekankan pada pengalaman para siswa dalam melakukan kerjasama dengan yang lainnya, melalui penugasan-penugasan kelompok dalam proses pembelajaran. Hal ini sangat penting karena trend pasar kedepan adalah pengembangan kerjasama baik antar perusahaan ataupun perusahaan dan masyarakat; sehingga, pengalaman mereka belajar akan sangat bermanfaat dalam artikulasi diri di lapangan profesi mereka.

4. Pengembangan kecerdasan ganda; yakni bahwa para siswa harus diberi kesempatan untuk mengembangkan multiple intelligent mereka, dengan memberi peluang untuk mengembangkan skill dan ketrampilan yang beragam, sehingga mudah melakukan penyesuaian di pasar tenaga kerja.

5. Integrasi program pendidikan dengan kegiatan pengabdian pada masyarakat, agar mereka memiliki kepekaan sosial.

Kelima point diatas memperlihatkan adanya tuntutan kurikulum yang dinamis, progresif dan peka terhadap berbagai kemajuan dan perkembangan teknologi di luar sekolah, sehingga jika kurikulum dan perencanaan sekolah itu sangat ditentukan oleh struktur birokrasi yang kaku, sekolah bisa tertinggal oleh kemajuan dan sekolah akan kehilangan relevansinya dengan berbagai perubahan, yang pada akhirnya akan ditinggalkan oleh para stakeholders-nya sendiri. Oleh sebab itu model sekolah demokratis sangat relevan untuk dikembangkan.

INDONESIA DALAM REFORMASI MANAJEMEN PENDIDIKAN

Sejak lahirnya UU no 22 tahun 1999 tentang otonomi daerah yang meletakkan sektor pendidikan sebagai salah satu yang diotonomisasikan, pendidikan memasuki era baru dengan semangat demokratis. Daerah menyambut undang-undang tersebut karena memberi peluang pada sekolahnya untuk mengembangkan perencanaan sekolah, pengembangan kurikulum, maupun penetapan berbagai kebijakan mendasar dari sekolah tidak terkecuali sekolah negeri.

Persoalan besar dalam UU no 22 tahun 1999 adalah perubahan radikal dalam otoritas pengembangan pendidikan yang semula berada dalam kekuasaan pemerintah pusat melalui Depdiknasnya, kini terdelegasikan pada pemerintah daerah. Dan kini perubahan radikal tersebut memperoleh penguatan dengan diundangkannya UU no 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan nasional (Sisdiknas), yang menegaskan dalam pasal 4 ayat 1 bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultular dan kemajemukan bangsa. Poin penting dalam ayat ini adalah menegaskan bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis, artinya, keterlibatan masyarakat dan otoritas pengelola serta institusi-institusi pendukungnya akan lebih besar daripada pemerintah pusat.

Bersamaan dengan itu pada pasal 9 dinyatakan bahwa masyarakat berhak berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan. Akan tetapi rupanya pergeseran yang radikal dari sistem pendidikan sentralisasi ke sistem otonomi daerah belum bisa sepenuhnya diimplementasikan sesuai dengan teorinya.

Menurut Sumarsono (2004:7) desentaralisasi politik dan desentralisasi administrasi itu berbeda. Desentralisasi politik atau demokrasi menyangkut pada penyerahan kekuasaan untuk keputusan tentang pendidikan si tingkat pemerintahan yang lebih rendah. Desentralisasi administrasi atau birokrasi hakikatnya adalah suatu strategi manajemen. Kekuasaan politik tetap ditangan orang-orang di pusat organisasi, tetapi tanggung jawab dan wewenang untuk perencanaan, manajemen, keuangan, dan sebagainya diserahkan ke bawah.

Lalu apa yang terjadi di Indonesia? Dalam harian Kompas tertanggal 6 Desember 2007, Maria FK Namang menyoroti tentang pelaksanaan pendidikan Indonesia sebagai neokolonisasi pendidikan. Namang memberikan contoh paling pelaksanaan kurikulum dan Ujian Nasional (UN) dewasa ini.

