Monday, June 4, 2012

TEKNIK ROLE PLAY

TEKNIK ROLE PLAY UNTUK MENUMBUHKAN KEMAMPUAN PRAGMATIK 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Konsep Kompetensi Pragmatik Pada bab sebelumnya, sudah didefinisikan dengan jelas bahwa menurut Brown (2007) kompetensi pragmatik adalah kemampuan untuk memproduksi dan memahami aspek fungsional and sosiolingustik dari sebuah bahasa: kompetensi Illocutionary. Kompetensi pragmatik lebih menekankan pada kemampuan untuk menyampaikan dan menerima sesuatu yang dimaksud dengan cara yang lebih bersifat praktis daripada teori. Sejalan dengan hal tersebut, Dessaless (1998) mengungkapkan bahwa kompetensi pragmatik memberikan kesempatan untuk menggunakan bahasa dalam situasi nyata, untuk menyampaikan argumen yang relevan, untuk bisa diakui sebagai conversant yang kompeten. Kompetensi pragmatik adalah elemen penting dalam pembelajaran bahasa karena kompetensi ini memungkinkan siswa untuk menggunakan dan mengaplikasikan bahasa yang mereka pelajari. Kompetensi pragmatik merupakan sesuatu yang tidak bisa abaikan dalam interaksi tatap muka dalam bahasa asing (Hasbun: 2004). Dalam hal ini, interaksi di kelas menjadi sangat penting dan merupakan satu-satunya sumber pengembangan kompetensi pragmatik siswa. Kasper dan Schmidt dalam HasbĂșn (2004) mengclaim bahwa pelajar dewasa membutuhkan instruksi yang eksplisit. Apabila hal tersebut tidak dipenuhi, mereka akan mengalami kesulitan dalam mempelajari pola penggunaan bahasa yang sesuai, terutama bahasa asing atau seting kelas dimana kesempatan untuk berinteraksi secara leluasa terbatas. Dengan demikian, guru bahasa inggris harus memberikan kesempatan yang cukup untuk mengembangkan kompetensi pragmatik siswa. Istilah “kompetensi pragmatik” sangat jarang digunakan dalam proses pembelajaran di kelas. Sedangkan istilah “Berbicara” lebih umum digunakan oleh guru ketika mereka ingin menekankan pada kemampuan siswa dalam hal Pelafalan, Struktur Bahasa, Kosakata, Kelancaran, dan Pemahaman. Oleh karena istilah kompetensi pragmatik dan berbicara memiliki spesifikasi yang sama dalam kelima hal tersebut, maka dirasa perlu untuk menjelaskan juga pentingnya berbicara dan masalah-masalah yang muncul dalam berbicara seperti yang diungkapkan oleh para ahli dan peneliti dibawah ini. Berbicara adalah kemampuan produktif yang dilakukan secara oral. Sama seperti kemampuan lainnya, berbicara merupakan sesuatu yang jauh lebih kompleks dari keliatannya dan mencakup lebih dari hanya melafalkan kata-kata. Raphael dalam Martha (2004) mendefinisikan berbicara sebagai sebuah komunikasi untuk menginformasikan sesuatu kepada orang lain. Berbicara adalah proses dua arah antara pembicara dengan pendengar yang mencakup kemampuan produktif atau berbicara dan kemampuan reseptif untuk pemahaman (Byrne dalam Martha: 2004). Seseorang ingin berbicara dengan orang lain untuk bertukar ide atau perasaan. Menguasai kemampuan berbicara adalah hal yang penting untuk menghubungkan siswa dengan guru atau siswa dengan teman-temannya dalam kegiatan di kelas. Berbicara berfungsi sebagai kemampuan produktif dan interaktif. Sasmedi (2008) menyatakan bahwa salah satu cara termudah dan terbaik untuk memberikan kesempatan siswa berbicara bahasa inggris di kelas adalah dengan memberikan pairwork atau bekerja berpasangan. Kegiatan berpasangan terdiri dari dialog, interview, dan tanya-jawab. Widdowson dalam Noni (2003) seperti dikutip oleh Sasmedi (2008) mendekripsikan bahwa kegiatan komunikasi melalui berbicara umumnya dilakukan dengan interaksi tatap muka dan muncul sebagai bagian dari dialog atau bentuk pertukaran informasi lainnya. Kemampuan berbicara berkembang sejalan dengan umur seseorang, namun bukan berarti bahwa perkembangan tersebut bisa langsung sempurna. Untuk berbicara secara lebih efektif dibutuhkan perhatian khusus dan latian terus menerus. Berbicara menuntut siswa untuk tidak hanya tahu bagaimana memproduksi poin-poin bahasa tertentu seperti struktur bahasa, pelafalan, atau kosakata, tetapi juga mengerti kapan, kenapa, dan dengan cara apa mereka bisa menghasilkan bahasa. Perkembangan