Monday, June 4, 2012

TEKNIK GUIDED DIALOGUE

TEKNIK GUIDED DIALOGUE UNTUK MENUMBUHKAN KEMAMPUAN PRAGMATIK 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Pengertian Kemampuan Pragmatik Pragmatik adalah sebuah studi tentang bahasa dari sudut pandang pemakai bahasa, terutama mengenai pilihan yang mereka ambil, ketidakleluasaan yang mereka hadapi dalam berinteraksi sosial, serta effek dari bahasa yang dipakai terhadap lawan bicara selama proses berkomunikasi (Crystal dalam Kasper: 1997). Liu (2005) menyatakan bahwa pragmatik adalah bagian dari ilmu bahasa yang berkembang sekitar tahun 1970an. Pragmatik adalah ilmu tentang bagaimana orang memahami dan menghasilkan suatu ucapan yang bersifat komunikatif dalam situasi nyata.. Ini membedakan dua makna dalam setiap ujaran pada komunikasi lisan. Selain itu, pragmatik juga merupakan suatu ilmu tentang bagaimana suatu susunan kata atau frase dapat nenyampaikan makna suatu kalimat; hal ini berhubungan dengan sifat ambigu suatu kalimat. Tambahan pula, Thornbury (2005: 16) menyatakan bahwa pragmatic menggambarkan hubungan antara bahasa dan konteks dimana bahasa itu digunakan, meliputi tujuan dan siapa yang diajak berbicara. Tentang bagaimana si pembicara menyampaikan pesannya sehingga maksudnya dapat tercapai, dan tentang bagaimana si pendengar dapat mengghubungkan informasi yang mereka miliki agar dapat memahami apa yang mereka dengar. Sehubungan dengan kompetensi pragmatik, Kasper (1997) menyatakan kompetensi pragmatik sebagai suatu kemampuan untuk memahami dan menghasilkan suatu ucapan yang meliputi pengetahuan tentang jarak sosial, status sosial antar pembicara, pengetahuan tentang budaya dan ilmu tentang bahasa secara implisit dan ekplisit. Menurut Brown (2007), kompetensi pragmatik adalah kemampuan untuk menghasilkan serta memahami aspek-aspek bahasa dari segi fungsi dan social; illocutionary competence. Sependapat dengan Brown, Dessalles (1998) menyatakan bahwa kompetensi pragmatik membuat kita dapat memakai bahasa dalam situasi nyata, agar dapat memberikan argument yang relevan, serta dapat menjadi pembicara yang berkompeten. Kompetensi pragmatik adalah kemampuan untuk memahami maksud orang lain (Thornbury, 2005: 16). Jadi, peneliti menyimpulkan bahwa kompetensi pragmatik adalah cara yang kita lakukan untuk dapat menyampaikan maksud kita dalam proses berkomunikasi. Hal ini meliputi bagaimana kita memakai bahasa dengan baik dan benar. Kegiatan berbicara diyakini memberikan banyak kesempatan pada siswa dalam menegmbangkan kompetensi pragmatik mereka sebab berbicara memberi ruang untuk berinteraksi dengan sesama teman. Seperti halnya berbicara, kompetensi pragmatik juga mengaharapkan suatu interaksi langsung dalam pemakaian bahasa asing. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa berbicara adalah tempat pengembangan kompetensi pragmatik, terutama guna meningkatkan aspek pronunciation, grammar, vocabulary, fluency, serta comprehension. Dalam proses belajar, ruang kelas adalah hal yang paling penting dan juga merupakan satu-satunya sumber atas masukan-masukan yang relevan guna peningkatan kompetensi pragmatik siswa sebab ruang kelas memberi ruang untuk berinteraksi dengan pemakai bahasa dengan kemampuan bahasa yang setara. Menjadi hal yang penting untuk melihat penegertian berbicara menurut para ahli karena berbicara berhubungan erat dengan kompetensi pragmatik. Sama seperti komptensi pragmatik, berbicara juga merupakan hal penting yang perlu diajarkan karena dengan memiliki kemampuan berbicara akan memudahkan siswa untuk mengekpresikan ide, perasaan, kejadian, serta pengalaman mereka kapan dan dimanapun mereka berada. Berbicara juga merupakan bagian dari kehidupan kita sehari-hari. Cross (1999) menyatakan bahwa berbicara sebagai suatu bentuk kemampuan berkomunikasi, digunakan untuk mengungkapkan ide seseorang maupun kejadian dalam situasi apapun. Jadi, tak dapat dipungkiri bahwa berbicara harus dapat dikuasai oleh semua siswa mengingat berbicara adalah dasar dari semua pengembangan bahasa. Richards, dkk dalam Jabu (2000) seperti dikutip dalam Sasmedi (2008) menyatakan bahwa berbicara sangat jarang dilakukan dalam komunikasi satu arah (monolog). Beebicara melibatkan adanya partisipasi dari pendengar/ lawan bicara. Dalam suatu komunikasi interactive, dalam waktu yang bersamaan seorang dapat menjadi pembicara sekaligus pendengar.jadi berbicara merupakan kemampuan untuk menggunakan bahasa secara lisan. Menurut The National Capital Language Resources Center (2003) dalam Arista Dewi (2008), berbicara meliputi tiga area yaitu mechanics (pengucapan, struktur, dan kosa kata), fungsi (transaction dan interaction, sosial dan aturan sosial) and norma (turn-taking, kecepatan ujaran, lama pausing antara para pembicara). Berbicara merupakan suatu skill dan sangat penting untuk dikembangkan dan dilatih secara terpisah dari kurikulum yang lebih menekankan pada struktur kalimat. Berbicara juga merupakan skill paling penting untuk diajarkan oleh para guru di sekolah. Kemampuan berbicara adalah bagian dari semua kemampuan siswa dalam berbahasa. Memiliki kemampuan untuk berbicara sangatlah penting sebab berbicara tidak sekedar mampu memahami tata bahasa melainkan tentang bagaimana mengaplikasikan pengetahuan ini dalam menyampaikan pesan di dunia nyata. Penulis sendiri mengartikan bahwa berbicara adalah proses penyampaian informasi, perasaan, pikiran, dan pengalaman kepada orang lain melalui proses berkomunikasi yang melibatkan pembicara dan pendengar. Berdasarkan pemaparan di atas, untuk menjadi seorang pembicara yang baik, seseorang harus memiliki karakteristik seperti di bawah ini: 1) Memiliki kejelasan dan percaya diri untuk menyampaikan pandangan maupun informasi. 2) Menggunakan bahasa untuk mencari, menciptakan pertanyaan maupun untuk memperbaharui ide-ide. 3) Mengakui bahasa sebagai alat berkomunikasi. 4) Mampu bekerja secara efektif dengan orang lain dengan peranan yang berbeda. 5) Memiliki berbagai jenis gaya yang digunakan secara tepat. Dilihat dari karakteristik tersebut, seorang pembicara yang baik tidak cukup hanya dapat berbicara secara lancar melainkan juga harus dapat memberikan pandangan dengan jelas dan percaya diri saat berbicara. Mereka berbicara untuk menyampaikan apa yang ada dalam pikiran mereka. Selain itu, pembicara yang baik hendaknya juga dapat menggunakan gaya berbicara yang tepat sesuai dengan kondisi dan situasi saat mereka berbicara. Dalam kelas berbicara, seorang guru hendaknya mengetahui karakteristik suksesnya suatu kegiatan berbicara. Sasmedi (2008) menyatakan bahwa kelas berbicara yang berhasil hendaknya memiliki karakteristik seperti di bawah ini: 1) Siswa banyak bicara 2) Adanya partisipasi para siswa 3) Motivasi tinggi 4) Bahasa dapat dipahami Adapun masalah dalam berbicara yaitu: 1) Malu 2) Tidak ada bahan pembicaraan 3) Rendahnya partisipasi siswa 4) Menggunakan bahasa ibu 2.1.2 Dialog Dalam Kegiatan Berbicara Berbicara adalah kemampuan bahasa yang digunakan untuk menyampaikan ide atau peristiwa dalam berbagai situasi hendaknya memberi kesempatan kepada siswa untuk belajar dan berlatih sekaligus untuk berdiskusi dan terlibat dalam kegiatan interaktif. Jadi diperlukan adanya alat untuk membangun dan memberi kesempatan kepada siswa untuk berlatih agar dapat berbicara secara komunikatif. Berdasarkan hal tersebut, dapat dikatakan bahwa dialog adalah kegiatan yang paling sesuai dalam kelas berbicara guna meningkatkan kompetensi pragmatik siswa. Dialogue sesungguhnya adalah tehnik lama yang berkembang pada masa Audiolingual Method. “In audiolingualism, speaking is taught by having students repeat sentences and recite memorized dialogues from the textbook. … The assumption underpinning the Audiolingual Methods is that students learn to speak by practicing grammatical structures until producing those structures has become authentic. When this happens, it is hoped that the learners will be able to carry on conversations. As a result, “teaching oral language was thought to require no more than engineering the repeated oral production of structures …. concentrating on the development of grammatical and phonological accuracy combined with fluency”. (Bygate dalam Bailey, 2005:17) Dialog adalah adalah method yang dikembangkan pada masa Audilongualism. Teori ini menyatakan bahwa pengulangan/drill serta koreksi dapat membangun kebiasaan berbicara yang baik dimana siswa menjadi lebih lancar dan terbiasa. Dialog dapat dipandang sebagai jenis drama pendek, biasanya diperankan di kelas dari sekedar membaca nyaring (Cross, 1991: 92). Dobson (1972) dalam Subiana (2007: 20) mengartikan dialog sebagai bentuk percakapan pendek antara dua orang yang berperan sebagai pembicara sekaligus pendengar. Dialog meliputi kegiatan berkomunikasi yang dapat digunakan untuk membangun kemampuan berkomunikasi guna meningkatkan kompetensi pragmatik siswa. Dialog melibatkan lebih dari satu orang dan orang-orang tersebut memberi respon terhadap yang lain. Dialog adalah pertukaran pikiran, informasi atau perasaan dengan orang lain. Dalam kehidupan sehari-hari maupun di dalam kelas, dialog dipakai untuk membangun rasa percaya diri, membangun hubungan, menilai perasaan dan mencari informasi. Dengan dialog, siswa secara produktif dapat membicarakan tentang topic tertentu seperti tugas, sastra, film dan televisi serta gossip yang sedang berkembang. Dialog yang melibatkan siswa secara berpasangan dalam prosesnya dapat memotivasi dan membangun rasa percaya diri siswa. Pennington dalam Bailey (2005:38) menyebutkan bahwa penggunaan pair work dan group work dapat meningkatkan motivasi siswa dan memberi banyak kesempatan, kemandirian, kreatifitas, dan praktek nyata. Pair work dan group work juga memberi masukan kepada siswa dari sumber lain selain guru terutama dari teman sebaya mereka. Tambahan pula, dari penelitian-penelitian yang telah dilakukan, didapatkan bahwa siswa yang bekerja berpasangan memiliki waktu bicara lebih banyak dibandingkan dengan siswa yang bekerja secara individu yang hanya memperhatikan penjelasan guru. Setiap penelitian kelas menemukan bahwa siswa yang berbicara secara berpasangan juga mampu menciptakan jenis ucapan yang lebih beragam meliputi yang biasanya diperagakan oleh guru (Long et.al dalam Bailey, 2005: 38). Dalam kelas berbicara, siswa aktif atau biasa disebut students-centered harus dapat terlaksana. Walaupun demikian, guru tetap berperan dalam mengorganisasikan kelas untuk kegiatan berbicara. Scott dan Ytreberg (1990:39) mengatakan bahwa dialog adalah cara yang tepat untuk menjembatani antara tugas yang diberikan bantuan dan yang bebas. Jika kelasnya padat maka kita perlu membagi siswa dalam bentuk kelompok kecil atau berpasangan sehingga setiap individu dapat berbicara lebik banyak. Membagi siswa dalam bentuk pasangan atau group untuk mengerjakan dialog yang diberi petunjuk adalah cara sederhana untuk menghadapi kelas gemuk dimana siswa diharapkan untuk membuat dialog sesuai dengan situasi dan petunjuk yang diberikan. Dalam menggunakan dialog, Subiana (2007: 21) mengajukan beberapa langkah yang dapat dilakukan guna meningkatkan kemampuan berbicara siswa diantaranya: 1) Guru dapat memodifikasi dialog menyesuaikan dengan lingkungan sekitar siswa. 