Guru yang telah disertifikasi diharapkan menjadi desainer pendidikan disekolahnya. Ia perlu inovatif dan kreatif (atau setidaknya imitatif) dalam merancang model pembelajaran yang lebih tepat. Kenyataan justru lain. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) tidak lebih dari bundelan kertas yang disiapkan begitu rapi menyambut akreditas. Bas-basi proses belajar mengajar lalu diarahkan kepada pemantapan ujian negara...

Kutipan diatas menunjukkan bahwa perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi pendidikan yang menurut teori akan diserahkan kepada otoritas pengelola serta institusi-institusi pendukungnya; kenyataanya masih pula dipegang oleh pemerintah pusat. Hal inilah yang menyebabkan para pendidik mengalami kesulitan untuk melakukan inovasi pendidikan terkait dengan materi pelajaran yang diberikan. Dengan adanya campur tangan pemerintah menentukan UN, pendidikan sekolah di daerah kembali pada pelaksanaan pendidikan lampau yaitu mengikuti kebijakan strategi pendidikan pusat. Guru yang semula merasa bebas dari belenggu keterikatan pemerintah pusat untuk menentukan arah pembelajarannya kini malah kebingungan. KTSP yang semula tersengar begitu menjanjikan kebebasan dan kesempatan berinovasi kini malah terpenggal dengan pelaksanaan Ujian nasional. Bahkan Namang menyatakan bahwa kebijakan strategis pemerintah tersebut telah hadir sebagai model penjajahan baru. Kurikulum yang tidak diaplikasikan secara konsisten dan masuknya UN ditengah otonomi pendidikan merupakan dikte yang lebih tragis dari kebijakan penjajahan mengontrol pendidikan.

Sepanjang pendidikan dikelola dalam iklim yang tidak kreatif dan dinaungi oleh pelbagai jenis neokolonialisasi, hal-hal seperti spirit demokrasi, pembinaan, kemanusiaan, kesederajatan, tidak akan dapat terbentuk. Dengan demikian, memberikan kesempatan bagi iklim kreatif memasuki gedung-gedung sekolah kita rupanya salah satu hal yang bisa menjanjikan terjadinya kebebasan, inovasi, kreativitas dan transformasi sosial untuk pencerdaskan kehidupan bangsa.

PENUTUP

Sesunguhnya, pendidikan Indonesia memang masih dalam proses reformasi, yang berarti belum mencapai titik sempurna sebagai hasil reformasi itu sendiri. Tentu masih banyak perubahan yang mungkin terjadi setelah adanya berbagai evaluasi terhadap wajah pendidikan kita sekarang. Semoga apa yang menjadi harapan kita, yaitu meningkatnya sumber daya manusia melalui sektor pendidikan untuk membangkitkan negara kita dari keterpurukan akan bisa tercapai.

Daftar Pustaka

Namang, Maria FK. 2007. Neokolonialisasi Pendidikan Artikel harian kompas edisi 6 Desember 2007.

Rosyada, Dede. 2004. Paradigma Pendidikan Demokratis. Jakarta: Prenada Media

Sumarsono. 2004. Otonomi Pendidikan. .....

Tilaar, H.A.R. 2002. Perubahan Sosial dan Pendidikan. Jakarta: PT Grasindo

INDONESIA DALAM REFORMASI MANAJEMEN PENDIDIKAN

(Tugas Mata Kuliah Landasan Pendidikan)

Oleh:

I.G.A. Lokita Purnamika Utami

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS PENDIDIKAN GANESHA

2008

Teaching reading for children

Approaches and Classroom Ideas to Teaching Reading for Young EFL Learners

Pendekatan dan Ide-ide Pengajaran Membaca Untuk Pelajar Bahasa Inggris Sebagai Bahasa Asing

By

I.G.A. Lokita Purnamika Utami

Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris, UNDIKSHA

Jalan A. Yani. No 67, Singaraja 81116. Telp. (0362) 21541, Faks (0362) 25735

e-mail: lokita.purnamika@yahoo.com

ABSTRAK

Mengajarkan anak-anak membaca Bahasa Inggris sebagai bahasa asing (EFL Students) sangat berbeda dengan mengajarkan anak-anak membaca Bahasa Inggris yang hidup di lingkungan yang berbicara bahasa inggris (ESL students). Siswa yang belajar Bahasa Inggris sebagai bahasa asing hidup pada lingkungan yang sangat sedikit mengekspose Bahasa Inggris. Hal ini berarti guru-guru yang mengajarkan siswa tersebut haruslah berupaya lebih keras dalam mengajarkan siswa bahasa Inggris terutama mengajarkan membaca.