kemampuan berbicara bisa dilihat dari penggunaan bahasa dalam penampilan individu atau berkelompok. Richards dkk. seperti dikutip oleh Samedi (2008) mengatakan bahwa kegiatan berbicara jarang dilakukan dalam komunikasi satu arah atau dalam penampilan individu. Kegiatan ini mencakup partisipasi dari pendengar. Dalam sebuah komunikasi interaktif, seorang pembicara bisa menjadi seorang pendengar dan sebaliknya. Paultson dan Brunder dalam Sasmedi (2008) menyatakan bahwa tujuan dari pengajaran bahasa adalah produksi kompetensi pembicara untuk berkomunikasi dengan menggunakan bahasa target. Rivers dalam Sasmedi (2008) menyatakan bahwa guru seharusnya memberikan kesempatan kepada siswa untuk berlatih berbicara. Beliau kemudian mengungkapkan bahwa apabila siswa bisa berlatih berbicara sama seperti yang dilakukan anak kecil dalam bahasa aslinya itu berarti bahwa masalah siswa untuk berbicara dengan lancar dalam bahasa asing bisa berkurang. Kayi (2006) memberikan beberapa saran kepada para guru dalam mengajarkan keterampilan berbicara agar siswa mampu berinteraksi secara efektif di kelas: 1) Siapkan waktu sebanyak-banyaknya kepada siswa untuk berbicara dalam bahasa target dengan memberikan situasi atau lingkungan yang bisa memacu kerja collaborative, materi otentik dan tugas-tugas, serta pengalaman yang bisa diketoktularkan. Dalam hal ini, siswa seharusnya diberikan kesempatan yang cukup untuk menggunakan bahasa yang bisa dilakukan dengan baik dengan cara menempatkan mereka ke dalam kelompok. 2) Mengurangi kecenderungan guru untuk berbicara di dalam kelas ketika sedang mengoptimalkan waktu berbicara siswa. Tujuan utama dalam hal ini adalah untuk mengaplikasikan teknik kengajaran student-centered dimana kegiatan dipusatkan pada siswa. Hal ini penting untuk meningkatkan kemampuan berbicara siswa. 3) Memberikan respon yang positif ketika mengomentari respon siswa. Ini berarti bahwa guru harus memberikan situasi senyaman dan seaman mungkin kepada siswa dengan memberikan apresiasi pada mereka yang mau berbicara. 4) Jangan terlalu sering mengoreksi kesalahan siswa ketika mereka sedang berbicara. Koreksi seharusnya tidak menggangu penampilan siswa. Mengoreksi secara langsung saat siswa berbicara membuat mereka tegang dan takut untuk mengucapkan kata-kata lain. Akan lebih baik apabila koreksi dilakukan dengan cara menuliskannya di atas papan dan menjelaskannya pada semau siswa setelah performance mereka selesai. 5) Yakinkan bahwa seluruh siswa mengikuti dengan baik dan lihat apakah mereka membutuhkan bantuan ketika bekerja dengan temannya atau tidak. Kadang-kadang siswa malu untuk bertanya atau meminta bantuan kapada guru ketika mereka tidak paham akan sesuatu. Itulah sebabnya, guru sendiri harus melakukan pendekatan kepada siswa agar mereka dapat menyelesaikan tugasnya dengan baik. 6) Sebelum memulai kegiatan, siapkanlah kosakata yang diperlukan oleh siswa dalam penyampaian speech mereka. Kekurangan kosakata merupakan masalah yang sering dihadapi siswa. Dengan memberikan mereka bekal kosakata yang cukup sebelum mereka mulai berbicara, siswa bisa mengurangi masalah mereka dalam berbicara. 7) Diagnosa masalah yang mungkin dihadapi oleh siswa yang memiliki kesulitan dalam mengekspresikan sesuatu dalam bahasa target dan berikan kesempatan yang lebih banyak untuk berlatih berbicara. Seorang guru diharapkan bisa menjadi seorang dokter bagi siswanya. Dia harus tahu masalah dan penyebab masalah yang dihadapi siswanya. Kemudian, dia juga harus mampu membantu menemukan solusi dari permasalahan tersebut sehingga siswa dapat belajar secara optimal. Sesuai dengan penjelasan di atas, sudah sangat jelas bahwa kompetensi pragmatik dan kemampuan berbicara lebih terfokus pada kemampuan siswa untuk bisa mengekspresikan, memahami ide, opini, dan perasaan dengan lancar dan pelafalan, struktur bahasa serta kosakata yang akurat. 