2) Guru dapat menulis dialog di papan tulis dan memberikan kesempatan pada siswa untuk memberikan saran atau perubahan sesuai dengan tema percakapan yang disusun. 3) Guru dapat menyuruh siswa memparafrase kalimat-kalimat dalam dialog. 4) Agar dapat menggunakan ekspresi yang lebih bebas, guru dapat memberikan situasi sejenis seperti yang ada pada dialog dan meminta siswa untuk membawakan dialog yang mereka buat dengan bahasa mereka sendiri. 5) Guru menyediakan situasi seperti pada poin 4, tapi dalam hal ini guru membacakannya di depan kelas dan meminta setiap siswa menulis dialog mereka sendiri sesuai dengan situasi yang diberikan sebagai tugas tambahan. Tugas tersebut nantinya dikumpulkan dan diperiksa oleh guru. 6) Dialog tersebut digunakan sebagai poin tambahan untuk percakapan yang lebih umum. Misalnya, tema tentang hobi pada percakapan antara siswa A dan siswa B dapat menjadi bahan diskusi bagi siswa yang lain, seperti menanyakan hobi masing-masing, mengapa mereka menyukainya, berapa kali mereka melakukannya, menanyakan hobi temannya, dan lain-lain. 7) Menggunakan Guided Dialogue. Guided Dialogues adalah salah satu kegiatan berbicara, dimana siswa secara berpasangan melengkapi dialog rumpang dengan ide mereka dan mereka kemudian mempraktekkannya bersama (Cambridge University Press, 2009). Dalam hal ini, dialog didesain sesuai dengan situasi dan petunjuk tertentu yang nantinya digunakan oleh setiap pasangan untuk menyusun dialog mereka. Guided Dialogue diadaptasi dari teknik Role Play. Dalam Role Play, sebelum mempresentasikan dialogue siswa akan diberikan peran dan diberikan situasi dalam bentuk kartu peran (role card). Akan tetapi, dalam Guided Dialogues siswa diberikan suatu kerangka dialog yang berisi petunjuk, suruhan dan situasi sebagai petunjuk bagi siswa untuk menyusun dialog dengan bahasa mereka sendiri. Sebagai tambahan, beberapa frase (ekpresi) yang berhubungan dengan topik yang sedang dibicarakan juga dimasukkan di dalamnya. Pada paragraf sebelumnya disebutkan bahwa dialog berkembang pada era Audiolingual Method dan menekankan pengulangan struktur kalimat. Sebaliknya, pada Guided Dialogues siswa tidak dibiasakan untuk memengulangi ucapan yang sama maupun mengisi dialog rumpang seperti yang terjadi dalam masa Audiolingual Methods. Dalam Guided Dialogues, siswa hanya diberikan kerangka tentang apa yang mereka dapat katakana sehingga percakapan mereka menjadi lancar. Di sini siswa bebas membuat kalimat dengan pengetahuan yang telah mereka miliki. Tidak ada batasan bagi siswa seperti pada Audiolingual Methods. Drill/pengulangan kadang dilakukan, tetapi bukan menjadi sifat Guided Dialogues. Hal ini hanya dilakukan apabila siswa membuat kesalahan yang fatal sehingga harus segera diluruskan oleh guru. Berdasarkan penjelasan di atas, sangatlah jelas bahwa penerapan Guided Dialogues dalam kelas berbicara akan dapat menjawab permasalahan yang biasa terjadi dalam kelas berbicara karena siswa diberikan petunjuk dan diberi kesempatan untuk berinteraksi. Hal ini sejalan dengan Bailey (2005: 36) yang menyebutkan tiga prinsip dalam pengajaran berbicara kepada pemula: 1) Menyiapkan topik untuk dibicarakan. 2) Memberi kesempatan bagi siswa untuk berinteraksi dalam group maupun berpasangan. 3) Mengatur situasi kelas sehingga mendukung praktek berbicara. 2.1.3 Pentingnya Penggunaan Dialog Dalam kelas berbicara, dialog meliputi interaksi dan expresi secara lisan untuk menyampaikan ide, peristiwa, situasi, maksud antar pembicara sebagai suatu kebutuhan berbicara. Scott dan Ytreberg (1990:41) menyebutkan beberapa aspek tentang pentingnya penggunaan dialog dalam kegiatan berbicara: 1) Siswa berbicara sebagai orang pertama dan kedua, sedangkan teks biasanya dalam bentuk orang ketiga. 2) Siswa belajar bertanya serta menjawab. 3) Siswa belajar menggunakan kalimat yang singkat serta merespon secara tepat. 4) Siswa tidak hanya menggunakan kata-kata, tetapi juga menggunakan semua aspek berbicara seperti penekanan, intonasi, nada bicara, mimik dan lain-lain. 5) Dialog berguna dalam membangun suasana “chatting” di dalam kelas. Siswa dapat membuat dialog tentang hal-hal kecil yang terjadi yang melibatkan siswa-siswa yang lain di kelas tersebut. Sebagai tambahan, Ellinor (1996) menambahkan satu point yang dinyatakan sebagai aspek terpenting penggunaan dialog yaitu dialog dapat menciptakan community based culture atau rasa kebersamaan. Dialog merubah suatu group dari ketergantungan, persaingan, dan rasa terkucil yang biasa terjadi menjadi kebersamaan, persahabatan dan saling mengisi. Guided Dialogues adalah suatu jenis dialog yang diarahkan oleh guru yang menagarahkan siswa secara bertahap (Watts:1999). Guided Dialogues memberikan struktur untuk membuat dialog dalam group, menyediakan dasar untuk berkomunikasi dimana makna, tujuan dan kepentingan dapat dicapai. Dialog yang terdiri atas struktur sangatlah penting untuk mengarahkan siswa dan mmbantu mereka untuk membangun situasi-situasi baru. Daripada membuat siswa mengingat suatu dialogue, kita dapat memotivasi mereka untuk membuat pilihan akan apa yang ingin mereka ucapkan dan menggunakan bahasa secara fleksibel guna menyampaikan pikiran dan perasaan mereka. berdasarkan penjelasan tersebut, penggunaan Guided Dialogues dapat menjadi sangat menyenangkan dan dapat juga menjadi cara yang baik untuk mengembangkan kemampuan berbicara (Paul, 2003 : 77). 2.1.4 Manfaat Dialog Ada beberapa manfaat penggunaan dialog. Scott dan Ytreberg (1990:39) menyebutkan beberapa manfaat penerapan dialog dalam kelas berbicara: 1) Dalam membawakan situational dialog, para aktor mendapat perhatian dan penghormatan dari seluruh warga kelas, di samping itu siswa yang menonton mendapatkan perhatian, kesenangan, serta pengalaman lebih. 2) Dialog yang dipelajari dengan hati bisa menjadi singkat, menarik dan berguna. 3) Dialog-dialog tersebut dapat menjadi panduan, dimana siswa dapat mengikuti pola-pola yang ada, maupun membuat dialog secara bebas. Dialog siswa bisa pendek maupun panjang tergantung cara mereka mengembangkannya. Yang terpenting dari semuanya, topik yang dipilih sangat beragam. 4) Menggunakan dialog adalah cara yang tepat untuk menjembatani antara guided practice (yang diarahkan) dan freer activities (yang lebih bebas). 5) Meletakkan siswa secara berpasangan untuk berdialog merupakan cara mudah untuk mengatasi masalah kelas yang padat. 6) Di sisi lain, dialog menyediakan sarana yang kontekstual maupun situasi ilustratif dimana grammar mungkin digunakan seperti aspek budaya pada bahasa target (Richards dan Rodgers, 1986) Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa dialog dapat membiasakan siswa untuk menghadapi situasi komunikasi yang nyata. Dialog membantu untuk mengarahkan siswa tentang idea apa yang dapat dikembangkan serta memberikan banyak latihan kepada siswa. Sejalan dengan hal tersebut, Subiana (2007) menyebutkan bahwa penggunaan Guided Dialogues dalam kelas memberikan tiga manfaat penting, antara lain: 1) Dapat membangun keberanian dan rasa percaya diri bagi siswa dalam mengucapkan bahasa Inggris. 2) Dapat meningkatkan dan mengembangkan pengetahuan mereka tentang bahasa seperti pronunciation, grammar, vocabulary, fluency, dan comprehension. 3) Dapat melatih siswa untuk menggunakan bahasa Inggris dalam situasi nyata. 2.1.5 Storytelling Technique Assisted with Series of Pictures Storytelling merupakan alat pembelajaran yang praktis dan kuat, terutama untuk pembelajaran bahasa. Larkin (1997) menyatakan storytelling sebagai suatu seni penyampain cerita/pengalaman kepada penonton yang biasanya berhadap-hadapan. Storytelling adalah seseorang menceritakan sesuatu kepada orang lain. Cerita yang disampaikan bisa sesuatu yang nyata maupun dibuat. Storytelling biasanya merupakan bagian dari percakapan kita sehari-hari. Belakangan ini, storytelling telah menjadi bagian dari kehidupan kita. Cerita masih dipakai dalam berbagai jenis percakapan meliputi sesuatu yang serius, lucu dan menghibur. Konsep dari cerita biasanya untuk menyampaikan pengalaman, pengetahuan, nasehat dan nilai yang dirurunkan ke setiap generasi. Sejak storytelling digunakan sebagai alat pembelajaran, ini dapat memotivasi siswa di semua tingkatan untuk menggali ekpresi mereka yang unik serta dapat memperkaya kemampuan siswa dalam menyampaikan pikiran dan perasaan secara lancar dan sikap yang baik. Decon dan Murphey dalam Ratminingsih (2004: 17-18) menyebutkan lima fase yang harus diaplikasikan dalam Storytelling yaitu: 1) Shadowing Ini adalah aktivitas dimana siswa melakukan pengulangan dengan menggunakan bahasa dalam hati ataupun keras-keras. 2) Summarizing Guru menginformasikan kepada siswa bahwa mereka akan menceritakan kembali cerita yag sudah diberikan kepada teman-teman mereka dengan cara membuat kesimpulan dengan menggunakan bahasa mereka sendiri. 3) Retelling stories outside the class Guru meminta siswa untuk bercerita diluar kelas dengan menggunakan bahasa target ataupun dengan bahasa ibu yang biasa mereka gunakan sehari-hari terutama ketika tidak memungkinkan bagi mereka untuk menggunakan bahasa target. Kemudian siswa memberikan komentar kepada guru apakah teknik tersebut berguna atau tidak. 4) Action Logging Ini adalah saat dimana siswa diminta untuk mengevaluasi tugas dan aktivitas kelas mereka. 5) News Lettering Langkah terakhir adalah seleksi komentar siswa yang diambil dari hasil evaluasi pada tahap sebelumnya. Newsletter ini ditulis dalam bentuk handout yang kadang-kadang tanpa nama. Kemudian newsletter ini di sampaikan ke seluruh siswa untuk dibaca, dipikirkan, dan diberikan komentar pada kategorisasi selanjutnya. 