Ada beberapa pendekatan mengajar membaca seperti: phonics, whole-language approach, dan whole-word approach. Akan tetapi, guru harus mengetahui dan mempertimbangkan bagaimana siswanya belajar membaca dalam bahasa ibunya sebelum mereka diajarkan membaca dalam bahasa asing. Misalnya, anak-anak yang diajarkan membaca bahasa ibunya dengan pendekatan phonics, sangat tidak dianjurkan untuk mengajarkan bahasa Inggris dengan pendekatan yang sama. Hal ini disebabkan karena hal ini bias menyebabkan kebingungan yang luar biasa. Jadi, tidak semua pendekatan tersebut bisa diaplikasikan pada setial kelas EFL

Membuat kelas membaca menyenangkan sangatlah membantu anak-anak untuk lebih mudah menyukai membaca dalam bahasa inggris. Maka dari itu, guru-guru pengajar anak-anak haruslah mencari suatu cara untuk membuat pelajaran Bahasa Inggris menyenagkan dan menarik.

Kata-kata kunci: membaca, pelajar anak-anak, pendekatan

Introduction

There is a common view among academics that young EFL learners should focus on listening and speaking skills more than reading and writing. This is quite a serious misconception. Young ESL learners may be able to pick up a lot of English naturally without being able to read and write. This is possible since they are surrounded with people speaking English and do experience speaking with them. However, EFL learners may find it difficult in this way. To be able to speak beyond basic level, they need to be able to read and write.

The other discouraged factor of teaching reading is many teachers feel that teaching reading, and also writing are too difficult for children and that it is more enjoyable to just learn listening and writing. But it depends on the method used by the teacher. Many common method of teaching reading for elementary school can be found in the internet some of which are definitely too difficult; therefore, not all are applicable in elementary EFL English class, but there are also alternatives that are not difficult. There are also a lot of children, particularly those who are quiet and shy, who enjoy reading more than speaking.

A traditional English class for young EFL learner is one which is not communicative, overemphasizes reading and is demotivating for many students. Many students feel discouraged and frustrated to read English since the lesson is commonly started off with quite long passage followed by a series of questions which demand good ability in English to answer. However, this problem, again, is a matter of using the right teaching method for certain group of students. It is not possible to adopt a sophisticated method of teaching reading for 5 years old ESL learners, to teach 5 year old EFL learners. Teacher should be able to select and apply right method considering the students’ ability.

There is also other common EFL English class which is characterized by teaching speaking dominantly by using drill. The result is the children produce English like parrot. They can say things like, cat, dog, table, how are you, I’m fine and you? Perfectly, but they can not use English flexibly.

Many young EFL learners can speak English flexibly but this happens since they have a particular advantage. One or both parents speak English well, they have spend time overseas, or they have English-speaking friends they play with. However, there are also some children who can speak English flexibly since they have learn English in a reasonably balanced way. They do a lot reading and writing as well as speaking and listening. Reading a lot enhance their knowledge in English, especially their vocabulary. In addition, books open up other world to young children, and making reading an enjoyable activity is a very important part of language learning experience.

Many of young learners education experts believe that teachers of young learner- both EFL and ESL- can’t rely on the spoken words only. Even though exposing a lot of spoken words is really important to generate children’s concept of pronouncing words, but there are a lot of things need to be introduce to them beside pronunciation. Children need to be exposed what make them interested to learn language, especially the foreign one. Teachers of young learners will need plenty of object, pictures, flashcards, coloring pens, drawing paper, text book for children, story book and to make full use of the school and the surrounding.

Discussion

1. The Young Language Learners

Scott and Ytreberg ( 1 : 2000) state that there is a big difference between what children of five can do and what children of ten can do. Some children develop early, and some later. Some children develop gradually, while others in leaps and bounds. it is not possible to say that all children of five can do x, at the age of seven they can all do y, or that at the age of ten they can all do z. However it is possible to point out certain characteristics of young children which should be aware of and take into account in teaching.