2.1.2 Role Play Role Play adalah sebuah metodologi yang berasal dari istilah Sociodrama yang bisa digunakan untuk membantu siswa memahami aspek-aspek kebahasaan, aspek social, ataupun aspek science atau matematika (Blatner: 1995). Role Play telah diketahui sebagai salah satu metode pengajaran sejar akhir 1940an. Bell (2001) menyatakan bahwa Role Play sudah sangat lama diketahui oleh guru dan para trainer sebagai sebuah teknik yang diguanakan untuk pengajaran keterampilan dan pengemabangan sikap dalam situasi tatap muka. Role Play sudah sangat banyak digunakan dan sudah sikenal sebagai suatu teknik yang efektif dalam pengajaran ESL/EFL. Dangerfield (1986) dalam Martha (2004) menyatakan bahwa Role Play adalah salah satu metode yang digunakan untuk memaksimalkan waktu berbicara siswa, memastikan bahwa siswa mendapat tingkat latihan yang optimal selama waktu belajar di kelas yang cukup terbatas. Ladousse (1987) dalam Sugihartnini (2005) kemudian juga menjelaskan bahwa Role Play adalah sebuah kegiatan di dalam kelas yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk menggunakan bahasa, aspek aturan tingkah laku, dan peran-peran yang memang dibutuhkan dalam kehidupan di luar kelas. Siswa tidak akan merasa canggung untuk menciptakan situasi nyata tersebut dan dengan melakukan hal itu mereka bisa bereksperimen dengan pengetahuan yang mereka dapat di kehidupan nyata dan mengembangkan kemampuan mereka untuk berinteraksi dengan orang lain. Kemampuan siswa untuk menggunakan bahasa inggris secara tidak disadari meningkat dengan melakukan Role Play. Kayi (2006) juga memiliki pendapat yang sama tentang Role Play. Beliau menyatakan bahwa cara lain untuk membuat siswa berbicara adalah dengan Role Play. Siswa berpura-pura bahwa mereka berada dalam berbagai macam konteks sosial dan memiliki beragam peran. Dalam Role Play, guru memberikan informasi berupa siapa mereka dan apa yang mereka pikirkan atau rasakan. Teknik ini bisa digunakan siswa untuk mempelajari infromasi penting dalam kehidupan nyata dimana teknik ini memberikan kesempatan kepada siswa untuk berpikir lebih dalam tentang bagaimana mereka akan bertingkah laku dalam kehidupan nyata. Pada sebagian besar Role Play, masing-masing siswa berperan sebagai seseorang yang memiliki permasalahan tertentu dan memahami kondisi tersebut berdasarkan perspektif dari orang tersebut. Sejalan dengan hal ini, Kitao (1996) juga menyatakan bahwa siswa dalam Role Play diberikan situasi untuk bermain peran dengan orang lain. Mereka diberikan informasi lebih rinci mengenai apa peran mereka, fungsi specifik apa yang akan mereka bawakan dan lain sebagainya. Role Play melibatkan dua sampai tiga orang. Sebagian besar dari siswa hanya akan mengamati dan menganalisis interaksi yang dilakukan oleh kedua pemain tersebut (Killen: 1996). Role Play adalah metode yang sangat bermanfaat dalam proses pembelajaran bahasa asing. Teknik ini sangat menarik dan berguna bagi siswa karena menekankan pada pengetahuan tentang kehidupan nyata. Teknik ini juga memberikan kesempatan berharga pada siswa untuk tidak hanya belajar tentang suatu teori tetapi juga sudut pandang-sudut pandang tertentu tentang hal itu. Tompkins (1998) menyatakan bahwa keberadaan Role Play bisa memacu siswa untuk berpikir kreatif, membantu siswa mengembangkan dan berlatih bahasa baru dan keterampilan bertingkah laku dalam situasi yang relatif nyaman dan aman, dan bisa memotivasi siswa untuk belajar. Larsen-Freeman (1986) menjelaskan bahwa Role Play baik terstruktur atau tidak sangat penting dalam pendekatan komunikaif karena teknik ini memberikan kesempatan kepada siswa untuk berlatih berkomunikasi dalam konteks sosial yang berbeda-beda dan peran yang beragam juga. Role Play bisa meningkatkan kemampuan berbicara siswa dalam berbagai situasi dan membantu mereka untuk berinteraksi. Sedangkan bagi siswa yang pemalu, Role Play mampu membantu mereka dengan memberikan topeng dimana siswa yang memiliki kesulitan untuk bercakap-cakap ini bisa dibebaskan dari rasa malu atau tidak nyaman. Terlebih lagi, Role Play sangat menyenangkan dan banyak orang percaya bahwa perasaan senang dan nyaman bisa mengarahkan mereka pada proses belajar yang lebih baik (Krish: 2001). Banyak guru merasa bahwa Role Play memiliki banyak kelebihan karena siswa tidak harus menanggung