Friday, October 13, 2017

Cerita seorang Sandwicher, first timer, ke Griffith University, Australia




Di bulan Oktober tanggal 11 tahun 2017, akhirnya saya berangkat ke Australia untuk tujuan menjalani program penulisan/publikasi internasional dengan mentor dari Griffith University melalui program beasiswa PKPI 2017.



Pada postingan kali ini saya akan menceritakan pengalaman menegangkan yang saya lalui menuju Australia. Pada Tanggal 10 oktober saya harus meninggalkan keluarga saya di Singaraja (Bali) menuju kota Malang. Lho, koq berangkat dari kota Malang, kan bisa dari Denpasar? Iya, karena para sandwicher menerima tiket domestik dengan keberangkatan melalui kota Perguruan Tinggi asal. Nah karena saya mahasiswa di sebuah PT di Malang maka saya berangkatlah dari Malang. Setibanya di airport Abdulrachman saleh Malang, saya menunggu beberapa jam untuk terbang ke Jakarta.

Syukurlah, betapa tidak? kaki dan pinggang rasanya mau copot dan pegel minta ampun karena perjalanan travel Singaraja-Malang selama 12 jam.
Setelah beberapa jam menunggu, saya berangkat ke Jakarta naik pesawat Sriwijaya air kelas ekonomi. Perajalanan ini terbilang nyaman dan tidak menemui halangan yang berarti. Saya tiba di Jakarta sesuai jadwal. Akan tetapi yang membuat pusing adalah kemampuan mengatur waktu untuk lapor diri ke kemenristekdikti dan kembali ke bandara untuk berangkat ke Australia hari itu juga. Ya, para sandwicher sebelum berangkat Ke LN tujuan harus lapor diri dulu sekalian membawa SPPD yang sudah ditanda tangani pejabat PT asal dan tanda tangan kontrak beasiswa. Sesugguhnya, boleh di hari H berangkat atau satu hari sebelum hari H dengan catatan biaya akomodasi alias menginap ditanggung sendiri. Nah, karena jadwal pesawat saya menuju Sydney itu jam 8 malam, jadi saya memutuskan lapor diri di hari H saja. Singkat cerita, saya menitipkan koper saya yang lumayan big size di penitipan barang di bandara Soekarno-Hatta, yang ada di terminal 2D lantai 1. Kemudian saya cari taxi menuju senayan pintu 1 ke kantor kemenristkdikti. Saya menunggu sekitar 2 jam di lobby gedung D lantai 5, karena saya tiba di waktu istirahat.

Setelah urusan tanda tangan kontrak selesai, saya sempat makan siang dengan adik saya yang kebetulan tinggal di Jakarta, makan siangnya dekat saja dari kantor dikti di FX mall.
Senang sekali rasanya ketemu adik saya ini, kami sempat ngobrol-ngobrol dan foto-foto. Sesudah makan siang, saya kembali mencari go-car untuk ke Bandara, bayar sekitar 150 ribu, tapi dapat diskon poin 40 rban. Saya bersyukur adik saya rajin ngumpulin poin go-car heheheh. Syukurnya juga karena perjalanan saya ke bandara Soekarno-Hatta dari Fx Mall terbilang lancar jaya, karena waktu itu berangkat dr FX mall sebelum jam 4 sehingga saya terhindar dari macet. Yang bikin pusing adalah ketika tiba di bandara Soekarno-Hatta dan mau ambil koper dari penitipan barang. Saya hanya ingat penitipan barang itu di terminal 2 D, dan lupa (ehh bukan lupa, tidak paham tepatnya) bahwa itu di lantai 1, nah jalan lah saya sambil mencari dimana kiranya tempat penitipan barang tersebut.


