Monday, June 4, 2012

TEKNIK GUIDED DIALOGUE

TEKNIK GUIDED DIALOGUE UNTUK MENUMBUHKAN KEMAMPUAN PRAGMATIK 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Pengertian Kemampuan Pragmatik Pragmatik adalah sebuah studi tentang bahasa dari sudut pandang pemakai bahasa, terutama mengenai pilihan yang mereka ambil, ketidakleluasaan yang mereka hadapi dalam berinteraksi sosial, serta effek dari bahasa yang dipakai terhadap lawan bicara selama proses berkomunikasi (Crystal dalam Kasper: 1997). Liu (2005) menyatakan bahwa pragmatik adalah bagian dari ilmu bahasa yang berkembang sekitar tahun 1970an. Pragmatik adalah ilmu tentang bagaimana orang memahami dan menghasilkan suatu ucapan yang bersifat komunikatif dalam situasi nyata.. Ini membedakan dua makna dalam setiap ujaran pada komunikasi lisan. Selain itu, pragmatik juga merupakan suatu ilmu tentang bagaimana suatu susunan kata atau frase dapat nenyampaikan makna suatu kalimat; hal ini berhubungan dengan sifat ambigu suatu kalimat. Tambahan pula, Thornbury (2005: 16) menyatakan bahwa pragmatic menggambarkan hubungan antara bahasa dan konteks dimana bahasa itu digunakan, meliputi tujuan dan siapa yang diajak berbicara. Tentang bagaimana si pembicara menyampaikan pesannya sehingga maksudnya dapat tercapai, dan tentang bagaimana si pendengar dapat mengghubungkan informasi yang mereka miliki agar dapat memahami apa yang mereka dengar. Sehubungan dengan kompetensi pragmatik, Kasper (1997) menyatakan kompetensi pragmatik sebagai suatu kemampuan untuk memahami dan menghasilkan suatu ucapan yang meliputi pengetahuan tentang jarak sosial, status sosial antar pembicara, pengetahuan tentang budaya dan ilmu tentang bahasa secara implisit dan ekplisit. Menurut Brown (2007), kompetensi pragmatik adalah kemampuan untuk menghasilkan serta memahami aspek-aspek bahasa dari segi fungsi dan social; illocutionary competence. Sependapat dengan Brown, Dessalles (1998) menyatakan bahwa kompetensi pragmatik membuat kita dapat memakai bahasa dalam situasi nyata, agar dapat memberikan argument yang relevan, serta dapat menjadi pembicara yang berkompeten. Kompetensi pragmatik adalah kemampuan untuk memahami maksud orang lain (Thornbury, 2005: 16). Jadi, peneliti menyimpulkan bahwa kompetensi pragmatik adalah cara yang kita lakukan untuk dapat menyampaikan maksud kita dalam proses berkomunikasi. Hal ini meliputi bagaimana kita memakai bahasa dengan baik dan benar. Kegiatan berbicara diyakini memberikan banyak kesempatan pada siswa dalam menegmbangkan kompetensi pragmatik mereka sebab berbicara memberi ruang untuk berinteraksi dengan sesama teman. Seperti halnya berbicara, kompetensi pragmatik juga mengaharapkan suatu interaksi langsung dalam pemakaian bahasa asing. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa berbicara adalah tempat pengembangan kompetensi pragmatik, terutama guna meningkatkan aspek pronunciation, grammar, vocabulary, fluency, serta comprehension. Dalam proses belajar, ruang kelas adalah hal yang paling penting dan juga merupakan satu-satunya sumber atas masukan-masukan yang relevan guna peningkatan kompetensi pragmatik siswa sebab ruang kelas memberi ruang untuk berinteraksi dengan pemakai bahasa dengan kemampuan bahasa yang setara. Menjadi hal yang penting untuk melihat penegertian berbicara menurut para ahli karena berbicara berhubungan erat dengan kompetensi pragmatik. Sama seperti komptensi pragmatik, berbicara juga merupakan hal penting yang perlu diajarkan karena dengan memiliki kemampuan berbicara akan memudahkan siswa untuk mengekpresikan ide, perasaan, kejadian, serta pengalaman mereka kapan dan dimanapun mereka berada. Berbicara juga merupakan bagian dari kehidupan kita sehari-hari. Cross (1999) menyatakan bahwa berbicara sebagai suatu bentuk kemampuan berkomunikasi, digunakan untuk mengungkapkan ide seseorang maupun kejadian dalam situasi apapun. Jadi, tak dapat dipungkiri bahwa berbicara harus dapat dikuasai oleh semua siswa mengingat berbicara adalah dasar dari semua pengembangan bahasa. Richards, dkk dalam Jabu (2000) seperti dikutip