resiko untuk tingkah laku ataupun kata-kata yang mereka keluarkan saat bermain peran. Dengan kata lain, karakter merekalah yang berbicara, bukan mereka. Sudah dibuktikan pula bahwa beberapa anak pemalu bisa lebih banyak bicara ketika mereka bermain peran (Harmer: 1991). O’Donnell dan Shaver dalam Killen (1996) menyatakan bahwa Role Play digunakan untuk mengembangkan keterampilan siswa dalam berkomunikasi. Ada banyak keuntungan dalam pengguanaan Role Play. Furness (1976) dalam Huang (2008) selanjutnya menyatakan bahwa seorang siswa bisa menikmati dan mendapatkan keuntungan dari pengalaman Role Play untuk meningkatkan keterampilan berkomunikasi, berkreatifitas, meningkatkan kepekaan sosial, berpikir independent, mengutarakan pendapat, mengembangkan nilai dan apresiasi terhadap seni drama. Akan ada banyak keuntungan apabila Role Play diaplikasikan di dalam kelas secara tepat. Ladousse (1987) dalam Sugihartini (2005) kemudian merekomendasikan beberapa alasan penggunaan Role Play dalam pembelajaran bahasa yang membuat teknik ini penting untuk peningkatan kompetensi pragmatik siswa. Alasan-alasan tersebut adalah sebagai berikut: 1) Ada banyak pengalaman yang dibawa ke dalam kelas melalui Role Play. Fungsi dan struktur bahasa serta lingkup kosakata yang bisa dikenalkan kepada siswa diberikan melalui aktifitas berkelompok seperti percakapan, permainan komunikasi, atau latihan-latihan lainnya. Melalui Role Play, kita bisa melatih siswa untuk berbicara dalam berbagai kondisi dan situasi. 2) Role Play menempatkan siswa pada situasi dimana mereka dituntut untuk menggunakan dan mengembangkan pengetahuan dalam bentuk bahasa yang sangat penting terkait dengan hubungan sosial, akan tetapi sering diabaikan dalam silabus pembelajaran bahasa yang biasa digunakan. Banyak siswa beranggapan bahwa bahasa merupakan sesuatu yang berhubungan dengan pentransferan informasi tertentu dari satu orang ke orang lain. Mereka hanya sedikit berbicara dan sebagai akibatnya proses ini berlangsung dengan sangat singkat dan terkesan tidak beraturan. Keterampilan sosial ini bisa dibangun sejak dini melalui Role Play. 3) Beberapa orang mempelajari Bahasa Inggris untuk mempersiapkan peran-peran tertentu dalam hidup mereka: orang yang ingin berkerja di luar negeri atau dalam konteks internasional. Merupakan hal yang penting bagi siswa dalam hal ini untuk mencobakan atau bereksprimen dengan bahasa yang akan mereka butuhkan dalam lingkungan kelas yang aman dan bersahabat. Bagi siswa-siswa ini, Role Play merupakan salah satu teknik latihan yang sangat membantu dalam berlatih tentang kehidupan nyata. Mereka tidak hanya belajar bagaimana cara membuat atau mengungkapkan sebuah prase tertentu tapi juga belajar cara berinteraksi yang mungkin terjadi dalam berbagai situasi. 4) Role Play membantu siswa pemalu dengan seakan-akan memberikan mereka topeng. Beberapa anggota kelompok yang cenderung pendiam mungkin memiliki kesulitan yang tinggi untuk berpartisipasi dalam percakapan tentang diri mereka sendiri atau dalam kegiatan lain yang didasarkan pada pengalaman langsung. Siswa-siswa ini dibantu oleh Role Play karena mereka tidak lagi merasa bahwa personality mereka akan dijadikan sorotan teman-temannya. 5) Role Play merupakan teknik yang menarik. Ketika siswa mengerti tentang apa yang sebenarnya diharapkan dari mereka, siswa akan membiarkan imajinasi mereka mengalir begitu saja. Meskipun hal tersebut bukanlah hal yang besifat scientific, kebanyakan guru sependapat bahwa perasaan senang dan nyaman ini akan secara otomatis mengarahkan siswa untuk belajar dengan lebih baik lagi. 6) Role Play merupakan salah satu teknik komunikasi yang mengembangkan kelancaran berbicara siswa dalam bahasa yang mereka pelajari, membantu terjadinya interaksi dalam kelas, dan meningkatkan motivasi siswa. Role Play adalah teknik yang paling fleksibel dan guru yang mengaplikasikan teknik ini dapat mencapai berbagai kebutuhan dan latihan efektif. 