2.1.6 Pentingnya Storytelling Forest (2000) menyebutkan beberapa konsep penggunaan storytelling di kelas yang menjadi keunggulan dari penggunaan storytelling. Berikut adalah beberapa dari konsep tersebut: 1) Storytelling membantu siswa untuk mengekspresikan pemikiran dan perasaan mereka dalam bahasa oral 2) Seni bercerita bisa merupakan alat belajar yang menyenangkan baik untuk keterampilan mendengarkan maupun berbicara 3) Guru bisa secara efektif memberikan contoh atau model yang menarik, bahasa-bahasa ekspresive untuk diikuti oleh siswa 4) Kosakata baru bisa dikenalkan dan mudah dipahami dalam konteks cerita 5) Storytelling adalah suatu cara untuk menekankan keunikan dari daya imajinasi setiap orang 6) Imajinasi bisa menghasilkan bahasa 7) Pemahaman atau kamampuan untuk mengartikan alur sebuah cerita juga difasilitasi dengan kamampuan untuk membuat kerangka berpikir tentang inti-inti kejadian di dalam cerita. Dalam penelitian ini, Storytelling Technique Assisted with Series of Pictures merupakan kombinasi dari seni storytelling and gambar sebagai alat pembelajaran. Gambar diartikan sebagai lukisan atau foto sebagai hasil seni (Gerlach and Ely dalam Ratna Dewi (2008:19). Dalam pengajaran, gambar biasanya digunakan sebagai alat pembelajaran karena gambar dapat menarik perhatian siswa yang mengarah pada peningkatan minat dan motivasi. Gambar juga menggambarkan situasi nyata dan menghubungkan dengan situasi nyata yang membantu siswa untuk mengingat kembali apa yang telah mereka pelajari. Hal ini akan membantu siswa untuk mengexpresikan pikiran mereka denganlebih mudah. Bailey (2005:38) menyebutkan bahwa penggunaan gambar sebagai sumber pengajaran berbicara dapat memberikan siswa sesuatu untuk dibicarakan dan dijadikan acuan. Curtis dan Bailey (2001) dalam Bailey (2005:57) menyebutkan beberapa hal yang mendasari penggunaan gambar dalam pengajaran seperti berikut: 1) Gambar dapat menjadi ide pembicaraan 2) Gambar dapat memperkenalkan dan menggambarkan topik yang disukai tanpa harus berpatokan pada buku teks. 3) Gambar memberikan dukungan nyata pada pembelajaran karena mereka mengaktifkan kemampuan siswa membayangkan sesuatu yang membantu mereka dalam mengingat struktur maupun kosakata tertentu. 4) Gambar lebih mudah dibawa ke ruang kelas dibandingkan realia seperti binatang, kegiata di luar kelas dll. 5) Gambar-gambar berwarna sangat menarik untuk dibahas dalam bentuk diskusi maupun sebagai tugas menulis tanpa memerlukan biaya yang mahal. 6) Gambar bias dipakai dalam berbagai hal oleh semua guru mata pelajaran. 7) Gambar sangat mudah dibawa, ringan, datar dan tahan lama. 8) Gambar sangat mudah diadaptasi kedalam technology pembelajaran. 9) Gambar dapat menciptakan pemikiran yang kreatif dan kritis (contohnya: dalam mendeskripsikan benda sehari-hari dari angle yang berbeda, atau awan yang bisa terlihat memiliki bentuk berbeda-beda sesuai dengan orang yang melihatnya). 10) Terakhir, gambar tidak terbatas pada suatu bahasa tertentu. Menilik dari manfaat penggunaan gambar sebagai media pembelajaran, penelitian ini mengadopsi penggunaan gambar berangkai (series of pictures) untuk menuntun siswa dalam mempresentasikan cerita mereka. Gambar berangkai disisni akan menuntun siswa untuk mengingat kembali pengalaman mereka sehingga mereka dapat mengekpresikan pikiran mereka dengan lebih mudah. Hal ini melatih siswa untuk memakai bahasa Inggris secara alami dan menggali kemampuan mereka dalam berbicara. Storytelling Techniques Assisted with Series of Pictures dalam penelitian ini mengadaptasi pandangan yang menyatakan bahwa berbicara adalah hal yang sangat pribadi yang menyangkut motivasi dan kemauan seseorang. Ini merupakan teknik yang bersifat individu. Oleh karena itu, dalam teknik itu siswa diharapkan bekerja sendiri-sendiri. Siswa diharapkan untuk mengembangkan imaginasi mereka sesuai dengan kemampuan mereka. Storytelling Technique Assisted with Series of Pictures diaplikasikan sesuai dengan langkah-langkah berikut: 1) Guru memberikan setiap siswa lembaran berisi rangkaian gambar yang menggambarkan suatu cerita. 2) Guru meminta siswa agar mempelajari dan mengerti gambar tersebut. 3) Guru meminta siswa menceritakan tentang gambar tersebut. Apabila mereka belum bisa bercerita dalam bahasa Inggris, mereka dapat menggunakan bahasa Indonesia. 4) Guru meminta siswa untuk mencari kosa kata yang nantinya dapat membantu mereka dalam bercerita. 5) Guru menginformasikan siswa bahwa mereka akan bercerita di depan kelas. 6) Guru memberi contoh cara bercerita. Selama bercerita, untuk member kesan hidup pada cerita tersebut, guru dapat memakai berbagai strategi seperti pausing, melakukan kesalahan sehingga siswa dapat memperbaiki atau memberi pertanyaan singkat. 7) Guru memberikan waktu kepada siswa untuk berlatih. 8) Guru meminta siswa beberapa siswa untuk memberi contoh di depan kelas. 9) Selama kegiatan, guru dapat bertanya untuk mengecek pemahaman siswa. 10) Selama kegiatan guru juga meminta siswa agar berkonsentrasi dan memperhatikan teman mereka yang bercerita, setelah itu memberi critic dan saran mengenai penampilan teman mereka. 11) Guru juga dapat mengajari siswa mengenai pengucapan kosakata tertentu beserta artinya karena siswa masih melakukan kesalahan. 2.1.6 Manfaat Storytelling Technique Assisted with Series of Pictures Ratna Dewi (2009) menemukan beberapa manfaat dari Storytelling Assisted with Series of Pictures seperti di bawah ini: 1) Teknik ini mengharapkan siswa untuk bekerja sendiri. 2) Teknik ini memberi siswa kesempatan untuk menggali kemampuannya sendiri. 3) Penggunaan gambar dapat memberi efek yang positif terhadap pengajaran bahasa. 2.2 Empirical Review Ada beberapa penelitian sejenis yang telah dilakukan berhubungan dengan Guided Dialogues dan Storytelling Techniques Assisted with Series of Pictures. Guided Dialogues dengan sukses dilakukan oleh Budarya (1999), Quistgaard (2006), Subiana (2007) dan Arista Dewi (2008). Sedangkan Storytelling Techniques Assisted with Series of Pictures dengan sukses diterapkan oleh Ratminingsih dan Namiasih (2004), Jianing (2007) serta Ratna Dewi (2008). Budarya (1999), melaksanakan penelitian tindakan kelas dengan mengaplikasikan Guided Dialogues guna meningkatkan kemampuan berbicara siswa kelas II SLTPN 5 Singaraja. Dia menemukan bahwa kemampuan siswa meningkat setelah diajari dengan Guided Dialogues. Mereka memiliki kemampuan yang lebih baik dalam hal pengucapan dan struktur kalimat. Hal tersebut terjadi karena dia memberikan model dalam pengucapan, membuat frase dan kalimat serta lebih banyak penjelasan dalam hal struktur kalimat dan kosakata sesuai dengan topik. Quistgaard (2006) mengadakan penelitian untuk mengetahui apakan acuan dalam bentuk Guided Dialogues di kelas IPA memberi pengaruh pada kemampuan siswa untuk merefleksi hasil pembelajaran. Dalam hipothesisnya dinyatakan bahwa Guided Dialogues yang diarahkan oleh seseorang yang paham (misalnya: guru) akan memberi banyak masukan di antara siswa agar dapat memahami konsep dan fenomena yang diberikan. Hasil dari penelitian ini menunjukkan tentang pentingnya menggunakan pengalaman dalam kelas. Subiana (2007) mengadakan penelitian tindakan kelas dengan mengaplikasikan Guided Dialogues untuk meningkatkan kemampuan berbicara siswa kelas II SMP N 4 Nusa Penida. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa teknik Guided Dialogues dengan sukses mampu meningkatkan kemampuan berbicara siswa. Nilai pada posttest dari 45% meningkat menjadi 63% di Cycle I. Di Cycle II nilai ini meningkat menjadi 78% karena peneliti memodifikasi Cycle ini dengan memberikan perhatian atau petunjuk kepada siswa yang mendapat nilai rendah atau tidak mencapai nilai yang diharapkan. Oleh karena itu, siswa yang gagal mencapai nilai standar pada Cycle I dapat mencapai score yang diharapkan pada Cycle II. Arista Dewi (2009) mengadakan penelitian yang sama. Dia mengimplementasikan Guided Dialogues untuk meningkatkan kemampuan berbicara siswa kelas X (Kelas X.3) SMA N 4 Singaraja. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa teknik ini dapat mengatasi permasalahan siswa serta dapat meningkatkan kemampuan berbicara mereka. Kemampuan berbicara siswa mencapai nilai rata-rata 64%. Ini meningkat 12 % dari nilai yang diperoleh pada pretest. Pada Cycle II, hasil postest meningkat 10% dari posttest di Cycle I yaitu dari 64% menjadi 74% dan mencapai kategory “Good”. Dia memodifikasi Cycle II degan memberikan aktifitas drilling pada frase dan language function serta memberikan penjelasan yang lebih pada grammar yang digunakan dalam Guided Dialogues design. Beberapa ahli berpendapat bahwa Teknik Storytelling sangat bagus digunakan dalam kelas berbicara. Ratminingsih dan Namiasih (2004) melaksanakan penelitian dalam mengaplikasikan Teknik Storytelling terhadap keberhasilan siswa dalam berbicara. Penelitian ini dilaksanakan di SMU Negeri 4 Singaraja pada tahun ajaran 2004/2005. hasil penelitian ini menunjukkan bahwa storytelling mampu meningkatkan skill berbicara siswa yang diintegrasikan dengan skill lain seperti menyimak, membaca dan menulis. Dalam waktu bersamaan, teknik ini juga mampu meningkatkan kemampuan siswa dalam menggunakan aspek-aspek bahasa seperti vocabulary, grammar, dan pronunciation yang seharusnya diaplikasikan dalam berbicara. Hasil penelitian ini menunjukkan kemampuan berbicara siswa meningkat dari nilai pretest 2.56, pada posttest I 2.99, posttest II 3.71 serta mencapai nilai rata-rata 4.01 yang termasuk categori ‘Sufficient’ Jianing (2007) mengaplikasikan teknik ini terhadap siswa Cina di kelas berbicara EFL. Dalam penelitian ini, ditemukan bahwa teknik storytelling hendaknya dipakai dalam kelas karena dapat meningkatkan kemampuan berbicara siswa. Dia menyarankan agar cerita dapat menjadi bagian dari kelas berbicara. Dalam penelitian ini, alasan utama memakai storytelling dalam kelas EFL karena cerita bersifat memotivasi dan menarik, sangat menarik perhatian pendengar dan mencipatakan komunikasi. Menurutnya, gambar juga memberikan bantuan dalam storytelling. Hasil peneitiannya menunjukkan bahwa bebrapa bulan setelah mengaplikasikan storytelling, kemapuan berbicara siswa meningkat sesuai dengan yang diharapkan. Ratna Dewi (2009) mengadakan penelitian tindakan kelas di SMP N 6 Singaraja. Dia mengimplementasikan Storytelling Technique Assisted with Series of Pictures untuk meningkatkan kompetensi oral siswa. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa kompetensi oral siswa dapat meningkat dari 3.07 (62% daro skor maximum) di pretest menjadi 3.39 (68% dari skor maximum) dalam test Cycle I, dan terakhir menjadi 3.79 (76% dari skor maximum) pada test di Cycle II. Peningkatan yang lain juga ditunjukkan oleh kemampuan siswa dalam hal pronunciation, grammar, vocabulary, fluency, dan comprehension. Dalam penelitian ini Storytelling Technique didukung oleh penggunaan gambar. Beberapa penelitian menemukan bahwa ganbar berangkai adalah media yang sangat mendukung dalam proses pembelajaran. Francis (2004) menggunakan gambar berangaki pada penelitian tindakan kelasnya guna meningkatkan kemampuan siswa SMU Negeri 2 Singaraja dalam menulis paragraf naratif tahun ajaran 2003/2004. Hasil dari penelitiannya menunjukkan bahwa kemampuan siswa dalam menulis dapat meningkat. Hal ini dibuktikan oleh data quantitative nilai rata-rata siswa. Data ini menunjukkan bahwa terjadi peningkatan nilai dari 50.42 di pretest menjadi 72.0 di posttest I, dan menjadi 80.15 di posttest II.