dalam Sasmedi (2008) menyatakan bahwa berbicara sangat jarang dilakukan dalam komunikasi satu arah (monolog). Beebicara melibatkan adanya partisipasi dari pendengar/ lawan bicara. Dalam suatu komunikasi interactive, dalam waktu yang bersamaan seorang dapat menjadi pembicara sekaligus pendengar.jadi berbicara merupakan kemampuan untuk menggunakan bahasa secara lisan. Menurut The National Capital Language Resources Center (2003) dalam Arista Dewi (2008), berbicara meliputi tiga area yaitu mechanics (pengucapan, struktur, dan kosa kata), fungsi (transaction dan interaction, sosial dan aturan sosial) and norma (turn-taking, kecepatan ujaran, lama pausing antara para pembicara). Berbicara merupakan suatu skill dan sangat penting untuk dikembangkan dan dilatih secara terpisah dari kurikulum yang lebih menekankan pada struktur kalimat. Berbicara juga merupakan skill paling penting untuk diajarkan oleh para guru di sekolah. Kemampuan berbicara adalah bagian dari semua kemampuan siswa dalam berbahasa. Memiliki kemampuan untuk berbicara sangatlah penting sebab berbicara tidak sekedar mampu memahami tata bahasa melainkan tentang bagaimana mengaplikasikan pengetahuan ini dalam menyampaikan pesan di dunia nyata. Penulis sendiri mengartikan bahwa berbicara adalah proses penyampaian informasi, perasaan, pikiran, dan pengalaman kepada orang lain melalui proses berkomunikasi yang melibatkan pembicara dan pendengar. Berdasarkan pemaparan di atas, untuk menjadi seorang pembicara yang baik, seseorang harus memiliki karakteristik seperti di bawah ini: 1) Memiliki kejelasan dan percaya diri untuk menyampaikan pandangan maupun informasi. 2) Menggunakan bahasa untuk mencari, menciptakan pertanyaan maupun untuk memperbaharui ide-ide. 3) Mengakui bahasa sebagai alat berkomunikasi. 4) Mampu bekerja secara efektif dengan orang lain dengan peranan yang berbeda. 5) Memiliki berbagai jenis gaya yang digunakan secara tepat. Dilihat dari karakteristik tersebut, seorang pembicara yang baik tidak cukup hanya dapat berbicara secara lancar melainkan juga harus dapat memberikan pandangan dengan jelas dan percaya diri saat berbicara. Mereka berbicara untuk menyampaikan apa yang ada dalam pikiran mereka. Selain itu, pembicara yang baik hendaknya juga dapat menggunakan gaya berbicara yang tepat sesuai dengan kondisi dan situasi saat mereka berbicara. Dalam kelas berbicara, seorang guru hendaknya mengetahui karakteristik suksesnya suatu kegiatan berbicara. Sasmedi (2008) menyatakan bahwa kelas berbicara yang berhasil hendaknya memiliki karakteristik seperti di bawah ini: 1) Siswa banyak bicara 2) Adanya partisipasi para siswa 3) Motivasi tinggi 4) Bahasa dapat dipahami Adapun masalah dalam berbicara yaitu: 1) Malu 2) Tidak ada bahan pembicaraan 3) Rendahnya partisipasi siswa 4) Menggunakan bahasa ibu 2.1.2 Dialog Dalam Kegiatan Berbicara Berbicara adalah kemampuan bahasa yang digunakan untuk menyampaikan ide atau peristiwa dalam berbagai situasi hendaknya memberi kesempatan kepada siswa untuk belajar dan berlatih sekaligus untuk berdiskusi dan terlibat dalam kegiatan interaktif. Jadi diperlukan adanya alat untuk membangun dan memberi kesempatan kepada siswa untuk berlatih agar dapat berbicara secara komunikatif. Berdasarkan hal tersebut, dapat dikatakan bahwa dialog adalah kegiatan yang paling sesuai dalam kelas berbicara guna meningkatkan kompetensi pragmatik siswa. Dialogue sesungguhnya adalah tehnik lama yang berkembang pada masa Audiolingual Method. “In audiolingualism, speaking is taught by having students repeat sentences and recite memorized dialogues from the textbook. … The assumption underpinning the Audiolingual Methods is that students learn to speak by practicing grammatical structures until producing those structures has become authentic. When this happens, it is hoped that the learners will be able to carry on conversations. As a result, “teaching oral language was thought to require no more than engineering the repeated oral production of structures …. concentrating on the development of grammatical and phonological