2.1.3 Prosedur Role Play Prosedur meliputi langkah-langkah kegiatan selama aplikasi teknik tertentu. Role Play adalah sebuah teknik yang sangat fleksibel dalam kegiatan pembelajaran yang memiliki variasi dan imajinasi yang sangat luas. Menurut Ladousse dalam Krish (2001), Role Play menggunakan teknik komunikasi yang berbeda dan digunakan untuk mengembangkan kelancaran berbahasa, menciptakan interaksi dalam kelas, dan meningkatkan motivasi. Melalui Role Play, proses pembelajaran dan pertukaran informasi antara siswa dan guru menjadi lebih intensif. Bailey (2005) juga mengatakan bahwa Role Play bisa menjadi prosedur yang sangat bagus untuk membantu siswa belajar dan berlatih ungkapan-ungkapan penting, kosakata, dan struktur bahasa. Di bawah ini adalah langkah-langkah kegiatan dalam Role Play yang disarankan oleh Ladousse (1987) dalam Martha (2004:8): 1) Siswa mengikuti kegiatan awal dimana topik dan situasi akan diperkenalkan. Hal tersebut akan muncul kemudian dalam tugas Role Play. Kegiatan-kegiatan ini bisa dilakukan dengan berbagai cara seperti brainstorming, kegiatan perengkingan, dan tugas problem solving. 2) Siswa kemudian membaca sebuah dialog sehubungan dengan topik. Hal ini dilakukan untuk memberikan model interaksi yang akan ditampilkan siswa dalam Role Play dan untuk memberikan contoh bahasa yang bisa digunakan dalam interaksi tersebut. 3) Siswa pada tahap ini menampilkan Role Play. Format yang terbukti efektif dalam pelaksanaan Role Play adalah format dimana hanya sedikit kata kunci yang diberikan dalam kartu peran. Apabila kartu peran atau role card yang diberikan memuat informasi yang terlalu banyak, siswa akan cenderung melakukan tugasnya dengan cara membaca dan mereka hanya akan mengucapkan kembali kalimat-kalimat yang sudah ada dalam role card daripada harus membuat kalimat dengan bahasa mereka sendiri. 4) Siswa kemudian memperdengarkan rekaman dari pembicara asli yang melakukan adegan yang sama dalam Role Play tersebut. Ini merupakan variasi yang penting dalam penggunaan Role Play. Dengan meminta siswa untuk mendengarkan rekaman dari pembicara asli, mereka akan dapat berlatih secara tidak langsung, mereka bisa membandingkan perbedaan antara cara mereka mengekspresikan suatu makna dan fungsi bahasa tertentu dengan cara seorang pembicara asli menyampaikan hal yang sama. 2.1.4 Teknik Storytelling Ketertarikan dan partisipasi siswa diakui sebagai kunci kesuksesan siswa dalam belajar. Seni bisa berkontribusi positif pada kesuksesan akademik dan kestabilan emosi siswa. Seni bercerita atau storytelling terutama merupakan seni yang sangat cocok untuk mengeksplorasi kemampuan siswa. Cerita membantu siswa untuk mampu mengartikan dan peka terhadap dunia, budaya, dan diri mereka sendiri. Larkin (1997) mengungkapkan bahwa Storytelling adalah sebuah seni oral untuk bertukar pengalaman atau cerita kepada audience. Storytelling secara umum merupakan kegiatan berbicara, sesuatu yang hampir selalu diinginkan dan dibutuhkan oleh siswa EFL. Hal ini merupakan sesuatu yang bersifat praktis. Ini bukan hanya masalah bertanya dan menjawab seperti dalam sebuah percakapan. Siswa bisa bertukar informasi, pengalaman pribadi, menceritakan kembali cerita seseorang, menceritakan hal-hal lucu, dan lain sebagainya. Celce-Murcia dalam Ratna Dewi (2008) menyatakan bahwa cerita adalah alat yang ampuh dalam pengajaran bahasa. Cerita bisa digunakan untuk mengembangkan keterampilan mendengarkan yang lebih efisien, kelancaran berbicara, dan kemampuan membaca dan menulis secara mudah dan berkompeten. Sebagai alat pembelajaran, teknik bercerita bisa membantu siswa untuk mengeksplor keunikan cara berekspresi mereka dan bisa meningkatkan kemampuan siswa untuk berkomunikasi secara lancar dan mengekspresikan pemikiran atau perasaan mereka. Hal ini juga didukung oleh Jianing (2007) yang menyatakan bahwa alasan utama menggunakan Storytelling dalam kelas berbicara EFL adalah karena cerita merupakan hal yang bisa memotivasi siswa, menarik perhatian pendengar, dan membantu menciptakan komunikasi. Decon dan Murphey dalam Ratminingsih (2004: 17-18) menyebutkan lima fase yang harus diaplikasikan dalam Storytelling yaitu: 1) Shadowing Ini adalah aktivitas dimana siswa melakukan pengulangan dengan menggunakan bahasa dalam hati ataupun keras-keras. 