bilingual

Name: I.G.A. Lokita Purnamika Utami Bilingual Course Assignment-Postgraduate study --------------------------------------------------- A. INTRODUCTION This paper aims at summarizing and reviewing an article on Bilingual which is entitled “The Development of Bilingual Children’s Early Spelling in English.” Following the introduction part the summary of the article and the review are provided. The review part contains the writer review on the research methodology based on the comparison made with other research and references, the writer’s prediction or assumption after looking at the found evidence, the suggestion, and the writer’s thought on the research’s beneficial impact for academic society. B. SUMMARY Title: The Develoment of Bilingual Children’s Early Spelling in English By Susan J. Rickard Liow and Lily H.S. Lau National University of Singapore Resources: Journal of Educational Psychology.2006. Vol 98. No.4. 868-878 There are a number of research recount the importance of phonological awareness in the development of English reading and spelling skills. However, those researches always excluded bilingual children (including ESL children). This may leave us a question whether the result for English unilingual generalizes to ESL children? The other questions were what is the impact of Bilingualism when the child’s first language (L1) is different from English? ; moreover, apart from phonological awareness, do other kinds of metalinguistic knowledge influence reading and spelling in ESL children? By using an extended version of R. Treiman M. Cassar, and A. Zukowski’s (1994) flap spelling task (wa_er is it t or d in water?), the author investigate the metalinguistic awareness of 6-year-old bilingual children from 3 different Language Backgrounds (LBs): English-LB (English L1, Mandarin L2), Chinese-LB (Chinese L1, English L2) and Malay-LB (Bahasa Malaysia L1, English L2). In the article, it is described how home languages, with different orthographic, phonological, and morphological features can influence and ESL preschool child’s untutored spelling in English. Flaps spelling paradigm In some varieties of spoken English, medial stop consonants in certain words undergo a process known as flapping. Speakers flap when bisyllabic words contain a single medial /t/ or /d/ that is preceded by a vowel and followed by a vowel or a vowel plus /r/. For example, when flapped the /t/ in water sound like a /d/. Before they learn to spell conventionally, children who make exclusive use of phonological processing choose the letter /d/ to spell words with spoken /t/ flaps, even with a context sentence for the target word. Ehri and Wilce (1986) looked at American English speakers’ oral spelling of /t/ and /d/ flaps in first graders, second graders and fourth graders. They found a /d/ bias overall, but there were differences across the cohorts: /d/ errors on words with /t/ flaps decreased with age. This is consistent with the claim that phonological awareness declines with age. Rickard Liow and Poon (1998) showed that Mandarin L1 children in Singapore relied more on visual-orthographic. Bahasa Indonesia-L1 classmates showed well-developed phonological awareness. This suggest that the influence of a child’s home language on English literacy development is not unitary, and cross-linguistics transfer could have negative as well as positive consequences: Chinese characters are relatively opaque with respect to phonology, but the alphabetic Rumi script for Bahasa Indonesia (and Bahasa Malaysia) is very transparent. Treiman (1993) and Read (1975) did an observation that early spelling attempts often results in phonologically plausible errors. However, errors also seem to depend on the kind of metalinguistic knowledge available at particular developmental stages. Therefore, differences in the use of metalinguistics skills among groups of bilingual children learning English seem inevitable not just probable. Bilingualism and Home Languages in Singapore Singapore’s three main ethnics –Malay, Chinese and Indian- speaks two or more of the four officila language : Mandarin, Bahasa Melayu, Tamil and English. Education policy states that children learn read and write in their respective home language as well as Standard English. However, Singaporean preschoolers’ linguistic experience depends more on the home language than on the explicit teaching/text. Children are exposed to a mix of Singapore Colloquial English (SCE) and Singapore Standard English (SSE). The author basic premise is that the spelling skills of the young Singaporean bilinguals should vary according to their linguistic experience, or LB. More specifically, the extent to which the linguistic features of the child’s home language (Malay or Mandarin) overlap with those of English determines what advantages (or disadvantages) bilingualism might confer. The spelling ability of English-LB Children in Singapore do not resemble their unilingual age peers since they are taught by using whole word strategy for reading English, so the English-LB children might rely more on visual-orthographic processes rather than on phonological awareness. Moreover, exposing children mostly with SCE -which is really different from the standard English- affect the spelling skills of children. The Rumi script of Bahasa Malaysia has a rich, transparent morphological structure with syllable-size affixes such as per-, ber- and –kan. The letters of English and Bahasa Malaysia overlap but the orthography-phonology relationship for Rumi is very shallow (regular) compared with English: only three diphthongs (ai, au and oi), and apart from /e/, each vowel represents only one sound. Simultaneous exposure to this transparent script should enhance the acquisition of phonological awareness for English spelling. If metalinguistic knowledge does transfer from Bahasa to English, the Malay-LB children may be able to use more phonological and morphological awareness in their spelling than either the Chinese-LB and the English-LB. Spoken Mandarin is morphosyllabic and tonal, with very few affixes. These features contrast with English and Bahasa Malaysia, so the phonological and morphological development of the Chinese-LB children is different from that of the other two groups. For early reading in English, root-learned associations do seem to suffice. Hence, it is predicted that Chinese-LB group would use visual-orthographic awareness more than more than phonological and morphological for flaps task. Method Participants : a total of 80 second-year pupils attending a government kindergarten in Singapore took part with parental consent: 30 were English-LB, 21 were Chinese-LB and 29 were Malay-LB children. All the children spent about 75 min per day learning English, so teaching methods were neither a factor nor a potential confound. A one-way ANOVA showed that the three groups were not different in age. Materials and Procedure Language Background Questionnaire (LBQ) was used to screen the students in terms of their most frequently spoken language at home before administrating the flaps test. 21 children who reported use of other languages were excluded from the study. Vocabulary scores which have been collected 5 months earlier by using the modified British picture vocabulary scale were available to corroborated the LBQ self-report data. A one way ANOVA on raw scores revealed a main effect of English vocabulary and planned comparisons confirmed that the English-LB group’s vocabulary scores were better than those for both ESL groups Flaps spelling test The extended flap test(16 cells of 10 words) comprised monomorphemic and bimorphemic, low-and high-frequency, flapped /t/ and /d/ words as well as monosyllabic and bisyllabic unflapped control /t/ and /d/ words. See the following table: Table : Design of the extended Flaps Spelling Skills Control Monomorphemic/ Monosyllabic (Unflapped Experimental Monomorphemic/ Bisyllabic (flapped) Experimental Bimorphemic/ Bisyllabic (flapped Control Monomorphemic/ Bysyllabic (unflapped) Word frequency /t/ /d/ /t/ /d/ /t/ /d/ /t/ /d/ Low Greet Hood Porter Poodle Greeted Hooded Pastry Cinder High late wide party garden started wooden sister powder The researcher manipulated flap type (/t/ or /d/) to look at phonological awareness, word frequency (high and low) to look at orthographic awareness, and the number of morphemes (moomorphemic and bimorphemic) to look at morphological awareness and then the unflapped control words (one or two syllable) is added. Small groups (5 or 6 children) were tested in two session at least 3 days apart. From 160 words, two 80-items subtests were developed. The research made use of cassette recorder to run the test. A female native speaker of SSE’s voice was recorded. She read aloud the target words and the context sentences. The answer sheet were printed in large lowercase typeface with an underlined blank in place of missing letters (e.g. wa_ter and to the right of the target words were the letters /t/ and /d/). The children were asked to listen and then circle the letter they thought belonged in the blank. They were each rewarded for their help with a small bar of chocolate. Result and Discussion First, the researcher assessed proficiency by looking at the mean proportion correct for each LB groups summed across all the control words. The post hoc test confirmed there was no statistical difference in overall performance on control words between any two of the three groups Orthographic Awareness: to test for differential use of orthographic awareness, the researchers manipulated word frequency for /t/ and /d/ control word (one morpheme and one syllable). There were no significant main effect of LB group or frequency, but the interaction between frequency and LB group was significant. For /d/ but not /t/, the English-LB children performed significantly better on high- than low-frequency control words. This was predicted because children from English-speaking homes are more likely to be exposed to printed text in English. The Chinese-LB children performed significantly better on high than low frequency /d/ control words, though the Malay-LB children did not. This advantage for high-frequency words for the Chinese-LB children is more difficult to explain in terms of print exposure, but learning to read logographic Chinese characters might enhance certain aspects visual processing, and these in turn support spelling of familiar English words after relatively limited exposure. Phonological awareness: to test for differential use of phonological awareness, the researchers looked at low-frequency words and tested for group difference performance for /t/ versus /d/ on flapped and unflapped monomorphemic bisyllabic words. There were significant main effect of flap type, and word type, but not in the LB group. All three groups were significantly poorer on at /t/ flaps than /t/ control words, but no group showed a difference between /d/ flaps and /d/ control words. A one way ANOVA on /t/ flapped words showed a significant different between across the LB groups, simple effect test confirmed that the Malay LB children were significantly more likely than either the English-LB children or the Chinese-LB children to choose /d/ instead of /t/. The performance of the English-LB and Chinese-LB groups was equivalent. Taken together, these result suggest all three LB groups use some phonological awareness for spelling but, as predicted, the Malay children rely more on it. Morphological Awareness: to test for differential use of morphological awareness, the researchers looked at the mean proportion of correct spellings on bisyllabic flapped monomorphemic and bimorphemic /d/ words. It was predicted that Malay-LB children might have better developed morphological awareness as a result of transfer from Bahasa Malaysia. If this is the case, the Malay-LB group should perform better than the other two group for /d/ flaps on bimorphemic words compared with monomorphemic words. However the result revealed a borderline main effect of morphological awareness