accuracy combined with fluency”. (Bygate dalam Bailey, 2005:17) Dialog adalah adalah method yang dikembangkan pada masa Audilongualism. Teori ini menyatakan bahwa pengulangan/drill serta koreksi dapat membangun kebiasaan berbicara yang baik dimana siswa menjadi lebih lancar dan terbiasa. Dialog dapat dipandang sebagai jenis drama pendek, biasanya diperankan di kelas dari sekedar membaca nyaring (Cross, 1991: 92). Dobson (1972) dalam Subiana (2007: 20) mengartikan dialog sebagai bentuk percakapan pendek antara dua orang yang berperan sebagai pembicara sekaligus pendengar. Dialog meliputi kegiatan berkomunikasi yang dapat digunakan untuk membangun kemampuan berkomunikasi guna meningkatkan kompetensi pragmatik siswa. Dialog melibatkan lebih dari satu orang dan orang-orang tersebut memberi respon terhadap yang lain. Dialog adalah pertukaran pikiran, informasi atau perasaan dengan orang lain. Dalam kehidupan sehari-hari maupun di dalam kelas, dialog dipakai untuk membangun rasa percaya diri, membangun hubungan, menilai perasaan dan mencari informasi. Dengan dialog, siswa secara produktif dapat membicarakan tentang topic tertentu seperti tugas, sastra, film dan televisi serta gossip yang sedang berkembang. Dialog yang melibatkan siswa secara berpasangan dalam prosesnya dapat memotivasi dan membangun rasa percaya diri siswa. Pennington dalam Bailey (2005:38) menyebutkan bahwa penggunaan pair work dan group work dapat meningkatkan motivasi siswa dan memberi banyak kesempatan, kemandirian, kreatifitas, dan praktek nyata. Pair work dan group work juga memberi masukan kepada siswa dari sumber lain selain guru terutama dari teman sebaya mereka. Tambahan pula, dari penelitian-penelitian yang telah dilakukan, didapatkan bahwa siswa yang bekerja berpasangan memiliki waktu bicara lebih banyak dibandingkan dengan siswa yang bekerja secara individu yang hanya memperhatikan penjelasan guru. Setiap penelitian kelas menemukan bahwa siswa yang berbicara secara berpasangan juga mampu menciptakan jenis ucapan yang lebih beragam meliputi yang biasanya diperagakan oleh guru (Long et.al dalam Bailey, 2005: 38). Dalam kelas berbicara, siswa aktif atau biasa disebut students-centered harus dapat terlaksana. Walaupun demikian, guru tetap berperan dalam mengorganisasikan kelas untuk kegiatan berbicara. Scott dan Ytreberg (1990:39) mengatakan bahwa dialog adalah cara yang tepat untuk menjembatani antara tugas yang diberikan bantuan dan yang bebas. Jika kelasnya padat maka kita perlu membagi siswa dalam bentuk kelompok kecil atau berpasangan sehingga setiap individu dapat berbicara lebik banyak. Membagi siswa dalam bentuk pasangan atau group untuk mengerjakan dialog yang diberi petunjuk adalah cara sederhana untuk menghadapi kelas gemuk dimana siswa diharapkan untuk membuat dialog sesuai dengan situasi dan petunjuk yang diberikan. Dalam menggunakan dialog, Subiana (2007: 21) mengajukan beberapa langkah yang dapat dilakukan guna meningkatkan kemampuan berbicara siswa diantaranya: 1) Guru dapat memodifikasi dialog menyesuaikan dengan lingkungan sekitar siswa. 2) Guru dapat menulis dialog di papan tulis dan memberikan kesempatan pada siswa untuk memberikan saran atau perubahan sesuai dengan tema percakapan yang disusun. 3) Guru dapat menyuruh siswa memparafrase kalimat-kalimat dalam dialog. 4) Agar dapat menggunakan ekspresi yang lebih bebas, guru dapat memberikan situasi sejenis seperti yang ada pada dialog dan meminta siswa untuk membawakan dialog yang mereka buat dengan bahasa mereka sendiri. 