Setelah 2 kali bolak balik kayak setrikaan, dengan punggung pegel karena bawa ransel berisi laptop, akhirnya saya bertanya dengan seorang security. Bapak security ini mengatakan bahwa tempat penitipan barang itu ada di lantai 1, sementara saya ada di lantai 2! Alhasil saya turun ke lantai 1, syukur pake lift! (ciri khas orang Bali, diantara kesialan selalu bilang "syukurla..." hahaha)
 Setelah saya mendapatkan koper saya, kemudian saya segera check-in untuk penerbangan saya ke Sydney. Penerbangan ini on scheduled alias sesuai jadwal dan ga pake delayed. Pesawat Qantas class ekonomi yang saya tumpangi fasilitasnya terbilang sangat memadai. Jadi saya ketika itu mendapatkan selimut yang bersih, bantal kepala, fasilitas TV kecil ditiap belakang sandaran kepala, dapat snack, kopi/teh/juice sebanyak 2 kali dan makan malam. Saya yang memang penggemar nonton film, memilih menonton film sambil menghabiskan waktu. Penerbangan 6 jam ini tidak terasa. Saya tiba di Sydney itu pukul 7.20 pagi waktu setempat. Saya berkali-kali mengingatkan diri saya tentang urutan yang harus saya lakukan berkenaan dengan pengambilan tas/koper. Jadi, ketika turun dari pesawat, saya harus mengisi sebuah form yang berisikan tentang hal-hal yang kita bawa dalam koper. Form ini disetorkan dibagian immigration.
Setelah itu baru kita bisa ke bagian baggage claim. Nah setelah mendapatkan koper, saya harus menuju bagian declare. Menurut cerita-cerita yang saya dengar pemeriksaan custom australia sangatlah ketat. Akan tetapi, kembali Ida Hyang Leluhur tiang memberikan anugrah kelancaran. Koper dan tas saya sama sekali ga diperiksa. Saya hanya ditanya "what do you want to declare?" terus saya bilang " I bring some medicine" kemudian ditanya lagi " Do you bring any fresh fruits, or seeds?" saya bilang dengan tegas "No, i don't have those in my bag". Kemudian dengan gampangnya ia menunjuk kearah dengan label "exit" seolah memberi sinyal saya boleh keluar. Rasanya seperti merdeka. Hanya satu yang saya sayangkan, andaikan tahu customnya tidak ketat saya kan bisa bawa dupa untuk sembahyang. Ketika packing saya ragu-ragu membawa dupa, karena sifatnya hand-made dan biasanya di custom sudah pasti disita.
Sesudah saya lewat dari bagian declare, saya diarahkan ke bagian domestic transfer milik Qantas airways. Disini saya tinggal drop baggage saja, tidak perlu check in lagi. Tahapan selanjutnya adalah, saya berjalan menuju sebuah lorong ke arah shuttle bus yang mengantarkan saya ke gate domestic untuk penerbangan selanjutnya ke Brisbane. Perjalanan sydney-Brisbane tidak memakan waktu cukup lama, sekitar 45 menit. Ketika tiba di Brisbane, saya segera mengklaim bagage dan menghubungi suami lewat wifi bandara menyampaikan berita bahwa saya sudah tiba. Saya pikir segalanya yang ribet-ribet telah saya lewati, ternyata yang datang berikutnya adalah yang bikin saya mau nangis.
Selayaknya first-timer, segala hal tentu begitu asing. Saya padahal termasuk orang yang sangat bersiap diri: saya mengeprint peta kampus, mempacking barang-barang bawaan, menukar beberpa juta rupiah ke AUD, memesan kamar kost, mempelajari rute-rute kereta api dan bis dari bandara menuju Upper Mount Gravatt jauh-jauh hari sebelum berangkat, tetapi tetap saja kelimpungan. Jadi begitu keluar dari bandara, saya sudah melihat logo air-train disebuah konter, tempat orang membeli tiket kereta. Saya bilang saya ingin membeli tiket untuk ke Brisbane City, maksud saya adalah central station, tapi Bapak bule penjaga konter malah memberi saya tiket menuju South Brisbane yang sebenarnya merupakan station pemberhentian ke dua setelah central station yang saya maksudkan. Yah, bukan sih apa-apa, cuma jadi bayar lebih mahal (ckckckc, maaf ya tiket gini doang bayar 18 AUD, setara dengan 180 rb). kemudian saya menunggu train di platform 1.