in the opposite direction ((monomorphemic > Bimorphemic), which make it unlikely Malay-LB children were using morphological knowledge in preference to phonological awareness for low frequency words. Syllable Awareness: to test for differential sensitivity to number of syllables across three bilingual children, the performance on the low frequency monomorphemic, mono- versus bisyllabic /d/ control words. It was predicted that Chinese-LB would be poorer on bisyllabic and monosyllabic, considering the Chinese character morphosyllabic (one morpheme, one syllable). The result, however show that number of syllable had no effect on the Chinese-LB children’s decision. One plausible explanation for this is that the Chinese-LB children treat the bisyllabic words as two separate single syllable. For English and Malay-LB children the result showed that they performed significantly better on bisyllabic than monosyllabic. Conclusion The following review of the result by language groups support the idea that the bilingual children’s skill remain variable even when they have been learning English in the same kindergarten for almost 2 years. First, English-LB children were using some syllable awareness and seemed better able to combine their orthographic awareness with phonological awareness to optimize performance. However, there was no evidence found that morphological awareness supports the spelling skills of the English-LB children. Second, For Malay-LB children, it was found a strong evidence of the use of phonological and syllable awareness rather than orthographic awareness, but, again there was no evidence of morphological awareness. Finally, for the Chinese-LB children, it was found that visual-orthographic skills would be more important than either phonological and morphological awareness. To summarize, there were predictable group differences in the use of orthographic and phonological awareness, but no evidence of the use of morphological awareness was found. The data provides new evidence that bilingual children often approach spelling with different kinds of metalinguistic awareness. Moreover, the use of metalinguistic may be strongly influenced by their home language. C. REVIEW It is a very popular belief that the first language strongly influences the second language acquisition. The most obvious example that supports this belief comes from the ‘foreign’ accent in the second language speech of learners (Ellis, 1986). When a Balinese speak English, her English sounds Balinese. Therefore, I believe that different language backgrounds give different influences to the second language acquisition. After I have read the first few paragraphs of this article, I became very interested to read it further. Why so? because I have several questions in my mind, one of those, beside the accent, what else of the first language can influence the second language acquisition. However, long before I found this article I have actually had a thought that there are probably similar characteristics between two different languages (the native and the second language) that may enhance the learning of the second language. For example, the word order in Bahasa Indonesia for active sentences generally places the subject followed by the verb and its object. Such word order for active sentences is also applied in English. This, consequently enhances the English acquisition since the similarities ease the Indonesian learners to apply that particular concept of Bahasa Indonesia in English. In addition, I also believe that some distinction between the native and the second language may hinder the acquisition of the second language. For example, a Chinese girl who is exposed with Chinese words -which are morphosyllabic (one morpheme is one syllable)- may think a bisyllabic-monomorphemic English word (e.g. flower) as two morphemes, whereas it is not so. She may become more confused when she is then exposed with a bisyllabic-bimorphemic English word (e.g. handed) and are told that it is a word that has two morphemes while for her it ‘looks’ like a conjugation of two different words. One of the authors of this research article is Dr Rickard Liow. She is a Chartered Clinical psychologist. She joined National University of Singapore in 1987, and has published several papers on reading development and learning disabilities, with a focus on bilingualism. Her research article which I reviewed here is not her first research on Bilingual. In this article she descriptively explains her research which aimed at investigating the influence of home language on the spelling and writing skills of bilingual pupils in local kindergartens and primary schools. After having a close reading on the article, I see some points to be commented. The following paragraphs are my review on the research methodology (and other aspects) based on the comparison with other research methodology. In addition, I include my thought about the research implication to the academic society. Participant and research ethic Fraenkel and Wallen (1993: 82) states that if each member of population does not have an equal chance of being selected; some, in fact, have no chance then the sampling technique used is non-random sampling or purposive sampling. From this information, it can be said that the researchers used non-random sampling or purposive sampling. The participants of this research were screened (or selected) by using LBQ (language Background Questionnaire) before administrating the flap test. This means that not all members of population have equal chance to be selected. Only the students who speak Chinese, Malay and English were involved in the study, and the other students who reported speaking other home languages were excluded. Involving children in a research is quite an issue. The researcher should consider the research ethic before involving the participant in the study. Fraenkel and Wallen (1993) states that informed consent of parents or of those legally designated as caretaker is required for children participants. And children may never be coerced into participation in a study. Involving children in this study, they has considered the research ethic; they only involved those with parental consent. In Treiman’s and Bourassa’s research, they also screened 42 children with dyslexia who was granted permission to participate and 62 kindergarten to third grade children with parental permission to participate. Sampling reliability The research was trying to investigate how home languages’ role in enhancing a particular metalinguistic awareness to approach English early spelling. To fulfill this objectives then, the researchers must select pupils who experience the same length of formal English instruction as samples. The idea of using bilingual children who attend the same kindergarten as the subject of the research is really excellent, for this may reduce error in sampling. Even though Fraenkel and Wallen (1993) states that no two samples will be the same in all their characteristics. However, by selecting students who were attending the same kindergarten, it means that all students were being exposed with the same length of formal English instruction; then, home language is left to be the only factor that may cause the various approach the students used in spelling English. Despite the excellent techniques of selecting samples; however, I wonder if the number children of each LB group should not be significantly different. Would it give a more accurate result? In this research the number of children of each LB group is different. They were 30 English-LB children, 21 Chinese-LB children and 29 Malay-LB children. The number of English-LB children and Malay-LB children may be relatively the same, but the number of Chinese-LB children is only 70 % of the number of English-LB children. Moreover, Fraenkel and Wallen (1993: 92) suggest that: The sample size for experimental and causal-comparative studies is the minimum of 30 individuals per group. Although sometimes experimental studies with only 15 individuals in each group can be defended if they are very tightly controlled; studies using only 15 subjects per group should probably be replicated, however, before too much is made of any findings that occurs. As a comparison in Treiman’s and Bourassa’s (2003) research, they involved the same number of participants of groups that they examined. In their research they tried to examine the spelling performance of 30 children with dyslexia compared with that of 30 spelling-level matched younger children. Beside the number of participants the age also become one consideration in selecting sample. According to the previous research by Ehri and Wilce (1986), it was found that the /d/ errors on words with /t/ flaps decreased with age. This rationalizes why the researchers needed to find out whether the participants of the research were not significantly different in age before further administrating the research. By not being significantly different in age it means that the children used as samples have the same probability to do the /d/ errors on words with /t/ flaps. As a comparison, in Treiman’s and Bourassa’s research (2003) they also involved 30 children of each groups (dyslexia and normal children) with matched spelling level. The spelling level was examined through administrating spelling and reading subtest of the WRAT-3. Both groups of children should meet the same standard of spelling level. Moreover, obviously the researchers did not only rely on LBQ to categorize the subjects into a particular LB group, but they also administrated the vocabulary test as a back-up data which then can be used as a comparison to the self-report data. This way the researchers reduce the possibility of putting the subjects into the wrong LB group. Procedure The reserchers used the extended flap test (16 cells of 10 words) comprised monomorphemic and bimorphemic, low-and high-frequency, flapped /t/ and /d/ words as well as monosyllabic and bisyllabic unflapped control /t/ and /d/ words The researchers had manipulated several language components such as word frequency, the number of syllable, the number of morpheme, and the type of words (flapped and unflapped), to investigate a kind of metalinguistic used to approach English spelling. First, the researcher manipulated flap type (/t/ or /d/) to look at phonological awareness. Through analyzing the decision children make on /t/ and /d/ flapped words will show their phonological competency. This assumption comes from the idea that children who are exposed with English flapped words will hear /d/ sound for /t/ sound in flapped words. Second, to look at orthographic awareness the researchers manipulated the word frequency (high and low). I understand this since it can be assumed that the more exposure of printed English material (high frequency words) the more visual-spelling opportunity the children have. Third, to look at morphological awareness the researchers manipulated the number of morphemes (monomorphemic and bimorphemic) and the unflapped control words (one or two syllable). Through this manipulation, I think, researchers eventually can conclude whether children have developed morphological awareness or not. I would be really grateful if Mora’s article was equipped with the explanation of the research procedure. However, Mora’s article only explains briefly about his research result and discuss more about role of teachers in biliteracy development, alphabetic principle in Spanish and English, approaches to L2 reading instruction, research hypotheses about biliteracy and l2 reading, and transfer of metalinguistic knowledge. Therefore, I only can compare Dr Rickard’s research with Treiman’s and Bourassa’s. The procedure ran for this research is quite different from that of Treiman’s and Baurassa because it has different objectives. In this research the objectives is to investigate the metalinguistic awareness for early english spelling while in the Treman’s and Baurassa’s research the objective is to examine the oral and written