5) Guru menyediakan situasi seperti pada poin 4, tapi dalam hal ini guru membacakannya di depan kelas dan meminta setiap siswa menulis dialog mereka sendiri sesuai dengan situasi yang diberikan sebagai tugas tambahan. Tugas tersebut nantinya dikumpulkan dan diperiksa oleh guru. 6) Dialog tersebut digunakan sebagai poin tambahan untuk percakapan yang lebih umum. Misalnya, tema tentang hobi pada percakapan antara siswa A dan siswa B dapat menjadi bahan diskusi bagi siswa yang lain, seperti menanyakan hobi masing-masing, mengapa mereka menyukainya, berapa kali mereka melakukannya, menanyakan hobi temannya, dan lain-lain. 7) Menggunakan Guided Dialogue. Guided Dialogues adalah salah satu kegiatan berbicara, dimana siswa secara berpasangan melengkapi dialog rumpang dengan ide mereka dan mereka kemudian mempraktekkannya bersama (Cambridge University Press, 2009). Dalam hal ini, dialog didesain sesuai dengan situasi dan petunjuk tertentu yang nantinya digunakan oleh setiap pasangan untuk menyusun dialog mereka. Guided Dialogue diadaptasi dari teknik Role Play. Dalam Role Play, sebelum mempresentasikan dialogue siswa akan diberikan peran dan diberikan situasi dalam bentuk kartu peran (role card). Akan tetapi, dalam Guided Dialogues siswa diberikan suatu kerangka dialog yang berisi petunjuk, suruhan dan situasi sebagai petunjuk bagi siswa untuk menyusun dialog dengan bahasa mereka sendiri. Sebagai tambahan, beberapa frase (ekpresi) yang berhubungan dengan topik yang sedang dibicarakan juga dimasukkan di dalamnya. Pada paragraf sebelumnya disebutkan bahwa dialog berkembang pada era Audiolingual Method dan menekankan pengulangan struktur kalimat. Sebaliknya, pada Guided Dialogues siswa tidak dibiasakan untuk memengulangi ucapan yang sama maupun mengisi dialog rumpang seperti yang terjadi dalam masa Audiolingual Methods. Dalam Guided Dialogues, siswa hanya diberikan kerangka tentang apa yang mereka dapat katakana sehingga percakapan mereka menjadi lancar. Di sini siswa bebas membuat kalimat dengan pengetahuan yang telah mereka miliki. Tidak ada batasan bagi siswa seperti pada Audiolingual Methods. Drill/pengulangan kadang dilakukan, tetapi bukan menjadi sifat Guided Dialogues. Hal ini hanya dilakukan apabila siswa membuat kesalahan yang fatal sehingga harus segera diluruskan oleh guru. Berdasarkan penjelasan di atas, sangatlah jelas bahwa penerapan Guided Dialogues dalam kelas berbicara akan dapat menjawab permasalahan yang biasa terjadi dalam kelas berbicara karena siswa diberikan petunjuk dan diberi kesempatan untuk berinteraksi. Hal ini sejalan dengan Bailey (2005: 36) yang menyebutkan tiga prinsip dalam pengajaran berbicara kepada pemula: 1) Menyiapkan topik untuk dibicarakan. 2) Memberi kesempatan bagi siswa untuk berinteraksi dalam group maupun berpasangan. 3) Mengatur situasi kelas sehingga mendukung praktek berbicara. 2.1.3 Pentingnya Penggunaan Dialog Dalam kelas berbicara, dialog meliputi interaksi dan expresi secara lisan untuk menyampaikan ide, peristiwa, situasi, maksud antar pembicara sebagai suatu kebutuhan berbicara. Scott dan Ytreberg (1990:41) menyebutkan beberapa aspek tentang pentingnya penggunaan dialog dalam kegiatan berbicara: 1) Siswa berbicara sebagai orang pertama dan kedua, sedangkan teks biasanya dalam bentuk orang ketiga. 2) Siswa belajar bertanya serta menjawab. 3) Siswa belajar menggunakan kalimat yang singkat serta merespon secara tepat. 4) Siswa tidak hanya menggunakan kata-kata, tetapi juga menggunakan semua aspek berbicara seperti penekanan, intonasi, nada bicara, mimik dan lain-lain. 5) Dialog berguna dalam membangun suasana “chatting” di dalam kelas. Siswa dapat membuat dialog tentang hal-hal kecil yang terjadi yang melibatkan siswa-siswa yang lain di kelas tersebut. Sebagai tambahan, Ellinor (1996) menambahkan satu point yang dinyatakan sebagai aspek terpenting penggunaan dialog yaitu dialog dapat menciptakan community based culture atau rasa kebersamaan. Dialog merubah suatu group dari ketergantungan, persaingan, dan rasa terkucil yang biasa terjadi menjadi kebersamaan, persahabatan dan saling mengisi. Guided Dialogues adalah suatu jenis dialog yang diarahkan oleh guru yang menagarahkan siswa secara bertahap (Watts:1999). Guided Dialogues memberikan struktur untuk membuat dialog dalam group, menyediakan dasar untuk berkomunikasi dimana makna, tujuan dan kepentingan dapat dicapai. Dialog yang terdiri atas struktur sangatlah penting untuk mengarahkan siswa dan mmbantu mereka untuk membangun situasi-situasi baru. Daripada membuat siswa mengingat suatu dialogue, kita dapat memotivasi mereka untuk membuat pilihan akan apa yang ingin mereka ucapkan dan menggunakan bahasa secara fleksibel guna menyampaikan pikiran dan perasaan mereka. berdasarkan penjelasan tersebut, penggunaan Guided Dialogues dapat menjadi sangat menyenangkan dan dapat juga menjadi cara yang baik untuk mengembangkan kemampuan berbicara (Paul, 2003 : 77). 