Scott and Ytreberg also point out that children are divided into two main groups, the five to seven year olds and the eight to ten year olds. Through children characteristics of their development, it is assumed that the five to seven years old are all at level one (the beginner stage) and the eight to ten year olds may also be beginners, or they may have been learning the foreign language for some time, so there are both level one and level two pupils in the eight to ten age group.

What five to seven year olds can do at their own level can be seen as follows:

  1. They can talk about what they are doing and their experience. It is not unusual that children of this age very eager to tell the adults about what they are doing or what they have done or heard
  2. They can plan activities. Children sometimes imagine and plan what they are going to do on weekends. They are very enthusiasm in preparing all things they need for their weekend-plan. They also want their parents to know and talk to them about it
  3. They can argue for something and reasoning about what they think. Children are usually very tough in arguing. Sometimes they support their opinion with any reason to win the debate. They want to show that they know what they say.
  4. They can use their vivid imagination. It is not unusual to find a child talking alone but pretend as if he were with somebody. A child may make up story and tell his father that he just won a fight with a very frightening monster.
  5. They can use a wide range of intonation pattern in their mother tongue. Children like singing and sometimes change the tone just to attract attention.
  6. They can understand direct human interaction. Children understand that their parents love them through the affection behavior demonstrated by their parents.
  7. They understand situation more quickly than they understand the language used. A child of five can sense that their parents are in fight even though he does not understand their words.
  8. They have a very short attention and concentration span. Children of this age are very likely to see something and then could be shortly attracted by something else.
  9. They have difficulty in knowing what is fact and what is fiction. Children believe that the sleeping beauty princess in the story is alive human and need to be consoled for being cursed by the witch.
  10. They don’t ask what they don’t understand, they either pretend to understand or they understand in their own terms
  11. They can’t decide what to learn
  12. They enjoy playing alone, and even prefer playing alone than being put in groups and think that what they are doing is a real work.

Children of five are little children. Children of ten are relatively mature children with an adult side and a childish side. Many of the characteristics listed above will be things of the past.

As a comparison, the following is a series of things that children of eight to ten can do:

  1. Their basic concepts are formed. They have very decided views of the world. They understand that earth is round not flat.
  2. They can tell the difference between fact and fiction. They realize the characters in a story is invented. They are a life-like character made up from imagination
  3. They ask questions all the time. They always need either to justify what they think or to ask what they don’t know
  4. They rely on the spoken world as well as the physical world to convey and understand meaning. Children of this age already understand body language. A child will know that somebody say a lie since he talks to him but never look at his eyes.
  5. They are able to make their own decision about their learning. Children of this age may object or agree to learn something this because they have already definite views about what they like and don’t like doing.
  6. They have develop sense of fairness about what happens in the classroom and begin to questions the teacher’s decision
  7. They are able to work with others and learn from others. They are ready to cooperate in groups and enjoy the togetherness

2. Approaches to Reading

As it is stated before teaching reading demands a right approach for certain level of students. (David Paul: 2003) There are 3 approaches which are discussed in this article: phonics approach, whole-word approach, and whole-language approach.

a.Phonics

Phonics is a widely used method of teaching children to read, although it is not without controversy. Children begin learning to read using phonics usually around the age of 5 or 6. Teaching English reading using phonics requires children to learn the connections between letter patterns and the sounds body of information about phonics rules, or patterns.

The spelling systems for some alphabetic languages, such as Spanish, are relatively simple because there is nearly a one-to-one correspondence between sounds and the letter patterns that represent them. English spelling is more complex because, although the spelling patterns usually follow certain conventions, every sound can be legitimately spelled with different letters or letter combinations.

For Example: the letter cluster ough represents

/ʌf/ as in enough,

/oʊ/ as in though,

/u/ as in through,

/ɔf/ as in cough, and

ɔ/ as in bough.

Although the patterns are inconsistent, when English spelling rules take into account syllable structure, phonetics, and accents, there are dozens of rules that are 75% or more reliable.

A selection of phonics patterns is shown below.