2) Summarizing Guru menginformasikan kepada siswa bahwa mereka akan menceritakan kembali cerita yag sudah diberikan kepada teman-teman mereka dengan cara membuat kesimpulan dengan menggunakan bahasa mereka sendiri. 3) Retelling stories outside the class Guru meminta siswa untuk bercerita diluar kelas dengan menggunakan bahasa target ataupun dengan bahasa ibu yang biasa mereka gunakan sehari-hari terutama ketika tidak memungkinkan bagi mereka untuk menggunakan bahasa target. Kemudian siswa memberikan komentar kepada guru apakah teknik tersebut berguna atau tidak. 4) Action Logging Ini adalah saat dimana siswa diminta untuk mengevaluasi tugas dan aktivitas kelas mereka. 5) News Lettering Langkah terakhir adalah seleksi komentar siswa yang diambil dari hasil evaluasi pada tahap sebelumnya. Newsletter ini ditulis dalam bentuk handout yang kadang-kadang tanpa nama. Kemudian newsletter ini di sampaikan ke seluruh siswa untuk dibaca, dipikirkan, dan diberikan komentar pada kategorisasi selanjutnya. Selanjutnya, Forest (2000) menyebutkan beberapa konsep penggunaan Storytelling di kelas yang menjadi keunggulan dari penggunaan Storytelling. Berikut adalah beberapa dari konsep tersebut: 1) Storytelling membantu siswa untuk mengekspresikan pemikiran dan perasaan mereka dalam bahasa oral 2) Seni bercerita bisa merupakan alat belajar yang menyenangkan baik untuk keterampilan mendengarkan maupun berbicara 3) Guru bisa secara efektif memberikan contoh atau model yang menarik, bahasa-bahasa ekspresive untuk diikuti oleh siswa 4) Kosakata baru bisa dikenalkan dan mudah dipahami dalam konteks cerita 5) Storytelling adalah suatu cara untuk menekankan keunikan dari daya imajinasi setiap orang 6) Imajinasi bisa menghasilkan bahasa 7) Pemahaman atau kamampuan untuk mengartikan alur sebuah cerita juga difasilitasi dengan kamampuan untuk membuat kerangka berpikir tentang inti-inti kejadian di dalam cerita. 2.1.5 Series of Pictures Gambar berseri atau series of pictures bisa diartikan sebagai media visual yang bisa diklasifikasikan sebagai alat bantu dalam pengajaran (Irianto dalam Francis, 2004:5). Gambar memberikan informasi yang tidak perlu dialihbahasakan oleh siswa. Gambar bisa mengurangi penjelasan panjang dalam bentuk verbal yang tidak akan dimengerti oleh siswa. Selain itu, gambar juga bisa mengkomunikasikan informasi yang tidak lengkap dan dengan demikian gambar akan menyisakan ruang imajinasi dan kreatifitas bagi siswa. Ernestova dalam Francis (2004:13) juga melihat bahwa gambar dan sesuatu yang ada di dalamnya lebih jelas dibandingkan dengan kata-kata. Gambar bisa membantu siswa untuk memahami makna kata secara jelas. Curtis dan Bailey (2001) seperti dikutip oleh Bailey (2005) menyebutkan sepuluh alasan penggunaan gambar dalam pengajaran bahasa: 1) Gambar memiliki sesuatu untuk diceritakan. Gambar bisa mengalihkan perhatian siswa pada gambar yang sedang didiskusikan. 2) Gambar bisa memperkenalkan dan mengilustrasikan topik-topik menarik ke dalam kelas yang tidak berhubungan dengan buku pelajaran mereka demikian juga topik-topik diluar keahlian guru. 3) Gambar akan didukung oleh aspek visual dalam pembelajaran ketika gambar-gambar tersebut mengaktifkan image mental yang bisa membantu siswa untuk mengingat struktur kosakata tertentu. 4) Gambar bisa lebih mudah digunakan di dalam kelas dibandingkan dengan media nyata lainnya. 5) Gambar menambah warna dan kesan menarik dalam sebuah diskusi atau latihan menulis tanpa harus mengeluarkan biaya yang mahal. 6) Gambar bisa digunakan melalui berbagai cara oleh guru yang berbeda untuk berbagai bidang studi yang berbeda pula. Gambar tidak terpatok pada teknik tertentu, ukuran kelas, ataupun level siswa tertentu. 7) Gambar adalah alat bantu yang praktis dibawa ke kelas, tidak berat, dan tahan lama. 8) Gambar sangat sesuai dengan teknologi dalam mengajarkan tentang lingkungan. 9) Gambar dapat menciptakan kreatifitas dan pemikiran yang kritis. 