2.1.4 Manfaat Dialog Ada beberapa manfaat penggunaan dialog. Scott dan Ytreberg (1990:39) menyebutkan beberapa manfaat penerapan dialog dalam kelas berbicara: 1) Dalam membawakan situational dialog, para aktor mendapat perhatian dan penghormatan dari seluruh warga kelas, di samping itu siswa yang menonton mendapatkan perhatian, kesenangan, serta pengalaman lebih. 2) Dialog yang dipelajari dengan hati bisa menjadi singkat, menarik dan berguna. 3) Dialog-dialog tersebut dapat menjadi panduan, dimana siswa dapat mengikuti pola-pola yang ada, maupun membuat dialog secara bebas. Dialog siswa bisa pendek maupun panjang tergantung cara mereka mengembangkannya. Yang terpenting dari semuanya, topik yang dipilih sangat beragam. 4) Menggunakan dialog adalah cara yang tepat untuk menjembatani antara guided practice (yang diarahkan) dan freer activities (yang lebih bebas). 5) Meletakkan siswa secara berpasangan untuk berdialog merupakan cara mudah untuk mengatasi masalah kelas yang padat. 6) Di sisi lain, dialog menyediakan sarana yang kontekstual maupun situasi ilustratif dimana grammar mungkin digunakan seperti aspek budaya pada bahasa target (Richards dan Rodgers, 1986) Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa dialog dapat membiasakan siswa untuk menghadapi situasi komunikasi yang nyata. Dialog membantu untuk mengarahkan siswa tentang idea apa yang dapat dikembangkan serta memberikan banyak latihan kepada siswa. Sejalan dengan hal tersebut, Subiana (2007) menyebutkan bahwa penggunaan Guided Dialogues dalam kelas memberikan tiga manfaat penting, antara lain: 1) Dapat membangun keberanian dan rasa percaya diri bagi siswa dalam mengucapkan bahasa Inggris. 2) Dapat meningkatkan dan mengembangkan pengetahuan mereka tentang bahasa seperti pronunciation, grammar, vocabulary, fluency, dan comprehension. 3) Dapat melatih siswa untuk menggunakan bahasa Inggris dalam situasi nyata. 2.1.5 Storytelling Technique Assisted with Series of Pictures Storytelling merupakan alat pembelajaran yang praktis dan kuat, terutama untuk pembelajaran bahasa. Larkin (1997) menyatakan storytelling sebagai suatu seni penyampain cerita/pengalaman kepada penonton yang biasanya berhadap-hadapan. Storytelling adalah seseorang menceritakan sesuatu kepada orang lain. Cerita yang disampaikan bisa sesuatu yang nyata maupun dibuat. Storytelling biasanya merupakan bagian dari percakapan kita sehari-hari. Belakangan ini, storytelling telah menjadi bagian dari kehidupan kita. Cerita masih dipakai dalam berbagai jenis percakapan meliputi sesuatu yang serius, lucu dan menghibur. Konsep dari cerita biasanya untuk menyampaikan pengalaman, pengetahuan, nasehat dan nilai yang dirurunkan ke setiap generasi. Sejak storytelling digunakan sebagai alat pembelajaran, ini dapat memotivasi siswa di semua tingkatan untuk menggali ekpresi mereka yang unik serta dapat memperkaya kemampuan siswa dalam menyampaikan pikiran dan perasaan secara lancar dan sikap yang baik. Decon dan Murphey dalam Ratminingsih (2004: 17-18) menyebutkan lima fase yang harus diaplikasikan dalam Storytelling yaitu: 1) Shadowing Ini adalah aktivitas dimana siswa melakukan pengulangan dengan menggunakan bahasa dalam hati ataupun keras-keras. 2) Summarizing Guru menginformasikan kepada siswa bahwa mereka akan menceritakan kembali cerita yag sudah diberikan kepada teman-teman mereka dengan cara membuat kesimpulan dengan menggunakan bahasa mereka sendiri. 3) Retelling stories outside the class Guru meminta siswa untuk bercerita diluar kelas dengan menggunakan bahasa target ataupun dengan bahasa ibu yang biasa mereka gunakan sehari-hari terutama ketika tidak memungkinkan bagi mereka untuk menggunakan bahasa target. Kemudian siswa memberikan komentar kepada guru apakah teknik tersebut berguna atau tidak. 