 Nah tantangan selanjutnya adalah mendengarkan dengan baik pengumuman dalam kereta tentang nama station pemberhentian agar ga kelewatan central station tujuan saya. Syukurnya, pengumuman di tempat-tempat publik begini menggunakan Bahasa Inggris yang benar-benar jelas dan mudah dipahami. Setibanya di Central station, perut saya kembali mules karena harus menuju King George Bus station yang saya belum tau tempatnya dimana. Menurut peta di HP saya, itu cuma 200 meter dari tempat saya berdiri, tetapi dalam kondisi yang saat itu hujan rintik-rintik sehingga baju dan sepatu sedikit basah ditambah lagi tubuh yang lelah luar biasa akibat membawa 1 buah koper besar dan ransel, rasanya berjalan 200 meter dan menerka nerka arah benar benar membuat saya mau menangis. Hahahaha lebay kan? Tetapi bagi orang yang memiliki panik-arah disorder seperti saya, kondisi saat itu benar-benar melenahkan mental, ditambah lagi HP yang terkadang macet saking paniknya dipencet-pencet, dan karena air hujan menyebabkan  screen HP basah dan tidak sensitif menunjukkan informasi yang dibutuhkan. Kembali, disaat-saat seperti itu saya mengingat hyang leluhur ring Merajan Arya Jelantik Bukian ring Bungkulan. Saya memejamkan mata, memohon jalan dan kelancaran. Tiba-tiba dari belakang seorang wanita cantik asal Thailand menawarkan diri untuk mengantar saya ke King George bus station. Dia sudah 2 tahun di Brisbane dan sangat mengerti kebingungan saya. Ketika tiba di stasiun dia juga membantu saya mengecek lewat internet di HPnya (HP saya sendiri tidak terkoneksi dengan internet karena belum berisi sim internet lokal) bis yang harus saya tumpangi dan di terminal mana bis itu berhenti. Ternyata bis yang saya harus naiki adalah bis 111 di terminal 2F. Bayangkan, apa jadinya saya jika tidak ada gadis Thailand tersebut. Kami kemudian berpisah, dan saya menyesal tidak sempat menanyakan namanya. Saya berdoa agar ia dibantu orang juga kelak ketika ia menemui kesusahan seperti saya.
Nah, setelah naik bus 111 ini masalah belum juga selesai. Saya tau saya harus berhenti di Garden City, Westfield, tetapi saya tidak tau rupanya dan di pemberhentian keberapa. Tangan saya dingin memegangi koper berat saya dengan erat, mata saya berusaha mencari-cari tulisan Garden city atau Upper mount gravatt station. Ehh ga ketemu juga, sampai akhirnya di kasi tau sama seorang mbak yang duduk disebelah saya yang mengerti kebingungan saya "the couple over there are also to garden city, so you just need to follow them" 
Akhirnya, pasangan yang "memandu" saya tersebut turun disebuah station, antara ragu-ragu dan tidak saya juga ikut turun dari bus. Sama sekali tidak tahu apakah itu benar merupakan Upper mount Gravat station, pemberhentian yang saya harapkan. Ternyata, benar! Ada tulisan kecil biru yang tidak menonjol tertulis "upper Mount Gravat"
Langkah kaki saya benar-benar ringan seketika. Tampaknya saya diarah yang benar. Kemudian saya hanya perlu mencari seorang kawan, Adi Kerta, yang juga mantan mahasiswa saya dulu yang lanjut  kuliah di Griffith Uni juga. Ia berjanji menunggu di terminal D. Dari jauh mata saya sudah menangkap sosoknya yang duduk di kursi halte sambil mengecek hp nya.
Senyum saya mengembang penuh rasa bahagia karena bisa menemukannya. Ia kemudian dengan sabar mendengarkan ocehan saya tentang pengalaman perjalanan menegangkan dan segala keraguan yang saya lalui sebelumnya. Hari itu berakhir bahagia. Terima kasih Ida Hyang Widhi Wasa dan Ida Hyang Leluhur terima kasih atas kelancaran hari itu. Kami kemudian melangkah pulang ke kost yang sudah dipesankan Adi untuk saya.




No comments:

Post a Comment