spelling performance of dyslexia children compared with spelling-level-matched younger children In Treiman’s and Baurassa’s research (2003) each child spelled two lists of items each of which was derived from the word and nonword versions of the T–BEST Treiman &Bourassa, 2000a). Each list contained 10 words and 10 nonwords. For each child, one list was administered as an oral spelling test and the other as a written test. The words and nonwords on the two lists were similar in phonological structure and spelling patterns. The items on each list were presented in the same order to all children, the 10 words followed by the 10 nonwords. For the written spelling task, the child was told that he or she would be asked to spell some words and some “made-up words.” The experimenter first asked the child to spell his or her first name. One of the test lists, A or B, was then presented. For the word targets, the experimenter said each word, used it in a sentence, and then said the word again. The child was asked to repeat the target word. The child was given three chances to do so, and all children successfully repeated all target words. The child then wrote the word on his or her paper. The experimenter provided general encouragement but did not indicate whether a child’s spellings were correct. If the experimenter could not make out a letter the child had written, he or she inquired about the intended letter after the child had finished spelling the word. A poster on a nearby wall showed the upper and lowercase forms of each letter. The procedure for nonwords was identical to that for words, except that the experimenter pronounced each nonword three times before asking the child to repeat and spell it. All children successfully repeated all target nonwords. The procedure for the oral spelling task was like that for the written task except that the experimenter asked the child to spell each word aloud. Responses were tape recorded for later verification. Research result The result of Dr Rickard Liow’s research suggested that home language enhance a particular metalinguistic (phonological and orthographic) awareness which then influences children early spelling in English. This finding is inline with the cross-linguistic transfer hypothesis (Bialystok, 2007; Hornberger, 1994; Koda, 1997, Odlin, 1989 in Mora, 2008). This theory posits that knowledge is transferred from the learners first language into the performance of cognitive and linguistic tasks in the second language. The cross-linguistic hypothesis suggests that the greater the similarity in the writing systems of the two languages, the greater the degree of transfer, thus reducing the time and difficulties involved in learning to read and write the second language (Odlin, 1989 in Mora, 2008). Mora (2008) in his his article states that there is an orthographic transfer in a transitional Spanish/English bilingual children. Mora’s finding gives the same evidence for metalinguistic transfer for spelling as what Dr. Rickard Liow found. Dr. Rickard Liow found that Malay-L1 children (with Malay as first language) use more phonological knowledge and show an advantage for multi-syllabic words. This is caused by the Rumi script of Bahasa Malaysia which has a rich, transparent morphological structure with syllable-size affixes such as per-, ber- and –kan. Then, the simultaneous exposure to this transparent script should enhance the acquisition of phonological awareness for English spelling for Malay-LB children. The Mandarin-L1 children are more sensitive to word frequency and use more visual skills(orthographic), since they have been exposed to the logographich chinese letters which requires them rely on their orthographic. Only the English-L1 children combine phonological and visual knowledge. The English-Lb children’s environment that mostly speaks English all the time enhances their phonological awareness. Moreover, they have been exposed with many printed English text that enhance their orthographical awareness. This phenomenon is inline with the findings in Treiman’s and Bourassa’s (2003) research that children can more accurately analyze the phonological structure of an item when they are able to represent the results of their analyses in a visible form. Moreover, Treiman and Bourassa (2003) found that there was the advantage of words over non-words on both phonological and orthographic measures. The lexicality effect in the phonological and orthographic measures suggests that children use word-specific memory to aid their spellings of real words. Treiman and Bourassa also found that there was no differences between children with dyslexia and spelling-level-matched children without dyslexia on any of the measures developed by Treiman and Bourassa (2000a). The dyslexia group and the nondyslexia group were statistically indistinguishable in terms of correct spellings of real words. Moreover, the two groups performed at similar levels on measures that were designed to tap the phonological and orthographic In Mora’s article it is stated that Spanish and English share some (not all) similar orthography (see appendix 1). In Dr Rickard Liow’s research event though English and Chinese character don’t share similar orthography but it was found that Chinese-LB children spelling on high frequency words rely more on orthographic (or visual). Dr Liow stated that reading logographic Chinese characters might enhance certain aspects visual processing, and these in turn support spelling of familiar English words after relatively limited exposure. However, Dr. Liow finding on Chinese-LB children is still a strong evidence of cross-language transfer regardless of the similarities between the two languages’ orthography. However Dr Rickard Liow’s research showed no evidence for Morphological awareness. This leaves us questions why children did not show any morphological awareness. I think the absence of morphological evidence probably deals with the combination practice of SCE (Singapore colloquial English) and SSE (Singapore Standard English). Therefore, the exposure of non standard form of spoken English may likely moderate the children’s acquisition and use of morphological knowledge. The Singaporean children’s stages in mastering the standard English’ morphology is actually part of interlanguage. As what Selinker (1972) in Ellis (1986) suggested that there were 5 principal processes operated in interlanguage. These were (1) language transfer, (2) overgeneralization of target language rules, (3) transfer of training (i.e. a rule enters the learner’s system as a result of instruction, (4) strategies of L2 learning (i.e. an identifiable approach by the learner to the material to be learned), (5) strategies of L2 communication. The last point, that is learners’ identifiable approach to communicate in the target language influences their L2 learning. Singaporean children always communicate with SCE, of which the morphology contains of very limited affixation. This moderates the morphological knowledge they should have for standard English, of which the morphology has the full range of affixes. Comment on research contribution The research, I think, may contribute evidence of the influence of home language towards the metalinguistic awareness which is later used as an approach for English spelling. This, then may be a worth-noting for any education practitioner to develop a particular English spelling teaching method that may work accordingly with the metalinguistic awareness the children may use. To make it possible, I think further researches on spelling teaching method that works accordingly with particular metalinguistic awareness are needed. References Ellis, R. 1986.Understanding Second Language Acquisition. Britain: Oxford University Press Fraenkel, Jack R and Wallen, Norman E.1993. How to Design and Evaluate Research in Education. New York: McGraw-Hill Inc Mora, Jill Kerper. 2008. Metalinguistic Transfer in Spanish/English Biliteracy. http://coe.sdsu.edu/people/jmora/moramodules/MetalingTransfer.htm Rickard Liow, Susan J and Lau, Lily H.S. 2006. The Develoment of Bilingual Children’s Early Spelling in English. Journal of Educational Psychology.2006. Vol 98. No.4. 868-878 Treimann, Rebecca and Bourassa, Derric. 2003. Spelling in Children with Dyslexia: Analyses from the Treimann-Bourassa Early Spelling Test. Scientific Studies of Reading, 7 (4), 309-333 Copyright © 2003, Lawrence Erlbaum Associates, Inc. http://artsci.wustl.edu/~rtreiman/Selected_Papers/Bourassa_and_Treiman_SSR_2003.pdf Appendix 1 Transfer of Metalinguistic Knowledge in Spanish/English Biliterate Students Source: Mora, J.K. (2001). Learning to spell in two languages: Orthographic transfer in a transitional Spanish/English bilingual program. In P. Dreyer (Ed.), Raising Scores, Raising Questions: Claremont Reading Conference 65th Yearbook, 64-84. Claremont, CA: Claremont Graduate University. The alphabetic principle and Spanish orthography The alphabetic principle and English orthography There are 29 alphabet letters that represent 24 phonemes. There are 26 alphabet letters that represent from 40 to 52 phonemes. 20 English phonemes have spellings that are predictable 90% of the time and 10 others are predictable over 80% of the time. There is a high level of correspondence between most Spanish letter-sound relationships and their English equivalents. The spelling of words can be derived by listening for its component phonemes and writing the corresponding letter. There is only one correct spelling for every word. We know how to pronounce every word we read based on its spelling. Segmenting words into sounds provides clues to their spelling most of the time. However, spelling in English also varies according to the position of the sound in a syllable, what sounds come before and after a given sound and the morphological structure of the word. Occasionally, a spelling will represent more than one word (read-read) so we have to use meaning as a clue to recognize the word. Some phonemes are spelled using more than one letter (ch, ll, rr). Other than these cases, if a letter is doubled, both letters are pronounced (leer). Many letters in English are used as markers that signal the sounds of other letters. These letters have no direct relation to the sounds in the word. Doubled letters may be part of a spelling pattern and frequently represent only one phoneme. There are 5 vowel letters and 5 vowel sounds that are consistent. They are always spelled the same, except for i which is sometimes spelled with a y (i griega) such as in soy, voy, y. There are five vowel letters and 15 vowel sounds in English. There are many different patterns used to spell these vowel sounds. A few phonemes can be spelled in more than one way (/h/= g or j as in jirafa, girasol; /s/ as in cita, sitio; /k/= c & qu as in casa, queso). There are 19 consonant phonemes that are sometimes spelled using more than one letter. Dividing words into syllables is helpful in knowing how to pronounce and spell them. Syllabification rules are regular. Syllables either contain a single vowel and or a diphthong. Diphthongs are a combination of a weak vowel (i, u) with a strong vowel (a,e,o) or two weak vowels. When we can pronounce words and break words into syllables and apply certain rules, we know how to place written accents correctly. Dividing words into syllables is helpful in knowing how to pronounce and spell them. There are six different types of syllables: open, closed, vowel-consonant-e, etc. Syllabification often depend on word meaning and origins, so we must use such word parts such as prefixes and suffixes for correct division and spelling of syllables. Parts of a word (morphemes) can be added or changed to change the meaning of the word. The meaning changes include verb tense, number and gender and agreement in number and gender, size and affection (-ito, -ón). Parts of a word (morphemes) can be added or changed to change the meaning of the word. Many parts of words in English do not change the way they are required to in Spanish.