10) Gambar tidak membatasi siswa untuk menggunakan bahasa tertentu saja. Oleh karena Series of Pictures atau gambar berseri disadari sebagai alat bantu pembelajaran yang sangat bermanfaat, maka penggunaannya dalam implementasi teknik Storytelling juga akan sangat bermanfaat. Gambar berseri digunakan untuk membantu siswa dalam menampilkan cerita mereka. Series of Pictures dalam hal ini ditujukan pada gambar berseri ynag terdiri dari dua gambar atau lebih yang mengindikasikan jalan cerita. Sebuah gambar berseri berperan sebagai urutan kejadian yang akan mendeskripsikan sesuatu dan menimbulkan interpretasi pada siswa. Dengan menggunakan gambar berseri, siswa menjadi lebih terarah dalam menyampaikan cerita mereka. Gambar tersebut mengarahkan mereka pada setiap kejadian dalam cerita. 2.1.6 Prosedur Storytelling Technique Assisted with Series of Pictures Sebagaimana telah dideskripsikan oleh Ratna Dewi (2008), aplikasi teknik Storytelling yang dihadirkan dengan didukung oleh adanya gambar berseri dapat dilakukan dengan prosedur sebagai berikut: 1. Guru memberikan rangkaian gambar yang mengilustrasikan sebuah cerita 2. Kemudian siswa diminta untuk mempelajari rangkaian gambar tersebut 3. Setelah itu guru meminta siswa untuk mengungkapkan rangkaian gambar yang telah mereka pelajari. 4. Guru meminta siswa untuk mencari kata-kata yang mungkin akan membantu mereka menceritakan gambar tersebut dengan lebih baik. 5. Guru memberitahukan kepada siswa bahwa mereka akan menceritakan kembali cerita tersebut di depan kelas. 6. Guru kemudian memberi contoh bagaimana cara bercerita atau menceritakan sebuah karangan naratif. Selama narasi berlangsung, guru boleh menggunakan strategi tertentu untuk mengekspose lagi cerita yang ada yaitu dengan: pausing di dalam cerita, menarasikan kesalahan dan membiarkan siswa yang mengoreksinya, ataupun melontarkan pertanyaan singkat. 7. Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk berlatih 8. Guru meminta beberapa orang siswa untuk menceritakan kembali cerita yang ada di depan kelas. 9. Selama aktivitas ini, guru melontarkan beberapa pertanyaan untuk mengukur pemahaman siswa pada cerita 10. Selama proses ini, guru juga meminta kepada siswa lainnya untuk berkonsentrasi dan menyimak penampilan temannya, kemudian setelah itu mereka harus mengomentari penampilan temannya tersebut. 11. Guru juga bisa mengajarkan bagaimana cara melafalkan kata tertentu dan memaknainya sehingga siswa tahu bagaimana pelafalan dan makna yang sebenarnya. 2.2 Landasan Empiris Ada banyak peneliti yang telah melakukan penelitian tentang Role Play (RP) maupun Storytelling Technique Assisted with Series of Pictures (STSP) yang tidak bisa disebutkan satu per satu dalam penelitian ini. Akan tetapi peneliti menyebutkan beberapa penelitian dalam beberapa tahu belakangan ini tentang RP dan STSP yang cukup bisa membuktikan bahwa kedua teknik ini memang efektif untuk mengembangkan kompetensi pragmatik siswa. RP sudah pernah digunakan di Malaysia oleh Krish (2001) pada pelajar jarak jauh dari Kuching, Sarawak Center yang hanya memiliki waktu yang sangat terbatas untuk bertemu dengan instruktur mereka. RP dalam kelas ini memungkinkan tujuan dari materi yang disampaikan bisa tercapai dalam waktu yang singkat. Hasilnya menunjukkan bahwa pelajar jarak jauh ini menikmati diri mereka selama berperan sebagai orang lain. Mereka merasa lebih dekat dengan anggota kelompok mereka dan menyadari bahwa dengan bekerja dalam kelompok mereka bisa belajar dengan lebih baik. Dengan aktivitas ini mereka juga merasa lebih percaya diri. Dan akhirnya mereka bisa berlatih secara optimal baik tentang bahasa itu sendiri maupun tentang keterampilan berinteraksi meskipun dalam waktu yang sangat singkat. Penelitian tentang Role Play juga pernah dilakukan pada siswa di Singaraja oleh Martha (2004). Martha mengaplikasikan Role Play untuk meningkatkan kemampuan berbicara siswa SMU Laboratorium IKIP Negeri Singarja. Dia menyatakan bahwa implementasi Role Play mampu meningkatkan kemampuan berbicara siswa terutama dalam hal Pelafalan, Struktur Bahasa, Kosakata, Kelancaran, dan Pemahaman. Prihatin (2008) juga pernah melakukan penelitian tentang Role Play pada siswa kelas 2 SMA Negeri 1 Karangnongko, Klaten. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan implementasi dari pengajaran berbicara dengan menggunakan Role Play. Hasilnya menunjukkan bahwa rata-rata pada Pre-test adalah 52.63, rata-rata pada Cycle pertama adalah 59.3, rata-rata pada cycle kedua adalah 60.3 dan 65.3 pada cycle ketiga, sehingga rata-rata posttest dari penelitian ini adalah 70.3. hasil rata-rata pre-test sampai posttest menjelaskan bahwa implementasi pengajaran berbicara melalui Role Play bisa meningkatkan prestasi siswa dalam berbicara bahasa inggris. Huang (2008) juga pernah menggunakan Role Play untuk mengajar siswa EFL di SD Jing Shan, Taiwan. Siswa di sekolah ini baru saja belajar bahasa inggris sebagai bahasa asing dan jumlah kosakata yang mereka kuasai masih sangat terbatas. Huang mengajak siswanya untuk berlatih dalam kelompok kecil atau berpasangan untuk bergabung di dalam Role Play dan merasakan keuntungan dari Role Play. Setelah menggunakan Role Play sebagai teknik pembelajaran, Huang menyimpulkan bahwa Role Play merupakan pengalaman belajar yang sangat bermanfaat baik untuk guru maupun untuk siswa. Dengan Role Play kemampuan siswa dalam berbicara, mendengarkan, dan memahami bahasa bisa lebih ditingkatkan. Role Play menciptakan suasana belajar yang hidup dan menyenangkan di dalam kelas. Siswa belajar menggunakan bahasa secara lebih realistis dengan cara yang lebih praktis. Dengan demikian mereka akan lebih mengenal penggunaan bahasa inggris dalam praktek kehidupan sehari-hari. Role Play adalah teknik yang sangat berguna yang harus lebih sering diimplementasikan oleh guru-guru ESL/EFL di dalam kelas. Di lain pihak, teknik Storytelling juga pernah diaplikasikan dengan sukses oleh Jianing (2007) pada siswa EFL di Cina dalam kelas berbicara mereka. Jianing menyarankan untuk menggunakan cerita sebagai bagian dari pengajaran berbicara di kelas. Dalam penelitian ini, Jianing menyatakan bahwa alasan utama penggunaan Storytelling dalam kelas adalah karena cerita merupakan hal yang bisa memotivasi dan menarik perhatian siswa dan dapat menciptakan komunikasi. Menurut Jianing, gambar juga berperan penting dalam bercerita. Hasil dari studi ini menunjukkan bahwa setelah beberapa bulan kemampuan siswa dalam berbicara memang diakui meningkat pesat. Francis (2004) juga pernah menggunakan gambar berseri atau Series of Pictures dalam penelitian tindakan kelas yang dia lakukan untuk meningkatkan kemampuan menulis paragraf naratif pada siswa SMA Negeri 2 Singaraja. Hasil penelitian menunjukkan peningkatan pada kemampuan menulis siswa. Hal ini terbukti dari hasil rata-rata pada pre-test yang hanya 50.42 meningkat pada posttest I menjadi 72.0 dan meningkat lagi pada posttest II menjadi 80.15. Ratminingsih and Namiasih (2004) juga pernah melakukan studi dalam pengaplikasian Storytelling untuk meningkatkan prestasi siswa dalam berbicara. Penelitian ini dilakukan di SMU Negeri 4 Singaraja dan hasilnya menunjukkan bahwa Storytelling bisa meningkatkan kemampuan berbicara siswa dan juga aspek-aspek bahasa yang diaplikasikan dalam kegiatan berbicara seperti kosakata, struktur bahasa, dan pelafalan. Kemampuan berbicara siswa meningkat dari pre-test yang hanya 2.56 menjadi 2.99 pada posttest I, 3.71 pada posttest II, dan akhirnya sampai pada rata-rata dengan kategori cukup pada posttest III yaitu 4.01. Penelitian tindakan kelas lainnya dilakukan oleh Ratna Dewi (2008). Dia melakukan penelitian pada siswa SMP Negeri 6 Singaraja untuk meningkatkan kompetensi oral siswa dengan menggunakan STSP. Peningkatannya ditunjukkan oleh siswa dalam hal palafalan, struktur bahasa, kosakata, kelancaran dan juga pemahaman. Hasil penemuan di atas menunjukkan bahwa kedua teknik tersebut memang terbukti efektif untuk meningkatkan kemampuan berbicara siswa dan dengan demikian kedua teknik ini juga bisa berpengaruh pada perkembangan kompetensi pragmatik siswa. Oleh karena itu, penelitian ini akan mencoba membandingkan perkembangan kompetensi pragmatik siswa yang diajarkan melalui RP dan STSP.

No comments:

Post a Comment