Vowel phonics patterns

  • Short vowels are the five single letter vowels, a, e, i, o, and u when they produce the sounds /æ/ as in cat, /ɛ/ as in bet, /ɪ/ as in sit, /ɑ/ as in hot, and /ʌ/ as in cup. The term "short vowel" does not really mean that these vowels are pronounced for a particularly short period of time. The use of the term is more conventional than meaningful.
  • Long vowels are synonymous with the names of the single letter vowels, such as /eɪ/ in baby, /i/ in meter, /ɑɪ/ in tiny, /oʊ/ in broken, and /ju/ in humor. The way that educators use the term "long vowels" differs from the way in which linguists use this term. In classrooms, long vowels sounds are taught as being "the same as the names of the letters."
  • Schwa is the third sound that most of the single vowel spellings can produce. The schwa is an indistinct sound of a vowel in an unstressed syllable, represented by the linguistic symbol ə. /ə/ is the sound made by the o in lesson. Schwa is a vowel pattern that is not always taught to elementary school students because it is difficult to understand. However, some educators make the argument that schwa should be included in primary reading programs because of its importance in reading English words.
  • Closed syllables are syllables in which a single vowel letter is followed by a consonant. In the word button, both syllables are closed syllables because they contain single vowels followed by consonants. Therefore, the letter u' represents the short sound /ʌ/. (The o in the second syllable makes the /ə/ sound because it is an unstressed syllable.)
  • Open syllables are syllables in which a vowel appears at the end of the syllable. The vowel will say its long sound. In the word basin, ba is an open syllable and therefore says /beɪ/.
  • Diphthongs are linguistic elements that fuse two adjacent vowel sounds. English has four common diphthongs. The commonly recognized diphthongs are /aʊ/ as in cow and /ɔɪ/ as in boil. Four of the long vowels are also technically diphthongs, /eɪ/, /ɑɪ/, /oʊ/, and /ju/, which partly accounts for the reason they are considered "long."
  • Vowel digraphs are those spelling patterns wherein two letters are used to represent the vowel sound. The ai in sail is a vowel digraph. Because the first letter in a vowel digraph sometimes says its long vowel sound, as in sail, some phonics programs once taught that "when two vowels go walking, the first one does the talking." This convention has been almost universally discarded, owing to the many non-examples. The au spelling of the /ɔ/ sound and the oo spelling of the /u/ and /ʊ/ sounds do not follow this pattern.
  • Vowel-consonant-E spellings are those wherein a single vowel letter, followed by a consonant and the letter e makes the long vowel sound. Examples of this include bake, theme, hike, cone, and cute. (The ee spelling, as in meet is sometimes considered part of this pattern.)

Consonant phonics patterns

  • Consonant digraphs are those spellings wherein two letters are used to represent a consonant phoneme. The most common consonant digraphs are ch for /tʃ/, ng for /ŋ/, ph for /f/, sh for /ʃ/, th for /θ/ and /ð/, and wh for /ʍ/ (often pronounced /w/ in American English). Letter combinations like wr for /ɹ/ and kn for /n/ are also consonant digraphs, although these are sometimes considered patterns with "silent letters."
  • Short vowel+consonant patterns involve the spelling of the sounds /k/ as in peek, /dʒ/ as in stage, and /tʃ/ as in speech. These sounds each have two possible spellings at the end of a word, ck and k for /k/, dge and ge for /dʒ/, and tch and ch for /tʃ/. The spelling is determined by the type of vowel that precedes the sound. If a short vowel precedes the sound, the former spelling is used, as in pick, judge, and match. If a short vowel does not precede the sound, the latter spelling is used, as in took, barge, and launch.

The final "short vowel+consonant pattern" is just one example of dozens that can be used to help children unpack the challenging English alphabetic code. This example illustrates that, while complex, English spelling retains order and reason.

Sight words and high frequency words

  • There are words that do not follow these phonics rules, such as were, who, and you. They are often called "sight words" because they must be memorized by sight.
  • Teachers who use phonics also often teach students to memorize the most high frequency words in English, such as it, he, them, and when, even though these words are fully decodable. The argument for teaching these "high frequency words" is that knowing them will improve students' reading fluency.

Even though phonics can be very complicated, as all the pronunciation rules are introduced, but it can be a very useful way into reading for those learners who are not familiar with the roman alphabet or who do not have a one to one relationship between letters and sounds in their own written language. It is not to be recommended as the only way for those who already knows Roman alphabet, and it should not be taught to pupils who are learning to read using phonics in their own language –such as Indonesian- since this could lead to great confusion in pronunciation.

b. Whole-word Approach

Children learn cat, dog, table as whole, independent words. They are learning independent words and not focusing on the connection between one word and another. The children may practice reading by drawing pictures, next to the words, by coloring pictures next to the words, putting the words in puzzle, and these method certainly do a lot to increase the children’s retention of the words.