writing achievement test

WRITING ACHIEVEMENT TEST Instruction: Please write a paragraph with cause and effect paragraph development. The topic is about “The effect of living with roomates”. The controlling ideas can be chosen among the following: 1. Makes attending college difficult 2. Makes attending college more lively 3. Causes some changes on my personality Remember that you have to consider some points as follows: 1. The topic sentence clearly states the cause or the effect being elaborated 2. The supporting ideas provided truly support the topic sentence 3. You provide enough specific details to solidly support the point stated in the supporting ideas 4. You organize the details to form a good flow of thought 5. You use transitional signal to help the reader follow your train of thought 6. Check for errors that may appear in terms of content, grammar, sentence structure, vocabulary, mechanic, and ideas organization WRITING ACHIEVEMENT TEST Instruction: Please write a paragraph with narrative paragraph development. The topic is about “My first camping”. The controlling ideas can be chosen among the following: 1. Taught me to be strong 2. Was the scariest moment in my life 3. Taught me to live without money Remember that you have to consider some points as follows: 1. The topic sentence clearly states a story that illustrate a point 2. The supporting ideas provided truly support the topic sentence 3. You provide enough specific details to solidly support the point stated in the supporting ideas 4. You organize the details with chronological order to form a good flow of thought 5. You use transitional signal to help the reader follow your train of thought 6. Check for errors that may appear in terms of content, grammar, sentence structure, vocabulary, mechanic, and ideas organization WRITING ACHIEVEMENT TEST Instruction: Please write a paragraph with descriptive paragraph development. The topic is about describing “someone’s room”. You can start your paragraph with “I can tell by looking at the room that __________________ “ (choose one of these) 1. a TV addict lives there 2. an outdoor person lives there 3. a photographer lives there Remember that you have to consider some points as follows: 1. The topic sentence clearly states the thing being described 2. The supporting ideas provided truly support the topic sentence 3. You provide enough specific details to solidly support the point stated in the supporting ideas, and that appeal to your reader’s senses 4. You organize the details with spatial order to form a good picture for your reader 5. You use transitional signal to help the reader follow your train of thought 6. Check for errors that may appear in terms of content, grammar, sentence structure, vocabulary, mechanic, and ideas organization

Bunga dan Kupu di jalan Berdebu

Bunga dan Kupu di jalan Berdebu Jalan ini penuh debu Tapi berbunga warna warni Sederet bunga di tiap pinggirnya Bahkan kupu-kupu sebagai bonusnya! Dan terpikir untuk berjalan terus Walau ujung sepatuku penuh debu Tapi mataku sejuk, hatiku tentram Bunga dan kupu membuatku terus Berjalan menyusuri semua nikmat Walau berdebu, tak apa Karena ketika mendongak Kejalan dulu yang beraspal Aku malah takut Kehilangan wangi para bunga Dan tarian para kupu Dijalan berdebu ini Jadi biar sajalah ujung sepatuku berdebu! Untuk mata dan hatiku yang teduh Lokita Purnamika (2011)

Dying Weeping Fountain

Dying weeping fountain RIP. A.A. Ngr Yogi Swastawan Panji if only I could turn back the time I would If that make it another chance For you and I To meet A ton of regrets and sigh Knowing that possibility would happen never Don”t you understand Ricahard Cory poem we discussed? Or am I too stupid Not to make it pretty clear for you? Now, even sleep could not reconcile This dying weeping fountain Lokita Purnamika (2012)

Puisi Nasional dan Kepribadia Bangsa

Pendahuluan Perrine (1982: 9) menyatakan bahwa puisi berbeda dengan karya sastra lain seperti cerita fiksi dan drama. Perbedaan ini terdapat pada kemampuan puisi dalam menyampaikan banyak hal dengan kata-kata yang paling sedikit. Poetry is the most condensed and concentrated form of literature, saying most in the fewest number of words. It is language whose individual lines, either because of their own brilliance or because they focus so powerfully what has gone before, have a higher voltage that most language has. Puisi memberikan kesempatan bagi pembaca tidak hanya untuk mendapatkan kesenangan (amusement) tetapi juga pembelajaran akan hidup (fully realized life). Puisi menyampaikan nilai-nilai budaya yang tercermin dalam fenomena-fenomena kehidupan, keyakinan, moral, etika dan kepribadian bangsa secara nyata kepada pembaca. Nilai budaya menurut Koentjaraningrat (1992) merupakan konsepsi-konsepsi yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar warga masyarakat mengenai hal-hal yang harus mereka anggap amat bernilai dalam hidup . Seperti halnya bahasa dalam karya sastra imaginative lain, bahasa yang digunakan dalam puisi tidak berfungsi sebagai bahasa praktis (practicel use of language) yang tujuannya untuk menyampaikan informasi; tetapi berfungsi sebagai bahasa sastra (literary use of language) yang tujuannya untuk menyampaikan pengalaman. Tujuan utama dari puisi adalah menyampaikan pengalaman dan bukan informasi. Puisi dibuat untuk memberikan kita rasa dan persepsi tentang kehidupan, untuk memperluas dan mempertajam sensitivitas kita terhadap sebuah eksistensi. Seorang pujangga menuliskan sebuah puisi bukan untuk menyampaikan informasi secara ilmiah tetapi untuk menyampaikan perasaan atau pendapat melalui pengalaman yang dipaparkan lewat untaian kata dalam puisinya. Pengalaman yang disampaikan tentu saja berdasarkan apa yang ia ketahui dan yang terjadi disekitarnya. Tanpa bisa dihindari hal ini menjelaskan kenapa unsur kepribadian suatu bangsa akan tercermin dalam puisi-puisi bangsa tersebut. Puisi-puisi nasional bangsa kita bukalah pengecualian. Puisi-puisi nasional ini mampu menyampaikan budaya nasional yang membentuk kepribadian bangsa. Hal ini sejalan dengan pendapat Moody (dalam Ardiana, 1990: 221) yang menyatakan bahwa sastra memiliki beberapa peranan dalam dunia pendidikan. Sastra itu berperan untuk menunjang keterampilan berbahasa, meningkatkan pengetahuan, mengembangkan cipta, karsa, dan rasa, serta mengembangkan pembentukan watak Puisi nasional yang dimaksud dalam makalah ini adalah puisi yang ditulis dalam bahasa Indonesia, walaupun banyak orang berpendapat bahwa puisi berbahasa daerah pun adalah bagian dari puisi nasional. Hal ini diputuskan karena terdapat keyakinan bahwa siapapun yang menulis puisi berbahasa Indonesia pastilah orang-orang yang menyampaikan pikirannya sebagai bagian dari Bangsa Indonesia, dan bukan secara ekslusif bagian dari satu daerah (lokal) tertentu. Ide utama dari makalah ini adalah untuk memperkenalkan bahwa kepribadian-kepribadian bangsa tercermin dari beberapa puisi-puisi nasional. Puisi-puisi yang dipilih adalah puisi-puisi yang kental menyampaikan kepribadian bangsa, jadi tidak dipilih berdasarkan ketenaran dari pencipta puisinya. Implikasi dari ide makalah ini adalah adanya upaya-upaya dari pendidik untuk memperkenalkan kepribadian bangsa melalui puisi-puisi nasional di kelas untuk membentuk kepribadian bangsa pada diri pelajar. Kepribadian Bangsa dalam Puisi Berikut adalah paparan beberapa (jadi tidak semua)kepribadian bangsa yang tercemin dari puisi-puisi nasional yang terpilih untuk dikaji dalam makalah ini. 1. Kesederhanaan dan Kebersamaan keluarga Puisi berjudul Taman karangan Chairil Anwar ini mencerminkan dua kepribadian bangsa kita yaitu kesederhanaan dan kebersamaan. Berikut ada TAMAN Chairil Anwar Taman punya kita berdua tak lebar luas, kecil saja satu tak kehilangan yang lain dalamnya Bagi kau dan aku cukuplah Taman kembangnya tak berpuluh warna Padang rumputnya tak berbanding permadani halus lembut dipijak kaki. Bagi kita itu bukan halangan. Karena dalam taman punya berdua Kau kembang, aku kumbang aku kumbang, kau kembang. Kecil penuh surya taman kita tempat merenggut dari dunia dan ‘nusia Kepribadian yang tercermin dalam puisi “Taman” karya Chairil Anwar ini adalah kesederhanaan. Tak perlu bermewah-mewah (kembangnya tak berpuluh warna// rumputnya tak berbanding permadani//) namun sudah bisa hidup bahagia (penuh surya taman kita//). Sebuah rumah (taman) yang kecil, namun didalamnya saling memiliki. Taman itu sudah cukup untuk berdua (kau dan aku) meskipun hiasannya tidak banyak, meskipun tidak ada permadani yang halus dan lembut tidak menjadi halangan karena mereka (kau dan aku) sudah saling menyayangi seperti kumbang dan kembang, sehingga meskipun rumahya kecil namun menjadi tempat yang penuh akan kebahagian dan bisa menjadi tempat untuk istirahat. Penyair menyampaikan kesederhanaan hidup dan pentingnya kebersamaan dengan keluarga. Jika ingin bahagia tidak harus memiliki rumah (materi) yang serba mewah. Meskipun dengan kehidupan yang sedehana asalkan disitu disertai dengan kebersamaan dan kasih sayang maka sudah cukup untuk menciptakan suatu kehidupan yang membahagiakan. Kesederhanaan hidup dan kebersamaan bersama keluarga merupakan bagian dari kepribadian bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia lebih menilai keutuhan dan kebersamaan keluarga dibandingkan pemenuhan materi. Hal ini juga tercermin pada sebuah lagu yang dinyanyikan oleh grup Band SLANK, yang salah satu liriknya menyebutkan “makan-ga makan asal kumpul” Lirik lagu ini juga menyuarakan arti kebersamaan keluarga, yang ditempatkan jauh lebih tinggi dibandingkan kepentingan perut (pemenuhan materi). 