4) Action Logging Ini adalah saat dimana siswa diminta untuk mengevaluasi tugas dan aktivitas kelas mereka. 5) News Lettering Langkah terakhir adalah seleksi komentar siswa yang diambil dari hasil evaluasi pada tahap sebelumnya. Newsletter ini ditulis dalam bentuk handout yang kadang-kadang tanpa nama. Kemudian newsletter ini di sampaikan ke seluruh siswa untuk dibaca, dipikirkan, dan diberikan komentar pada kategorisasi selanjutnya. 2.1.6 Pentingnya Storytelling Forest (2000) menyebutkan beberapa konsep penggunaan storytelling di kelas yang menjadi keunggulan dari penggunaan storytelling. Berikut adalah beberapa dari konsep tersebut: 1) Storytelling membantu siswa untuk mengekspresikan pemikiran dan perasaan mereka dalam bahasa oral 2) Seni bercerita bisa merupakan alat belajar yang menyenangkan baik untuk keterampilan mendengarkan maupun berbicara 3) Guru bisa secara efektif memberikan contoh atau model yang menarik, bahasa-bahasa ekspresive untuk diikuti oleh siswa 4) Kosakata baru bisa dikenalkan dan mudah dipahami dalam konteks cerita 5) Storytelling adalah suatu cara untuk menekankan keunikan dari daya imajinasi setiap orang 6) Imajinasi bisa menghasilkan bahasa 7) Pemahaman atau kamampuan untuk mengartikan alur sebuah cerita juga difasilitasi dengan kamampuan untuk membuat kerangka berpikir tentang inti-inti kejadian di dalam cerita. Dalam penelitian ini, Storytelling Technique Assisted with Series of Pictures merupakan kombinasi dari seni storytelling and gambar sebagai alat pembelajaran. Gambar diartikan sebagai lukisan atau foto sebagai hasil seni (Gerlach and Ely dalam Ratna Dewi (2008:19). Dalam pengajaran, gambar biasanya digunakan sebagai alat pembelajaran karena gambar dapat menarik perhatian siswa yang mengarah pada peningkatan minat dan motivasi. Gambar juga menggambarkan situasi nyata dan menghubungkan dengan situasi nyata yang membantu siswa untuk mengingat kembali apa yang telah mereka pelajari. Hal ini akan membantu siswa untuk mengexpresikan pikiran mereka denganlebih mudah. Bailey (2005:38) menyebutkan bahwa penggunaan gambar sebagai sumber pengajaran berbicara dapat memberikan siswa sesuatu untuk dibicarakan dan dijadikan acuan. Curtis dan Bailey (2001) dalam Bailey (2005:57) menyebutkan beberapa hal yang mendasari penggunaan gambar dalam pengajaran seperti berikut: 1) Gambar dapat menjadi ide pembicaraan 2) Gambar dapat memperkenalkan dan menggambarkan topik yang disukai tanpa harus berpatokan pada buku teks. 3) Gambar memberikan dukungan nyata pada pembelajaran karena mereka mengaktifkan kemampuan siswa membayangkan sesuatu yang membantu mereka dalam mengingat struktur maupun kosakata tertentu. 4) Gambar lebih mudah dibawa ke ruang kelas dibandingkan realia seperti binatang, kegiata di luar kelas dll. 5) Gambar-gambar berwarna sangat menarik untuk dibahas dalam bentuk diskusi maupun sebagai tugas menulis tanpa memerlukan biaya yang mahal. 6) Gambar bias dipakai dalam berbagai hal oleh semua guru mata pelajaran. 7) Gambar sangat mudah dibawa, ringan, datar dan tahan lama. 8) Gambar sangat mudah diadaptasi kedalam technology pembelajaran. 9) Gambar dapat menciptakan pemikiran yang kreatif dan kritis (contohnya: dalam mendeskripsikan benda sehari-hari dari angle yang berbeda, atau awan yang bisa terlihat memiliki bentuk berbeda-beda sesuai dengan orang yang melihatnya). 10) Terakhir, gambar tidak terbatas pada suatu bahasa tertentu. Menilik dari manfaat penggunaan gambar sebagai media pembelajaran, penelitian ini mengadopsi penggunaan gambar berangkai (series of pictures) untuk menuntun siswa dalam mempresentasikan cerita mereka. Gambar berangkai disisni akan menuntun siswa untuk mengingat kembali pengalaman mereka sehingga mereka dapat mengekpresikan pikiran mereka dengan lebih mudah. Hal ini melatih siswa untuk memakai bahasa Inggris secara alami dan menggali kemampuan mereka dalam berbicara. Storytelling Techniques Assisted with Series of Pictures dalam penelitian ini mengadaptasi pandangan yang menyatakan bahwa berbicara adalah hal yang sangat pribadi yang menyangkut motivasi dan kemauan seseorang. Ini merupakan teknik yang bersifat individu. Oleh karena itu, dalam teknik itu siswa diharapkan bekerja sendiri-sendiri. Siswa diharapkan untuk mengembangkan imaginasi mereka sesuai dengan kemampuan mereka. Storytelling Technique Assisted with Series of Pictures diaplikasikan sesuai dengan langkah-langkah berikut: 1) Guru memberikan setiap siswa lembaran berisi rangkaian gambar yang menggambarkan suatu cerita. 