In the environment where there is a lot of natural reinforcement of English, this approach may achieve some success. However, in EFL situation where there is little natural reinforcement, the number of independent words the children are able to memorize comfortably is limited. Therefore, teacher may feel oblige to teach and test the vocabulary. This way the language is forced into the children, and many of them come to feel that learning English is difficult for them. Therefore, teacher needs to avoid technique which forces the language into the children. All things that need to be introduced should make children interested in learning English, and not afraid of learning it.

Ideally, children should develop literacy through real life settings as they read together with parents or other caring adults. Children begin to make connections between printed words and their representations in the world. Adults should keep in mind that children may learn to read at different paces during kindergarten and first grade. If parents and teachers work together and demonstrate mutual respect, children's learning will be reinforced at home and in the classroom

c. Whole-language Approach

The idea of "whole" language has its basis in a range of theories of learning related to the epistemologies called "holism." Holism is based upon the belief that it is not possible to understand learning of any kind by analyzing small chunks of the learning system. This is the theoretical basis for the term "whole language."

The whole language approach to phonics grew out of Noam Chomsky's conception of linguistic development. Chomsky believed that humans have a natural language capacity, that we are built to communicate through words.

Whole language approach stresses that language should be learned in a natural, meaningful context. Words should be learned as complete words, and sentences and whole stories should be learned with as little analysis as possible. The children are expected to guess the meaning of unfamiliar words from the context or from hints. One example of a whole-language approach is students follow stories in books as we read them aloud, and in time, they will be able to read the stories by themselves

For this approach to work well, the children need a lot of exposure to words orally before they read or write them. They can then guess how to read words from context without breaking the words down phonically. Most children in EFL classes do not have enough exposure to oral English to be able to do this well.

This approach which placing emphasis on teaching words orally before reading is more appropriate for native speakers of English. However, it doesn’t mean that this approach can’t be used in EFL class. This approach may be combined with other approach to achieve some success. Moreover, combination of phonics and whole language learning can make a balanced approach to beginning reading, as long as Phonics is not taught as a separate "subject" with emphasis on drills and rote memorization. The key is a balanced approach and attention to each child's individual needs.

3. Building up to Reading

Speaking and listening are the first second language skills young learners use. Some will start to speak and understand a second language before they are proficient readers in their own language, and teachers of bilingual children often find that their students need to master reading in one language before they tackle reading in the second language. Teachers of younger children need to be sensitive to this, and at all ages, the oral / aural skills should be firmly established first before introducing reading and writing skills. For very young learners, the introduction of written English must be very gradual, starting with simple words and passive recognition. It's best to wait until written skills in children's first language are well established before you start to introduce reading in English. Gradually, students should build their reading skills so they can read silently and understand words, then sentences, and finally texts.

The following are some ideas to build up to reading:

Using visuals

Reading can be daunting if learners are faced with words that they do not understand and think that these words stop their overall understanding of the text. Pictures, illustrated story books and visuals can help with this situation, and teachers need to train their students to use the pictures which go with texts to help them. Teacher of EFL young learner can:

  • tell the class the story, using and pointing to the pictures before they read it.
  • get the students to tell the story from the pictures before they read the text.
  • ask the students to point to the object / picture which relates to the unknown word as you read.
  • remove unfamiliar words from the text before the students read it; ask them to use the pictures to complete the gaps with the best word in their own language, then supply them with the English words. In this way, they reach the meaning before they hear the word.

Reading aloud

Reading aloud is often used in classrooms and is a useful activity for helping EFL young learners with pronunciation. It can also, in some cases, show you whether your students have recognized the written form of words they know orally. Some words may be very familiar to your students when spoken, for example 'page', but their written form is not so easily related to the spoken form as it is with other words, such as 'leg'. Reading aloud can help to highlight this type of problem.

Reading Corner

Create a reading corner where children can choose a storybook. This can be done either when a student finishes a task early, or all the students reading in class at the same time. This reading corner gives students chance to choose the books of their interest. This allows them to have more experience with books by themselves. Teacher of EFL young learners should select appropriate books for their students because “too-difficult” or “too-serious” books may discourage them to read.