2. Keiklasan, Keberanian Membela Negara dan Kepasrahan Menerima Takdir Asmaradana Goenawan Mohamad Ia dengar kepak sayap kelelawar dan guyur sisa hujan dari daun, karena angin pada kemuning. Ia dengar resah kuda serta langkah pedati ketika langit bersih kembali menampakkan bimasakti, yang jauh. Tapi di antara mereka berdua, tidak ada yang berkata-kata. Lalu ia ucapkan perpisahan itu, kematian itu. Ia melihat peta, nasib, perjalanan dan sebuah peperangan yang tak semuanya disebutkan. Lalu ia tahu perempuan itu tak akan menangis. Sebab bila esok pagi pada rumput halaman ada tapak yang menjauh ke utara, ia tak akan mencatat yang telah lewat dan yang akan tiba, karena ia tak berani lagi. Anjasmara, adikku, tinggalah, seperti dulu. Bulan pun lamban dalam angin, abai dalam waktu. Lewat remang dan kunang-kunang, kaulupakan wajahku, kulupakan wajahmu. Asmaradana adalah sebuah tembang macapat dari Jawa, biasanya ditujukan untuk pemuda-pemuda yang sedang mengalami masa pertumbuhan. Asmaradana dalam tembang macapat Jawa mengisahkan tentang cinta Damarwulan dan Anjasmara. Puisi Asmaradana ini menangkap momen ketika Anjasmara berpisah dengan Damarwulan, kekasihnya. Goenawan Mohamad melukiskan perpisahan itu dengan menyayat hati dan kepasrahan total. Ia dengar kepak sayap kelelawar dan guyur sisa hujan dari daun, karena angin pada kemuning. Ia dengar resah kuda serta langkah pedati ketika langit bersih kembali menampakkan bimasakti, yang jauh. Tapi di antara mereka berdua, tidak ada yang berkata-kata. Goenawan Mohamad melukiskan perpisahan ini dengan menggambarkan latar alam yang suram sekaligus romantik. Suasana sehabis hujan pada malam hari mempunyai misteri magis tersendiri untuk perasaan kita: dingin, mencekam, suram. GM menggambarkan pada saat itu ia dengar kepak sayap kelelawar dan guyur sisa hujan dari daun. Langit yang tadi gelap gulita karena hujan deras kembali cerah menampakkan galaksi bimasakti yang jauh, tetapi tetap saja suasana gelap karena sudah malam. Kuda-kuda meringkik resah. Mereka seolah bisa merasakan kegelisahan hati tuannya. Hati Damarwulan dan Anjasmara bergejolak, ingin menyampaikan banyak hal: kesedihan, tangis, kecemasan, dan ketidakberdayaan. Namun, mereka tidak ada yang berkata-kata. Bungkam. Lalu ia ucapkan perpisahan itu, kematian itu. Ia melihat peta, nasib, perjalanan dan sebuah peperangan yang tak semuanya disebutkan. Damarwulan tahu, nasibnya bagaikan buah simalakama. Jika ia menang melawan Minak Jingga, ia akan dianugerahi jabatan dan ia akan menjadi kaum elit kerajaan Majapahit. Ia pun akan diminta menikah dengan perempuan lain -yang lebih elit. Namun, pilihan itu terasa absurd karena Minak Jingga sangat tangguh. Ia sangat sakti. Kemungkinan yang paling besar adalah Damarwulan dan Minak Jinggo akan bertarung sampai mati. Maka, pertemuan ini adalah pertemuan yang terakhir bagi dua kekasih itu. Lalu ia tahu perempuan itu tak akan menangis. Sebab bila esok pagi pada rumput halaman ada tapak yang menjauh ke utara, ia tak akan mencatat yang telah lewat dan yang akan tiba, karena ia tak berani lagi. Namun, Damarwulan tahu Anjasmara adalah wanita yang tegar. Ia takkan menangis walaupun nanti pagi ada tapak kaki dirinya yang menuju utara -menuju medan perang. Ia buang semua masa lalu dalam kepalanya hingga ia tak punya lagi alasan untuk bersedih. Anjasmara, adikku, tinggalah, seperti dulu. Bulan pun lamban dalam angin, abai dalam waktu. Lewat remang dan kunang-kunang, kaulupakan wajahku, kulupakan wajahmu. Dalam remang-remang malam dikelilingi puluhan kunang-kunang, Damarwulan pun meminta Anjasmara untuk melupakannya, karena ia pun akan melupakan Anjasmara. Damarwulan meminta Anjasmara agar tunduk kepada takdir, pasrah. Puisi ini tidak hanya berbicara tentang asmara. Lebih dari itu, ia berbicara tentang kehidupan. Puisi ini mencerminkan kepribadian bangsa yaitu keberanian. Seorang lelaki untuk gagah berani maju berperang untuk membela negara walaupun untuk itu ia harus tewas dan meninggalkan keluarganya yang tenang tenteram. Selain itu puisi ini juga mencermikan kepribadian bangsa yang lain yaitu keiklasan. Para istri rela melepas suaminya untuk berjuang, walaupun untuk itu ia harus siap mendengar kabar kematian atau suaminya menikah dengan perempuan lain. Puisi ini mengingatkan kita akan masa penjajahan di bumi Indonesia. Para suami harus berani pergi dan keluar dari rumah untuk bergerilya sementara para istri dengan iklas merelakan kepergian suami mereka untuk membela negara. Puisi Asmaradana juga bermain dengan keiklasan menghadapi takdir. Hidup tidaklah selamanya mulus. Ada saat-saat di atas dan ada pula saat-saat di bawah. Ketika kita menghadapi saat-saat yang buruk dan tanpa harapan, kita harus tetap berani melangkah dengan tegar dan menghadapinya dengan hati yang lapang. Kita harus memainkan peran kita sebaik mungkin dalam hidup ini sampai kita mati. Secara tidak langsung, puisi ini membuat kita semakin menghargai arti kehidupan, perpisahan, keluarga, dan cinta 3. Kepercayaan pada Tuhan dan Kemauan Melakukan Pembaharuan (revolusi) Penyair Taufiq Ismail, mengungkapkan keberanian mahasiswa menentang penguasa yang semena-mena. Selain itu dalam puisinya Taufiq Ismail menyiratkan kepribadian bangsa kita yang memiliki kepercayaan kepada Tuhan yang sangat tinggi. Berikut adalah paparan dari puisi tersebut. Ketika Sebagai Kakek di tahun 2040, Kau menjawab Pertanyaan Cucumu Taufiq Ismail Cucu kau tahu, kau menginap di DPR bulan Mei itu Bersama beberapa ribu kawanmu Marah, serak berteriak dan mengepalkan tinju Bersama-sama membuka sejarah halaman satu Lalu mengguratkan baris pertama bab yang baru Seraya mencat spanduk dengan teks yang seru Terpicu oleh kawan-kawan yang ditembus peluru Dikejar masuk kampus, terguling di tanah berdebu Dihajar dusta dan fakta dalam berita selalu Sampai kini sejak kau lahir dahulu Inilah pengakuan generasi kami, katamu Hasil penataan dan penataran yang kaku Pandangan berbeda tak pernah diaku Daun-daun hijau dan langit biru, katamu Daun-daun kuning dan langit kuning, kata orang-orang itu Kekayaan alam untuk bangsaku, katamu Kekayaan alam untuk nafsuku, kata orang-orang itu Karena tak mau nasib rakyat selalu jadi mata dadu Yang diguncang-guncang genggaman orang-orang itu Dan nomor yang keluar telah ditentukan lebih dulu Maka kami bergeraklah kini, katamu Berjalan kaki, berdiri di atap bis yang melaju Kemeja basah keringat, ujian semester lupakan dulu Memasang ikat kepala, mengibar-ngibarkan benderamu Tanpa ada pimpinan di puncak struktur yang satu Tanpa dukungan jelas dari yang memegang bedil itu Sudahlah, ayo kita bergerak saja dulu Kita percayakan nasib pada Yang Satu Itu.. Pada puisi ini cerminan keberanian (mahasiswa) sangat jelas tersurat. Mahasiswa menentang masa pemerintahan lama yang selalu ingin diikuti dan tidak mau menerima pendapat orang yang berbeda terlihat pada kalimat berikut ini: Inilah pengakuan generasi kami, katamu Hasil penataan dan penataran yang kaku Pandangan berbeda tak pernah diaku Daun-daun hijau dan langit biru, katamu Daun-daun kuning dan langit kuning, kata orang-orang itu Kekayaan alam untuk bangsaku, katamu Kekayaan alam untuk nafsuku, kata orang-orang itu Puisi ini juga mengupas bagaimana sikap penguasa terhadap rakyat yang senantiasa dibodohi, sehingga mereka harus bergerak. Karena tak mau nasib rakyat selalu jadi mata dadu Yang diguncang-guncang genggaman orang-orang itu Dan nomor yang keluar telah ditentukan lebih dulu Maka kami bergeraklah kini, katamu Taufiq juga berhasil menyampaikan secara eksplisit bahwa mahasiswa harus bergerak walaupun tidak didukung oleh pemimpin ataupun yang memegang bedil (angkatan bersenjata). Jelas makna puisi ini pada keberanian Indonesia melakukan revolusi atau pembaharuan. Dan dengan luwesnya Taufiq mampu menyelipkan kepribadian bangsa kita yang lain yaitu kepercayaan pada Tuhan pada baris terakhir puisi ini. Kalimat terakhir ini ditandai dengan frase Yang Satu Itu, semuanya diawali dengan huruf kapital, yang jelas menyiratkan acuannya kepada Tuhan. Tanpa ada pimpinan di puncak struktur yang satu Tanpa dukungan jelas dari yang memegang bedil itu Sudahlah, ayo kita bergerak saja dulu Kita percayakan nasib pada Yang Satu Itu. Memperkenalkan Puisi Nasional didalam Kelas Beberapa pemerhati sastra dan pendidikan seperti Utami (2011), Finch (2003), dan Hollowel (1999), menyatakan bahwa puisi sangat perlu diperkenalkan di kelas Bahasa karena puisi mampu meningkatkan daya kreatifitas dan kepekaan bahasa yang menunjang penguasaan bahasa. Selain itu, Perrine (1982) mengungkapkan bahwa puisi mampu memperkenalkan ide lewat pengalaman yang dipaparkan. Ide yang dimaksud ini biasanya merupakan pesan moral. Pesan moral pada suatu bangsa tertentu biasanya merupakan kepribadian bangsa tersebut, yaitu tingkah laku yang diharapkan untuk diikuti oleh masyarakat. Karena tugas pendidik tidak hanya untuk mendidik pelajar pada bidang tertentu tetapi juga mendidik pelajar sebagai bagian dari masyarakat, maka mengajarkan etika, moral dan kepribadian bangsa sangatlah diperlukan. Sehingga, puisi bisa diperkenalkan dikelas apapun juga tidak terbatas pada kelas Bahasa. Misalnya, pada kelas sejarah pendidik bisa menggunakan puisi “Asmarandana” dari Goenawan Muhamad untuk memperkenalkan sastra nasional yang dihubungkan dengan keiklasan dan keberanian berperang untuk membela negara. Atau pada kelas matematika, ketika pelajar telah usai membahas semua materi, pendidik bisa menggunakan puisi untuk memecah rutinitas menghitung angka dengan pembicaraan sosial atau penyampaian pesan moral lewat puisi. Penutup Berdasarkan paparan diatas sangat jelas bahwa memperkenalkan puisi didalam kelas mampu membentuk kepribadian bangsa karena puisi mengandung pesan moral yang mengacu pada karakter bangsa. Pada makalah ini telah diungkap tujuh kepribadian bangsa yang tercermin dari puisi-puisi nasional kita seperti (1) kesederhanaan; (2) kebersamaan keluarga; (3) keiklasan; (4) keberanian membela negara; (5) Kepasrahan Menerima Takdir; (6) Kepercayaan kepada Tuhan dan; (7) kemamuan melakukan pembaharuan (revolusi). Tentu saja banyak kepribadian bangsa lain yang bisa diungkap dari puisi-puisi nasional dan tidak terbatas pada tujuh kepribadian bangsa yang disebut pada makalah ini. Makalah ini bersifat sebuah pemaparan ide bahwa kepribadian bangsa bisa diperkenalkan lewat puisi, sehingga pendidik bisa menggunakan puisi sebagai salah satu kegiatan didalam kelas. Penulis menganjurkan agar para pendidik tidak perlu ragu-ragu lagi untuk memperkenalkan puisi karena puisi sangat bermanfaat dalam membentuk karakter bangsa pada diri pelajar. Selain itu perspektif bahwa puisi adalah bagian dari pelajaran kelas bahasa perlu diperbaiki, karena puisi bisa diperkenalkan dikelas apapun, bisa digunakan sebagai pembuka topik atau pengisi waktu (filler) untuk memecah rutinitas didalam kelas. Daftar Pustaka Ardiana, Leo Idra. 1990. Pengajaran Drama: Berapresiasi dan Berekspresi . Makalah dalam buku Sekitar Masalah Sastra: Beberapa Prinsip dan Model Pengembangannya. Malang: Yayasan Asih Asah Asuh. Finch, A. (2003) Using Poems to Teach English. English Language Teaching. 15(2), 29–45 Hollowell, Karen. (1999). How To Teach English Through Poetry. Available on line at: http://www.ehow.com/how_4898352_teach-english-through-poetry.html#ixzz1Fg2C1Ohl Koentjaraningrat. 1992. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Perrine, Laurence. 1982. Sound and Sense: An Introduction to Poetry. Toronto: Harcourt Brace Jovanovich, Publi Utami, I.G.A. Lokita Purnamika. 2011. The Importance of Introducing Poetry to EFL Students. Sebuah artikel yang dipresentasikan pada the 2011 Asia Creative Writing Conference: Creating Interactive Language Classroom Through Creativity, Exploration, & self Identity in the Asian Context di POLTEK Negeri Jember pada tanggal 31 maret-1 april 2011. http://puisiindonesiamodern.blogspot.com/ http://www.bangfad.com/Tags/puisi-nasional http://cabiklunik.blogspot.com/2008/11/oase-budaya-indonesia-dalam-bingkai.html http://id.shvoong.com/social-sciences/1776946-jejak-langkah-sastra-indonesia/