2) Guru meminta siswa agar mempelajari dan mengerti gambar tersebut. 3) Guru meminta siswa menceritakan tentang gambar tersebut. Apabila mereka belum bisa bercerita dalam bahasa Inggris, mereka dapat menggunakan bahasa Indonesia. 4) Guru meminta siswa untuk mencari kosa kata yang nantinya dapat membantu mereka dalam bercerita. 5) Guru menginformasikan siswa bahwa mereka akan bercerita di depan kelas. 6) Guru memberi contoh cara bercerita. Selama bercerita, untuk member kesan hidup pada cerita tersebut, guru dapat memakai berbagai strategi seperti pausing, melakukan kesalahan sehingga siswa dapat memperbaiki atau memberi pertanyaan singkat. 7) Guru memberikan waktu kepada siswa untuk berlatih. 8) Guru meminta siswa beberapa siswa untuk memberi contoh di depan kelas. 9) Selama kegiatan, guru dapat bertanya untuk mengecek pemahaman siswa. 10) Selama kegiatan guru juga meminta siswa agar berkonsentrasi dan memperhatikan teman mereka yang bercerita, setelah itu memberi critic dan saran mengenai penampilan teman mereka. 11) Guru juga dapat mengajari siswa mengenai pengucapan kosakata tertentu beserta artinya karena siswa masih melakukan kesalahan. 2.1.6 Manfaat Storytelling Technique Assisted with Series of Pictures Ratna Dewi (2009) menemukan beberapa manfaat dari Storytelling Assisted with Series of Pictures seperti di bawah ini: 1) Teknik ini mengharapkan siswa untuk bekerja sendiri. 2) Teknik ini memberi siswa kesempatan untuk menggali kemampuannya sendiri. 3) Penggunaan gambar dapat memberi efek yang positif terhadap pengajaran bahasa. 2.2 Empirical Review Ada beberapa penelitian sejenis yang telah dilakukan berhubungan dengan Guided Dialogues dan Storytelling Techniques Assisted with Series of Pictures. Guided Dialogues dengan sukses dilakukan oleh Budarya (1999), Quistgaard (2006), Subiana (2007) dan Arista Dewi (2008). Sedangkan Storytelling Techniques Assisted with Series of Pictures dengan sukses diterapkan oleh Ratminingsih dan Namiasih (2004), Jianing (2007) serta Ratna Dewi (2008). Budarya (1999), melaksanakan penelitian tindakan kelas dengan mengaplikasikan Guided Dialogues guna meningkatkan kemampuan berbicara siswa kelas II SLTPN 5 Singaraja. Dia menemukan bahwa kemampuan siswa meningkat setelah diajari dengan Guided Dialogues. Mereka memiliki kemampuan yang lebih baik dalam hal pengucapan dan struktur kalimat. Hal tersebut terjadi karena dia memberikan model dalam pengucapan, membuat frase dan kalimat serta lebih banyak penjelasan dalam hal struktur kalimat dan kosakata sesuai dengan topik. Quistgaard (2006) mengadakan penelitian untuk mengetahui apakan acuan dalam bentuk Guided Dialogues di kelas IPA memberi pengaruh pada kemampuan siswa untuk merefleksi hasil pembelajaran. Dalam hipothesisnya dinyatakan bahwa Guided Dialogues yang diarahkan oleh seseorang yang paham (misalnya: guru) akan memberi banyak masukan di antara siswa agar dapat memahami konsep dan fenomena yang diberikan. Hasil dari penelitian ini menunjukkan tentang pentingnya menggunakan pengalaman dalam kelas. Subiana (2007) mengadakan penelitian tindakan kelas dengan mengaplikasikan Guided Dialogues untuk meningkatkan kemampuan berbicara siswa kelas II SMP N 4 Nusa Penida. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa teknik Guided Dialogues dengan sukses mampu meningkatkan kemampuan berbicara siswa. Nilai pada posttest dari 45% meningkat menjadi 63% di Cycle I. Di Cycle II nilai ini meningkat menjadi 78% karena peneliti memodifikasi Cycle ini dengan memberikan perhatian atau petunjuk kepada siswa yang mendapat nilai rendah atau tidak mencapai nilai yang diharapkan. Oleh karena itu, siswa yang gagal mencapai nilai standar pada Cycle I dapat mencapai score yang diharapkan pada Cycle II. Arista Dewi (2009) mengadakan penelitian yang sama. Dia mengimplementasikan Guided Dialogues untuk meningkatkan kemampuan berbicara siswa kelas X (Kelas X.3) SMA N 4 Singaraja. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa teknik ini dapat mengatasi permasalahan siswa serta dapat meningkatkan kemampuan berbicara mereka. Kemampuan berbicara siswa mencapai nilai rata-rata 64%. Ini meningkat 12 % dari nilai yang diperoleh pada pretest. Pada Cycle II, hasil postest meningkat 10% dari posttest di Cycle I yaitu dari 64% menjadi 74% dan mencapai kategory “Good”. Dia memodifikasi Cycle II degan memberikan aktifitas drilling pada frase dan language function serta memberikan penjelasan yang lebih pada grammar yang digunakan dalam Guided Dialogues design. Beberapa ahli berpendapat bahwa Teknik Storytelling sangat bagus digunakan dalam kelas berbicara. Ratminingsih dan Namiasih (2004) melaksanakan penelitian dalam mengaplikasikan Teknik Storytelling terhadap keberhasilan siswa dalam berbicara. Penelitian ini dilaksanakan di SMU Negeri 4 Singaraja pada tahun ajaran 2004/2005. hasil penelitian ini menunjukkan bahwa storytelling mampu meningkatkan skill berbicara siswa yang diintegrasikan dengan skill lain seperti menyimak, membaca dan menulis. Dalam waktu bersamaan, teknik ini juga mampu meningkatkan kemampuan siswa dalam menggunakan aspek-aspek bahasa seperti vocabulary, grammar, dan pronunciation yang seharusnya diaplikasikan dalam berbicara. Hasil penelitian ini menunjukkan kemampuan berbicara siswa meningkat dari nilai pretest 2.56, pada posttest I 2.99, posttest II 3.71 serta mencapai nilai rata-rata 4.01 yang termasuk categori ‘Sufficient’ Jianing (2007) mengaplikasikan teknik ini terhadap siswa Cina di kelas berbicara EFL. Dalam penelitian ini, ditemukan bahwa teknik storytelling hendaknya dipakai dalam kelas karena dapat meningkatkan kemampuan berbicara siswa. Dia menyarankan agar cerita dapat menjadi bagian dari kelas berbicara. Dalam penelitian ini, alasan utama memakai storytelling dalam kelas EFL karena cerita bersifat memotivasi dan menarik, sangat menarik perhatian pendengar dan mencipatakan komunikasi. Menurutnya, gambar juga memberikan bantuan dalam storytelling. Hasil peneitiannya menunjukkan bahwa bebrapa bulan setelah mengaplikasikan storytelling, kemapuan berbicara siswa meningkat sesuai dengan yang diharapkan. Ratna Dewi (2009) mengadakan penelitian tindakan kelas di SMP N 6 Singaraja. Dia mengimplementasikan Storytelling Technique Assisted with Series of Pictures untuk meningkatkan kompetensi oral siswa. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa kompetensi oral siswa dapat meningkat dari 3.07 (62% daro skor maximum) di pretest menjadi 3.39 (68% dari skor maximum) dalam test Cycle I, dan terakhir menjadi 3.79 (76% dari skor maximum) pada test di Cycle II. Peningkatan yang lain juga ditunjukkan oleh kemampuan siswa dalam hal pronunciation, grammar, vocabulary, fluency, dan comprehension. Dalam penelitian ini Storytelling Technique didukung oleh penggunaan gambar. Beberapa penelitian menemukan bahwa ganbar berangkai adalah media yang sangat mendukung dalam proses pembelajaran. Francis (2004) menggunakan gambar berangaki pada penelitian tindakan kelasnya guna meningkatkan kemampuan siswa SMU Negeri 2 Singaraja dalam menulis paragraf naratif tahun ajaran 2003/2004. Hasil dari penelitiannya menunjukkan bahwa kemampuan siswa dalam menulis dapat meningkat. Hal ini dibuktikan oleh data quantitative nilai rata-rata siswa. Data ini menunjukkan bahwa terjadi peningkatan nilai dari 50.42 di pretest menjadi 72.0 di posttest I, dan menjadi 80.15 di posttest II.

1 comment:

  1. Selamat sore, min. Saya mahasiswa jurusan pend.bing, dan saya tertarik utk meneliti kembali metode tsb di salah satu skolah yg ada di daerah saya. Pertanyaan saya, kira² siapa penemu pertama metode guided dialog?😊

    ReplyDelete