Games and Fun activities

Make reading fun for EFL young learners is a must. In this way, they will learn to read in English without noticing. Reading doesn't have to be done quietly and sitting down; however, make sure that sometimes it is a quiet activity, especially as the students approach taking their tests. Try these ideas:

1. Pairing and Memory games

Do lots of pairing and memory games in class, like snap for matching pictures and words.

You can extend this to matching sentences with pictures, for example by showing actions in progress with corresponding sentences, or single or multiple objects / people and sentences beginning 'there is/there are'.

2. Labelling

Label the classroom, starting with the most useful words such as 'board', 'chair' etc. and gradually adding to them as your students' vocabulary develops. Add colors and other adjectives.

Once your students can recognize these words easily, remove the labels and give them sticky card or papers with the same words on them. They then have to label the classroom.

Similarly, get your students to label parts of each others' bodies, or items of clothing. You could start by labeling yourself!

3. Using dictionaries

Always have some picture dictionaries in the classroom. Use them in activities in class so the children get used to using them and become more autonomous in their learning.

Here are some ideas on how to use dictionaries in the classroom:

Ø Children can make up their own picture dictionary. The picture dictionaries could be simply a picture with the word written next to it for young children. For learners with a higher level of English, you can include more language by getting them to write a sentence or a definition next to the picture.

Ø Provide dictionaries when the children are doing group or pair work. You can use dictionaries that focus on picture support and progress to dictionaries that provide written definitions when the children are at an appropriate level to cope with less support from pictures.

Ø Make up a questionnaire about the elements in a dictionary to introduce how to use one. This could be a way to develop their awareness of the content and teach the children how to get the most out of a dictionary.

Ø Get the children to check their spelling by using an English dictionary.

Ø Using picture dictionaries, get children to find one new word they'd like to learn and to check its pronunciation with you. They can then practise using this word or 'teach' it to their classmates.

Ø Using dictionaries is a good way to build up basic reading skills; at the lower levels learners have to recognise letters and learn about spelling patterns; once they have progressed onto English-English dictionaries, they need to read and understand simple definitions, as they do in the Cambridge Young Learners English tests.

4. Matching anagrams

Recycle vocabulary with anagrams so the children get used to spelling words correctly. Get the students to match anagrams which let them think and memorize the spelling simultaneously.

p-a-n

n-a-p


d-e-a-r

r-e-a-d

For example:

5. Finding my partner

Prepare two sets of cards. One set has questions and the other set has the corresponding answers. You will need one card for each student in your class.

Divide the class into two groups.

Give the question cards to one group and the answer cards to the other so each child has a card.

Children read their card and then look for a partner in the other group so they can fit their cards together, e.g. 'Hello, how are you today?'; 'Fine, thanks and you?'

When all the pairs have been found, children should read out their cards and try to continue a mini-conversation.

Conclusion

There are many approaches that can be taken into account in teaching reading for children, especially for EFL students. However, not all approaches are appropriate for all EFL students. Teacher may need to consider how their students learn their first language before they decide their approach in teaching reading in English. For instance, children who are taught reading their first language by using phonics approach should not be taught by using phonics when they learn reading in English. The difference concept of how two letters combination may sound in their language and in English may create a great confusion. Moreover, the students need to be familiar with reading in their language before they start reading a foreign language.

Making the students learn to read English without noticing is very effective. Therefore, teacher needs to dig up or find many ideas or reading-like activities which may help their students read in English unconsciously and in a more fun way.

References:

Scott, Wendy A and Yterberg, Lisbeth H. 2000. Teaching English to Children. Hongkong: Longman Asia ELT

David Paul. 2003. Teaching English to Children in Asia. New York: Longman Inc

PETA contributors. 1990. Literacy at Home and School: A guide for Parents. Primary English Teaching Association

…..an Article: “Whole Language Approach” available online at http://en.wikipedia.org/wiki/Whole_language

…..an Article: “Phonics in English” available at http://en.wikipedia.org/wiki/phonics

an article: “Phonics and whole language learning: A Balanced Approach to Beginning Reading” available on line at www.kidsource.com/kidsorce/content3/phonics.whole.p.kl2.3.html-19k